Dingin masih menyapa kulit tubuhnya, langitpun masih gelap, masih ada bulan dan bintang yang bergelayut mesra di atas sana, Luna tak bisa benar-benar memejamkan matanya malam ini. 'Waktu berjalan begitu lambat,' pikirnya.
Menengadahkan kepalanya ke arah jam dinding berukir burung pipit itu, waktu yang terpampang masih menunjukkan dini hari. "Masih jam 3 ternyata," lirihnya. Beringsut dari atas tempat tidurnya, perlahan Luna keluar dari kamarnya menuju kamar mandi, berniat mengambil wudhu untuk salat malam, Luna butuh kekuatan ekstra dari Tuhan untuk menghadapi gempuran emosi yang akan diterimanya besok pagi.
Hening, damai, khusyuk itulah yang dirasakan Luna saat bermunajat pada penciptanya, memohon kekuatan agar kiranya esok semua berjalan lancar dan akan baik-baik saja, hingga tanpa terasa matanya kembali menghasilkan buliran bening hangat hasil provokasi hati dan pikirannya saat ini.
Tiga puluh menit setelahnya, Luna menyelesaikan doa-doanya, menuntaskan pinta pada sang maha baik, penguasa jiwa. Namun, matanya yang tak dapat kembali terpejam membuatnya berniat untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dipagi hari yang biasa ia lakukan sebelum pergi sekolah lebih awal, agar dirinya bisa keluar lebih cepat dari rumah ini besok, lagipula Om Fajar bilang dirinya akan berangkat ke luar kota pagi-pagi sekali hari ini.
Luna mulai membereskan dapur, mencuci piring-piring kotor, merendam pakaian kotor anggota keluarga sehingga nanti saat wak Iyah datang, pakaian itu sudah siap untuk dicuci, menyapu dan mengepel rumah dua lantai itu, hingga tepat saat adzan shubuh berkumandang, Luna telah menyelesaikan semua pekerjaannya dengan rapi, dan bersiap untuk salat shubuh dikamarnya.
Tepat pukul 06:30 pagi, semuanya sudah berada di meja makan, seperti biasanya semua anggota keluarga bersiap untuk sarapan, Luna yang datang paling akhir menjadi pusat perhatian kali ini, dengan pakaian yang sudah rapi. Luna bergabung diantara mereka dalam hening, hingga akung meletakkan sendok, menghentikan kunyahan terakhirnya.
"Jadi kamu menyusul simbokmu?" tanya sang kakek dingin dengan tatapan mata yang menyiratkan kekesalannya.
Luna hanya menganggukan kepalanya pelan, masih dengan mengunyah nasi goreng buatan utinya itu sebagai santapan sarapan paginya, tanpa berani menatap akungnya lebih lama.
"Kamu pikir hidup dengan ibu yang sudah tidak menganggap kamu ada itu akan lebih baik?" timpal uti ketus.
"Lihatlah bagaimana dia mengabaikanmu dalam dua bulan terakhir ini, dia juga bahkan tidak memberikanku uang belanja untuk makanmu," gerutunya lagi, sontak membuat Luna menghentikan makannya, dan kehilangan selera.
Matanya mulai memanas dengan tangan yang mengepal erat menggenggam alat makannya, Luna ingin menengadahkan kepalanya. Namun, bila itu dia lakukan, sudah barang tentu akan menimbulkan kalimat-kalimat pembakar hati lainnya, dan naasnya dengan posisinya yang kini menundukkan wajah, tetesan bulir airmatanya tak mampu ditahan lebih lama.
"Nangis? Untuk apa menangis, yang dikatakan uti itu benar, dan kamu sudah cukup usia untuk berlapang dada menerima kenyataan, jangan cengeng!" ketus Om Arga.
Tak sepatah kata pun mampu Luna ucapkan, lidahnya terasa kelu, hanya proses penerbitan airmata saja yang kiranya saat itu beroperasi, sedang suaranya memilih meliburkan diri, karena takut di tutup permanen oleh keadaan.
"Saat kamu memutuskan untuk keluar satu langkah saja dari daun pintu rumah ini menuju simbokmu, maka saat itu juga kamu sudah kuanggap mati!" pungkas akung dengan suara menggelegar sembari meninggalkan meja makan.
