Desir semilir angin yang berhembus menyapa indera perasa menyambut kehadiran gadis belia dengan hati yang begitu terasa lapang di sebuah desa kecil nan indah. Swastamita nan elok yang membentang seluas sang lazuardi berkuasa membias pada indahnya senja menambah bahagia yang semakin membucah di dalam dadanya.
Perjalanan yang seharusnya terasa begitu melelahkan, terbayar lunas dengan apa yang ia temui di sini, di sebuah kota kecil nan damai. Tempat gadis berpasar ayu itu memulai harapan barunya, setelah gersanganya hati selama beberapa tahun terakhir ini menjadi momok tersendiri dalam dirinya yang benar-benar seperti sebuah jiwa tandus, kurang kasih sayang.
Sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas khas rumah di pedesaan kini ada di depan pandangan kedua bola mata indahnya. Lamat-lamat kakinya melangkah hanya untuk benar-benar menikmati setiap hembusan kelegaan yang menguar dari rongga paru-parunya yang selama ini menyesakkan pernapasannya.
Sesederhana ini kah rasa senang? Hanya dengan memandang atap rumah Nini, dan menghirup udara yang sama dengannya, Luna telah menemukan sebuah oase yang sungguh ia rindukan.
Seorang wanita berusia renta terlihat sedang disibukkan dengan kegiatannya menutup jendela, belum menyadari kehadiran sang tamu kecil yang sudah dinantikannya sejak fajar menyingsing hari ini.
"Niniiiii ..." teriak Luna bersemangat sembari menghamburkan diri kearah sosok yang sangat ia rindukan pelukannya. Sesosok tubuh tua yang tak banyak lemak, seperti hanya tulang berbalut kulit itu, nyatanya Luna bayangkan lebih hangat dari selimut tebal yang terbuat dari kain wol tersebut.
Tubuh renta itu hampir saja ambruk bila Luna tak sigap menahan beban tubuhnya, dan sang nenek yang sudah udzur itu. Dengan mata yang berkaca- kaca orang tua itu mengangsurkan tangannya ke kedua pipi Luna, membelai lembut merasakan dengan penuh keyakinannya bahwa gadis belia dihadapannya kini adalah wujud nyata cucu perempuan kesayangan yang dirindukannya. "Luna," suaranya yang bergetar tanda menahan tangis haru, menyerukan nama sang cucu, dengan binary kebahagian yang sungguh membuat hati Luna menghangat seketika.
"Iya Ni. Ini Luna," sembari menganggukkan kepalanya Luna menjawab tak kalah haru. Kembali rengkuhan pelukan keduanya mengerat, seolah tengah melepaskan rasa rindu yang tak mampu terurai hanya lewat aksara, dan tatapan mata penuh sayang.
Hingga suara deheman dari nada bariton yang tak asing bagi Luna menguraikan pelukan kedua wanita beda generasi tersebut yang telah berlangsung mungkin lebih dari sepuluh menit itu.
"Ekheem ... masuk dulu, sudah mau maghrib. Lanjutkan di dalam temu kangennya." tutur pria paruh baya yang tak lain adalah sepupu ibunya Luna.
Senyum Luna mengembang, diangsurkannya tangan untuk bersalaman memberikan hormat padanya. "Sehat Pak Lek?" tanyanya kemudian.
"Alhamdulillah, sehat-sehatnya orang tua Lun," balasnya sembari menghela kami masuk ke dalam rumah dengan Luna yang masih memegangi lengan sisi kanan sang Nini, menuntunya perlahan.
Ketiganya masuk kedalam rumah sederhana itu. Suasana hangat dalam hati Luna kembali mengharu-birukan perasaannya, rumah ini sudah setahun lebih tak ia kunjungi namun masih terasa sama nyamannya.
Seorang wanita paruh baya yang juga tak asing bagi Luna kini turut menyambut kehadirannyasenga senyum ramah dan kini tengah menyiapkan teh hangat beraroma khas yang juga tak pernah berubah.
Sekilas kenangan tentang ayahnya berkelebat dalam pikirannya kembali. Ayahnya sangat menyukai teh buatan Nini nya ini, bahkan dalam sekali waktu ia mampu menghabiskan satu teko sedang seorang diri.
