Chereads / Bukan Stasiun Terakhir / Chapter 3 - Sepenggal Kenangan

Chapter 3 - Sepenggal Kenangan

Aku berjalan ragu ... ke depan

Tak ingin menoleh kebelakang

Aku ingin benar melupakan semua yang telah kulewati

Aku sudah lelah

Letih dengan semua sandiwara

Sesak dengan segala tipu daya

Aku ingin pulang

Tapi tak tau

Rumahku dimana ???

*****

Aluna masih memandangi kotak biru pemberian Andre, sebuah cincin bermata putih, entah itu berlian atau hanya permata biasa, ia sendiri bahkan tidak paham, yang jelas ini terlihat sangat indah, dan Alluna suka.

Perlahan Aluna sematkan cincin itu di jari manisnya, dan pas. Cincin itu melingkar dengan begitu apik di jari indah miliknya. "Sejak kapan Andre tau ukuran jari ku?" batin Aluna.

Tok ... tok ... tok

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Aluna, sesaat dirinya tertegun hingga detik berikutnya ia kembali tersadar dan beranjak membukanya, setelah sebelumnya Aluna menyembunyikan hadiah yang diberikan Andre tadi.

Aluna menarik knop pintu, menjulurkan kepala, melihat siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya di jam malam ini. 'Bukan kah ia sudah menyelesaikan tugas yang uti berikan seharian setelah aku pulang sekolah tadi?' pikirnya.

"Sudah tidur?" suara tanya itu berasal dari sosok yang kini ada dihadapan Aluna. Ya, dia adalah om Fajar, adik ayah Aluna.

"Belum om, masih ngeberesin barang-barang yang mau Luna bawa besok, ada yang bisa Luna bantu?"

"Boleh om masuk? Kita bicara di dalam," om Fajar masuk ke dalam kamar kecil milik Alluna tersebut sembari mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru kamar, sebelum akhirnya Alluna mengizinkannya.

"Kamu yakin mau keluar dari sini Lun?" tanyanya lagi yang kini telah berbalik arah dan memandang Alluna lekat.

"Maafkan uti, akung, dan om Arga yang selama ini membuatmu tidak nyaman ya Lun, maafkan om juga yang tak bisa membela mu dengan baik," diangsurkannya lengan kokoh miliknya membelai lembut surai Aluna, membuat butiran air matanya kembali luruh tanpa permisi.

"Om tahu ini tidak mudah bagimu, tapi om yakin kamu cukup kuat melewati ini semua, bertahanlah, percaya bahwa Allah tak kan melewati batas kemampuanmu saat memberikan ujiannya," ungkap om Fajar membuat isak Aluna semakin tak terbendung.

Om Fajar merengkuh Aluna dalam pelukannya. Ya, pelukan yang aku butuhkan akhir-akhir ini, hanya sebagai penguat agar aku yakin semuanya akan baik-baik saja.

"Om akan selalu mendoakan kebaikanmu dimana pun, jadilah kuat, agar papamu bangga melihat mu dari atas sana," imbuhnya sambil melepaskan pelukan mereka.

"Ini ada sedikit uang, untuk sekedar tambahan mu memulai sekolah baru disana, tidak banyak, tapi om rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah barumu, besok pagi-pagi sekali om harus berangkat ke luar kota, jadi gak bisa anter kamu ke stasiun ya," ujarnya lagi sambil mengangsurkan amplop coklat berisi uang tersebut.

"Kabari om, setelah tiba disana" om Fajar kemudian beranjak dari duduknya hendak keluar dari kamar Aluna.

"Om!" panggil Aluna, sebelum ia benar-benar pergi.

"Terima kasih, maafin Luna yang udah banyak ngerepotin om," ucap Aluna lagi sembari menunduk.

Om Fajar kembali menoleh mengusap rambut Aluna, dan tersenyum. "Jangan katakan itu, kamu membuat om merasa bersalah, itu sudah sewajarnya om lakukan, bahkan seharusnya lebih dari itu. Tidur lah Lun, kamu membutuhkan istirahat yang cukup sebelum perjalanan panjang kamu besok," pungkasnya sembari beranjak pergi dari kamar Luna dan menutup pintu kamar itu

Tanpa Luna ketahui bulir-bulir airmata yang ditahan om Fajar yang selama di dalam kamar Luna itu akhirnya tumpah dibalik pintu kamarnya.

"Maafkan aku mas," desahnya lirih, segera beranjak dari sana. Takut Luna mendengar, atau bahkan memergokinya yang sedang menangis.