Luna mulai terisak saat lengkingan suara uti kembali menyapa telinganya yang mulai memerah. "Habiskan makananmu segera, jangan tersisa mubazir, ibumu tercinta saja tak memikirkan biaya makanmu, jadi jangan sombong dengan membuangnya sia-sia!" hardiknya sembari mengikuti langkah akung yang menuju ruang keluarga, meninggalkan Luna yang kini semakin terisak sambil perlahan memasukkan makanan yang sudah seperti duri itu sedikit demi sedikit ke mulutnya, hingga tak selang beberapa waktu berikutnya Om Arga turut beranjak pergi dari meja makan itu, menyisakan Luna seorang diri dalam kubangan air mata, dan sesak di dada.
'Allahku, kumohon kuatkan aku sebentar lagi saja, hanya sampai hari ini saja, aku mendengar kata-kata mereka, kumohon hentikan air mata ini, kuatkan aku,' batinnya lirih.
Luna telah menyelesaikan makannya, seluruh perlengkapan makan yang kotor pun telah ia bersih, dan rapikan di dapur, membuat tatanan meja makan kembali rapi, dan bersih.
Langkahnya menuju kembali ke kamar kecilnya urung sebelum akhirnya wak Iyah kembali mencegahnya, menyampaikan perintah akung agar dirinya datang ke ruang televisi.
"Saya Kung," sapa Luna sembari menundukkan kepala dan sedikit tubuhnya saat tiba dihadapannya.
"Duduk!" titahnya menunjuk ke arah sofa dihadapannya.
"Aku tidak main-main dengan ucapanku tadi, kamu bahkan kehilangan segala hakmu, dan Arsen atas warisan kalian," ancamnya dengan sorot mata tajam.
Luna masih dalam keheningannya, keberaniannya belum terkumpul untuk sekedar mengutarakan keinginannya tinggal bersama ibu dan adiknya.
Luna juga tidak sedang mengungkit meminta apa yang sudah mereka ambil dari hasil kerja ayahnya, ia hanya ingin keluar dari rumah ini, dan hidup dengan damai bersama ibu dan adiknya secara baik-baik, tanpa sumpah serapah, caci maki ataupun kutukan-kutukan untuk masa depannya, adiknya atau bahkan ibunya. Namun, mengapa tanggapan mereka sesarkas ini?
"Apa dia peduli, dan ada disini saat kamu akan pergi dari rumahku ini?" kembali sebuah pertanyaan pilu akung sajikan padanya.
"Apa kabarnya ibu mu dalam dua bulan terakhir ini?" kali ini eyang Uti ikut menyumbangkan pertanyaan.
"Ambil barang-barang mu, dan pergilah!" lanjut Akung lagi sembari membuang mukanya ke arah berlawan dari wajah Alluna yang sedari tadi menunduk.
Tanpa suara, tanpa membantah, Luna beranjak meninggalkan ruangan sidangnya itu, melangkah lemah menuju kamar kecilnya di sudut dapur, mengambil barang-barang yang telah disiapkannya sejak kemarin.
Wak Iyah yang melihat semuanya sejak awal, turut iba, Luna masih terlalu kecil untuk diperlakukan sekeras ini, lagipula apa salahnya,? keadaan seperti ini juga sudah pasti bukan keinginannya.
"Kamu sendirian aja ke stasiunnya Lun?" Wak Iyah memastikan kepergiannya.
Apa bisa?
Apa dia tidak takut?
Pertanyaan-pertanyaan pilu itu kembali menyesakkan buat wak Iyah, dia terlalu khawatir pada gadis belia yang ada dihadapannya ini. Namun sekali lagi, dirinya yang hanya seorang pekerja dirumah itu, tidak mampu berbuat apapun untuk membantunya.
Luna hanya mengangguk lemah, entah mengapa sejak tadi ia merasa sangat sulit mempekerjakan lidahnya untuk bergerak lincah seperti biasanya.
"Hati-hati ya nduk," pesan wak iyah lagi, sembari mengelus punggungnya.
Sekali lagi Luna hanya menganggukkan kepalanya, dan segera berbalik, kembali menuju kamarnya, bergegas mengambil barang-barangnya dan pergi.
Kurang dari 15 menit Luna sudah kembali ke ruang televisi keluarga dirumah itu, namun yang terlihat hanya eyang uti, dan seorang pamannya, sudah tidak ada Akung lagi disana.
"Periksa!" perintah uti pada om Arga
'Ya Allah, apalagi ini, apa yang sedang mereka pikirkan?' batin Luna.
'Aku hanya membawa sebuah koper jinjing dan sebuah ransel yang biasa aku pakai untuk sekolah, apa yang bisa bawa didalamnya? lagipula untuk apa aku mencuri?' lirih Luna lagi dalam hati.