Luna dan dan ketiga orang tua tersebut akhirnya duduk bercengkrama di sebuah sofa ruang keluarga dengan the, dan beberapa kudapan yang sengaja dibuat Nininya sendiri untuk menyambut kedatangan Luna, dan tentu saja makanan-makanan itu menggoda indra pengecap Luna untuk segera menyantapnya.
Pemandangan itu tak luput dari perhatian Nini yang lantas mengurai senyum dan berucap, " makanlah nak, Nini membuatnya khusus untukmu."
Luna pun tersipu mendapati dirinya yang terlihat begitu tergoda dengan apa yang tertata di meja itu, hingga sesaat setelahnya ia pun mulai bergerilya dengan makanan-makanan tradisional itu, yang jelas jarang ditemui di pasar-pasar kota.
Luna mulai dengan menghidu secangkir teh asli buatan Nininya sebelum akhirnya dia mencecap nikmatnya teh melati madu yang terasa legit dan memanjakan lidah itu. Karena sejak dulu begitu ajaran sang Nini. 'Sebelum diminum hirup dulu aromanya, agar proses penggenapan kenikmatannya sempurna,' kenangnya.
"Nini bilang, kamu mau lanjutin sekolah disini ya Lun? Pak Lek kembali mengudarakan tanyanya membuka wacana diantara kami.
"Insya Allah, rencananya begitu Lek." Balas Alluna sembari meletakkan kembali cangkir teh yang ia pegang.
Bik Yani yang sedari tadi hanya diam pun kini ikut menimpali pembicaraan ini, "Wah, kalau begitu kamu bisa sekolah bareng sama Lastri anak bibi. Dia seusiamu, masih ingatkan?" terangnya.
Luna menganggukkan kepalanya dan turut tersenyum senang, dirinya mendapati teman kecilnya akan bersama dengannya nanti.
Seingat Luna, Lastri adalah seorang gadis periang seusianya yang senang mengikat rambutnya dengan model ekor kuda dan merupakan salah satu teman kecilnya yang sampai saat ini akan menemaninya bila ia dan keluarganya berkunjung ke rumah Nini.
"Kamu ingat Lastri kan Nak,?" tanya Nini meyakinkan ingatan Luna.
Luna kembali mengangguk yakin, sembari tetap mengunyah kudapan lezat yang tersedia, rasanya yang tak pernah berubah membuatnya kembali mengenang kepingan-kepingan nostalgia bersama alm. Papa, Mama, dan Arsen dalam tiap gigitannya. Sungguh Luna ingin kembali ke masa dimana hanya ada tawa bahagia, perasaan saling menyayangi, dan sentuhan-sentuhan penuh kasih dalam keluarga kecilnya, tapi mana ada hidup yang se-sempurna itu?. Segalanya akan berubah, berputar seperti roda karena pada akhirnya makna hidup yang sesungguhnya ada pada sebuah perubahan.
"Ya sudah kalau begitu Pak Lek mau ke surau, maghriban. Kamu istirahatlah." Pamit Pak Lek Sastra, beranjak dari duduknya. Ya, ia singgah karena mungkin tadi melihat kami sedang melepas rindu di teras depan rumah, dan kini saat samar-samar adzan maghrib terdengar telah berkumandang, ia pun berangsur mengundurkan diri menuju tempat yang sedari awal menjadi tujuannya, yaitu surau di ujung jalan desa.
Luna mengulas senyum dan turut beranjak mengantarkan Pak Lek nya itu sampai ke depan pintu, "Hati-hati, Pak Lek." ucap Luna sembari menutup pintu kembali.
***
Malam kini semakin larut, setelah makan malam hangat dan perbincangannya seputar kabar ibu dan adiknya dengan sang Nini, Luna memutuskan untuk langsung kembali ke kamarnya. Tubuhnya yang seharian ini telah difungsikan dengan sangat optimal, akhirnya meminta untuk direbahkan.
Udara malam yang dingin, ditambah dengan suara jangkrik yang bersahutan seperti melody lullaby pengantar tidur yang menyenangkan bagi Luna, seolah mampu menguapkan segala beban yang beberapa bulan terakhir ini sungguh membuatnya ingin melepaskan ikatan takdir antara dirinya, dan dunia yang memilukan.
Hingga tanpa sadar, tak butuh waktu yang lama Luna sudah berada dalam peraduan mimpi indahnya. Menutup hari dengan kelegaan sepenuh hati.
Selamat datang hidup baruku, izinkan aku bahagia setelah ini.