Luna kembali hening dalam pikirannya, kamar kecil ini akan segera ia tinggalkan besok, kamar yang menjadi tempatnya menumpahkan segala keluh dan tangisnya, kamar yang meredam isaknya.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan rumah keluarga ayahnya ini, bahkan dulu Luna begitu merindukan tiap-tiap akhir minggu untuk bisa menginap dirumah ini, tidur bersama eyang putrinya, dan menerima banyak hadiah, dan makanan ringan kesukaannya setiap kali eyang akung menerima pensiunnya diawal bulan. Namun, semuanya seketika berubah 180 derajat, setelah sang ayah meninggal beberapa bulan yang lalu dalam perjalanan setelah mengantarkannya ke sekolah.

Ayah Luna yang biasanya berangkat kerja dengan mobilnya, hari itu entah mengapa atau memang menjadi sebuah pertanda, mendadak ingin berangkat dengan sepeda motornya, memang hari itu ayahnya sedikit kesiangan karena harus mengurus Arsen yang sepanjang malam rewel setelah imunisasi, sedangkan sang ibu hari itu juga kurang enak badan, sehingga segala kebutuhan pagi itu ayah Luna yang menyiapkan, termasuk sarapan, mencuci pakaian, dan menjemurnya.

Kegiatan seperti itu sudah biasa dilakukan ayahnya tiap kali sang ibu kurang sehat atau memang repot dengan hal yang lain.

Walaupun keluarganya hanya sebuah keluarga sederhana. Namun, mereka hidup dengan sangat bahagia dan harmonis, Luna bahkan tak pernah melihat ayah dan ibu nya bersitegang satu sama lain.

Luna dan Ayahnya berangkat setelah sebelumnya sang Ayah menyiapkan segala kegiatannya itu, dengan mengendarai sepeda motor, ayah Luna berharap perjalananya akan lebih lancar dan tiba di tempat tujuan tepat waktu dan selamat.

"Bismillah," ucap ayah Luna sebelum menstarter sepeda motornya.

"Siaap! Tancap gaass Paaa!" seru Luna bersemangat, karena sesungguhnya Luna lebih senang saat ayahnya mengendarai motor daripada harus dengan mobil.

Angin yang menyentuh setiap inci kulitnya saat berkendara dengan motor itu memberikan sensasi menyenangkan menurutnya.

"Pegangan ya kak!" sang Ayah mengingatkan kembali sebelum akhirnya mereka benar-benar berangkat pagi itu.

"Oke boss!" balas Luna masih dengan senyuman bahagia yang terus mengembang.

Perjalanan dengan tujuan pertama sekolah Luna pagi itu terasa sangat menyenangkan, Luna tak hentinya mengurai senyum selama perjalanan berlangsung hingga tiba-tiba sebuah perasaan haru merayap ke dalam hatinya, sampai kapan ia akan sebahagia ini, menikmati setiap moment indah dalam hidupnya bersama sang ayah, membuat Luna mengeratkan pelukannya kepada sang ayah, membuat ayahnya mengangsurkan sebelah tangannya mengusap lembut tautan tangan Luna tersebut.

"Papa sehat-sehat ya, sampai nanti kita gantian, Luna yang goncengin papa, ajak papa jalan-jalan ke semua tempat yang papa, mama, dan adek Arsen mau," gumam Luna yang didengar sang ayah, dan membuatnya mengurai senyuman.

Hingga beberapa waktu setelahnya, perjalanan itu telah tiba pada tujuan pertamanya, sebuah gerbang sekolah yang kini telah terpampang di hadapan kedua pasang mata ayah dan anak tersebut.

"Udah nyampe kak!" ujar ayahnya sesaat setelah mereka tiba tepat di depan pagar sekolah yang terlihat artistik dan menjulang tinggi tersebut.

Luna pun beranjak turun dari motor tersebut, menyerahkan helm yang melindungi kepalanya selama perjalannya tadi. Berangsur lengannya menyalami sang Ayah berpamitan, tak lupa mengucapkan salam, dan merengek manja meminta tambahan uang saku yang tak pelak mengundang kekehan kecil sang ayah yang tak urung memberikan tambahan uang saku yang dimintanya hingga akhirnya sang ayah menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepadanya, yang di balas dengan sebuah kecupan singkat di pipi sang ayah.

"Makasih ayah sayang, the bestnya Luna," cicit Luna manja, sembari hendak beranjak, berlalu dari hadapan sang ayah pagi itu.

"Kak!" panggil sang ayah sebelum akhirnya Luna benar-benar beranjak dari hadapannya, "Belajar yang bener ya, jaga mama dan adek Arsen untuk ayah, jangan menyulitkan mama kalau papa gak ada, kakak udah gede, belajar mandiri ya nak," pesan nya sembari menatap dalam manik mata Luna yang kala itu terhenyak mendengar kalimat yang sang ayah utarakan.