"Ini apa?" tanya om Arga saat menemukan amplop coklat berisakan uang pemberian om Fajar tadi malam.
"Oh, itu tadi malam dikasi om Fajar, om," akunya.
"Hmmm, banyak juga om Fajar ngasi kamu pesangon, lihat ini Bu?" tambahnya sembari mengangsurkan amplop coklat itu kepada eyang uti.
Uti membuka amplop tersebut, mengeluarkan isinya dan menghitungnya dihadapan Luna dan om Arga. Selanjutnya uti menyerahkan lima lembar uang ratusan kepada Luna. "Ini cukup untuk bekal mu, membeli tiket dan makanan selama diperjalanan" tutur Uti kemudian.
"Sisanya buat ganti uang belanja Uti, karena ibumu tidak mengirimkan uang makan dua bulan ini" lanjutnya lagi.
Luna mengambil uang yang disodorkan Uti nya itu, sebab ia benar-benar membutuhkannya sebagai bekal perjalanannya hari ini.
Sungguh dadanya telah sangat sesak kali ini, uang pemberian dari Om Fajar itu adalah miliknya, lagi pula bila ibunya tidak mengirimi uang belanja kepada Utinya dua bulan terakhir ini, bukanlah sebuah perkara besar yang akan membuat keluarga ini bangkrut kan?.
Keluarga ini cukup berada, Akungnya yang seorang pensiunan petinggi kantor pemerintahan pusat, dan Utinya yang seorang anak bangsawan, bukanlah orang-orang dengan keterbatasan ekonomi hingga memberi makan seorang anak yatim seperti Luna yang tak lain adalah darah daging mereka sendiri menjadi beban besar, ditambah lagi segala aset yang dulu ayahnya Luna miliki telah beralih kepada keluarga ini, dengan memberikan sedikit bagian saja untuk modal usaha ibu Luna yang sekarang menjadi sumber pendapatan nya, itu pun masih harus berbagi hasil dengan keluarga ini.
Haiss ... mendadak kepala Luna pusing mengingat semuanya, dadanya semakin sesak, nyaris tak mampu bernafas.
"Selesai!" suara om Arga menarik ku ke alam kesadaran penuhku kembali.
"Uti ... om ... maaf kan Luna yang sudah banyak merepotkan, sampaikan juga maaf Luna buat Akung, Luna pamit," ungkapnya segera agar bisa secepatnya pergi.
"Hmm ... pergilah, hati-hati" izin Uti akhirnya.
Disambutnya angsuran tangan Luna yang hendak memberi salam, lalu ia pun bangkit beranjak pergi sebelum melihat Luna benar-benar keluar dari pintu rumahnya.
Om Arga yang melihat Luna pergi dengan wajah tertunduk, dan lemah hanya memandang dingin setelah Luna berpamitan padanya beberapa detik yang lalu.
*****
Luna masih berdiri disebrang jalan rumahnya menantikan angkutan umum yang akan membawanya ke stasiun pagi itu, sudah lebih dari 5 menit dia menunggu, dan waktu dijam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 09:15 wib.
Hingga, sebuah mobil sedan metalic, tiba-tiba menghentikan lajunya tepat dihadapannya, diikuti dengan terbukannya jendela di bagian kursi penumpang.
"Andre!" pekik Luna terkejut sekaligus senang.
Padahal Luna tidak tahu, bahwa sejak shubuh tadi Andre sudah menunggunya keluar dari rumah itu, memastikan kondisinya akan baik-baik saja.
"Masuk yuk, aku antar," ajaknya.
Tanpa berpikir panjang, Luna langsung menganggukkan kepalanya dan masuk kedalam mobil tersebut dengan yakin.
"Pagi-pagi gini darimana?" cecar Luna yang memang penasaran sejak awal bertemu tadi.
"Ada urusan bokap disekitaran sini, aku yang disuruh," jawab Andre berbohong.
SEsungguhnya yang terjadi, Andre mengkhawatirkan Luna yang akan pergi ke stasiun sendiri, itu sebabnya dia meminjam supir dan mobil keluarganya, untuk bisa menemani dan mengantarkan Luna ke stasiun dengan aman.
"Mau jalan-jalan dulu atau langsung ke stasiun?" lagi Andre menanyainya.
"Jalan-jalan?" beo Luna sembari menautkan alisnya.
"Yaa kan kamu bakalan lama gak balik kesini, siapa tau mau berkeliling kota, lihat-lihat pemandangan yang akan dirindukan ini," terang Andre menjawab kebingungan Luna atas penawarannya tersebut dengan senyum hangatnya.
"Hassh ... hehehe, gak usah lah Ndre, merepotkan, aku udah hapal bener semua sudut jalan sini, lain waktu aja," tolak luna.
"Hmmm ... ya sudah baiklah tuan putri, kita langsung ke stasiun aja ya mang!" ujar Andre kemudian. meminta supir keluarganya itu langsung mengantarkan mereka ke stasiun.
Bentangan hening kini menguasai suasan dalam kabin mobil mewah tersebut, tak sepatah katapun keluar dari dua anak manusia yang tengah larut dengan pikirannya masing-masing. Hingga suara khas supir keluarga Andre berseru. "Udah nyampek mbak," memecah keheningan menarik kesadaran keduanya.
"Oh ... iyaa, terima kasih Pak," jawab Luna sembari membereskan barang bawaanya dan keluar dari mobil tersebut diikut Andre yang masih belum bersuara.
Luna terlihat begitu bersemangat, bahkan terlihat sangat jelas matanya yang berbinar hanya dengan melihat gerbang stasiun kereta api tersebut.
'Sebuah pemandangan yang sudah lama tak terlukis diwajahnya,' batin Andre yang turut mengurai senyum.
"Kita beli tiket dulu yaa," serunya menoleh ke arah Luna yang masih belum terlihat akan beranjak dari tempatnya memandang sekeliling stasiun itu.
"Haah ... oh iya, aku belum beli tiket," balas Luna dengan ekspresi yang sungguh menggemaskan menurut Andre.
Keduanya berjalan menuju loket yang tersedia di sudut stasiun. Suasana yang cukup lenggang membuat keduanya tidak harus mengantri terlalu lama untuk mendapatkan tiket tujuannya.
Andre memandang Luna dengan tatapan khawatirnya. "Kamu beneran berani sendiri, kota itu jauh loh Lun."
Luna yang masih membenahi barang bawaanya itu pun membalas tanpa mengalihkan kesibukannya. "Aman Ndre, kan tinggal naik kereta aja duduk manis, nanti nyampe stasiun sana aku bisa naik becak ke rumah Nini." Terlihat semangat, dan keyakinan yang besar dalam nada suaranya.
Andre yang melihat tekad Luna kali ini pun akhirnya berhenti membujuk Luna untuk mau ia temani sampai kota tujuannya.
"Berhati-hatilah Lun, jangan lupa kasi kabar ke aku, jangan putus komunikasi, kalau perlu bantuan apapun jangan sungkan bilang ke aku, aku selalu ada 24/7 buat kamu, seumur hidup." Pesan Andre bak seorang ayah yang akan melepaskan anak perawannya pergi jauh.
Luna yang mendengarkan kata-kata sahabatnya itu pun tertawa kecil. "Hehe ... aku bersyukur punya sahabat sebaik elu Ndre, terima kasih untuk semua bantuannya, aku pasti kabarin kamu nanti kalau udah nyampe disana," Luna mengangsurkan tangannya hendak menyalami Andre yang kini berdiri tegak dihadapannya.
Bukannya membalas uluran tangan Luna, Andre malah menariknya sehingga tubuh kecil Luna bertumburan dengan tubuhnya. Ya, Andre secara tiba-tiba menarik tubuh Luna, memeluknya.
"Jaga diri kamu baik-baik disana ya Lun, aku nungguin kamu balik ke sini," bisik Andre dalam peluknya.
Luna masih terpaku dengan perlakuan Andre, tubuhnya seolah membatu tak dapat bergerak, lidahnya juga tak mampu berucap membalas bisik Andre, hingga di detik berikutnya Andre mengurai pelukannya, memegang kedua bahu Luna, menarik Luna kembali ke kesadarannya.
Luna memandang manik mata sahabatnya itu, "ish, untung kamu cakep ... kalau gak udah aku tampol kamu main peluk sembarangan!" protes Luna.
Andre terkekeh mendengar protes sahabatnya itu, dipandangi dengan tatapan Luna yang tak biasa itu, dia pikir Luna akan menghajarnya ditempat umum ini karena tindakan agresifnya tersebut.
'Untung cuma diomelin,' batin Andre.
Luna lantas menepuk-nepuk pundak Andre. "Aku berangkat sekarang, thank's udah beliin tiket, VIP pula," ujar Luna dengan senyum sumringah.
Andre mengangguk dan membalas senyuman Luna, untuk kemudian menghelanya menuju pintu masuk ruang tunggu keberangkatan stasiun.
'Aku pasti merindukanmu.'