Debaran dalam dada yang sejenak mendesak di palung hatinya itu, membuat Luna tak mampu membalas pesan sang ayah dengan kata, hanya sebuah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat oleh ayahnya, hingga sebuah kecupan hangat dari sang ayah di pucuk kepalanya kembali ia rasakan.

"Masuklah, beberapa menit lagi bel sekolah kamu akan berbunyi, keburu pak John nutup pintu pagarnya," kembali sang ayah berujar, menyadarkan Luna dari perasaan tak nyamannya yang beberapa detik lalu merayapi hatinya.

"Oh iya, hehe ... Papa juga hati-hati dijalan ya, sampai ketemu dirumah nanti," balas Luna seriang mungkin, memasuki gerbang sekolahnya dengan berlari kecil, sebelum pak Jhon satpam galak sekolahnya itu benar-benar menutup pagar dan tak memberi kesempatan kedua untuk mereka yang terlambat.

Dari tempatnya berada, ayah Luna masih memandangi punggung sang putri kecilnya itu hingga menghilang, dengan senyum penuh kebanggaan "Aluna Sophia" gumamnya menyebut nama gadis kecilnya itu pelan.

Selang sepuluh menit setelah bel sekolah berbunyi dan seluruh siswa sudah rapi didalam kelas menanti sang guru yang akan membagikan ilmunya hari ini, mendadak nama Aluna diserukan untuk menghampiri ruang BP.

Luna yang merasa tak melakukan kesalahan apapun menautkan kedua alisnya, berusaha mengingat kesalahan apa gerangan yang membuatnya harus keruangan BP berhadapan dengan guru konseling yang terkenal gahar itu.

"Bawa tas dan semua barang-barang kamu sekalian," titah bu Anya, guru bahasa inggris yang akan mengajar di matpel pertama pagi itu.

Masih dengan rasa bingung yang menggelayuti, tak urung membuat Luna menuruti perintah gurunya tersebut.

"Kamu, buat salah apa Lun?" tanya Andre yang duduk dibelakang kursi Luna penuh selidik.

"Jangan bilang kamu bakal di skors Lun," kali ini Dania menimpali, menakut-nakuti.

"Gak tau!" balas Luna datar dan beranjak meninggalkan kedua sahabatnya yang masih penuh tanya sama seperti dirinya.

Sesaat setelah Luna keluar dari kelas dan memastikannya sudah menjauh, bu Anya kembali berseru. "Dania, kumpulkan sumbangan bela sungkawa untuk Luna, Ayahnya meninggal!".

Andre yang mendengar seperti mendapatkan sambaran petir di telinganya. 'Tak percay!'. Itu yang ada dalam pikirnya, terhenyak penuh keterkejutan beberapa saat tampak memaku hingga suara nyaring panggilan Dania menariknya kembali dalam kesadaran.

"Ndre!" panggil Dania yang melihat sahabatnya itu bengong, gimana Luna? tanyanya lagi.

Andre tak membalas ucapan Dania, tanpa pamit dirinya beranjak dan berlari menuju ruangan BP, mencoba mengejar Luna, ia mengkhawatirkan Luna saat ini yang akan mendengar kabar tersebut.

Bu Anya yang melihat sikap Andre pun hanya menggeleng dan membiarkanya keluar kelas tanpa pamit, bu Anya cukup paham dengan kedekatan Andre dan Luna sebagai sahabat.

HIngga saat dari kejauhan Andre dapat melihat Luna yang masih dengan wajah bingungnya digiring masuk ke dalam sebuah mobil hitam oleh kerabatnya.

"Luna ...," desah Andre lirih dengan tubuh yang kini ikut luruh bersandar dinding tiang sekolah agar tak benar-benar rubuh terduduk di lantai, dengan air mata yang mulai menggenang.

*****

Setelah pemakaman selesai, Luna dan sang ibu kembali kerumah duka bersama dengan kerabat

dekat mereka lainnya, pelayat, sahabat dan teman-teman sekolah Luna lainnya pun telah kembali kerumah masing-masing sesaat setelah pemakaman usai tadi. Namun, Andre masih dengan setia menemani Luna kembali ke kediamannya untuk mengikuti tahlilan malam pertama ayah Luna.

Andre masih melihat tatapan kosong Luna, dan linangan air matanya yang masih setia tanpa suara, melangkah pelan mendekati pujaan hatinya, Andre yang turut merasakan kesedihan hati Luna, kini duduk disampingnya tanpa Luna sadari.