Adzan maghrib berkumandang namun hanya terdengar lirih, kerena tidak ada mic dan speaker disini. Ada yang mengikis terasa sakit didada. Biasanya Riri bisa mendengar adzan bergema di seluruh masjid ataupun musholla. Namun rasanya terasa sepi seperti sekarang ini. Gadis yang telah mengenakan mukenah ini berharap semoga saja orang-orang tidak lalai mengerjakan ibadahnya. Dan semoga bencana alam ini cepat pulih. Sehingga Riri bisa menjalankan hidup normal kembali.
Hatinya serasa sejuk bisa menjalankan sholat maghrib berjamaah. Ia bersyukur sholat kali ini ada sekitar sepuluh baris lebih. Semoga akan terus seperti ini. Pintanya dalam hati.
Selesai sholat saatnya berbaris untuk mendapatkan jatah makan. Inilah momen yang di tunggu-tunggu oleh Riri. Pasalnya ia begitu lapar.
"Makasih ya mba." Raut wajahnya terlihat bagai bunga matahari. Ia tersenyum lebar saat matanya melihat hidangan yang sudah ada di tangannya.
"Akhirnya bisa makan juga." ucapnya bahagia dalam hati.
"Mantep banget nih sayur sawinya." Iyan yang berada di samping Riri menyeruput kuah sayur sawi.
Mereka berdua makan dengan lahap. Rasa lapar yang sedari tadi ditahan akhirnya perut bisa diisi.
Di tengah tengah acara makan yang hidmat. Riri teringat ibunya lagi. Di rumah ia selalu makan di depan televisi. Ibunya selalu bicara panjang lebar ketika sedang makan. Sementara Riri hanya mengangguk-angguk.
"Hidup ini harus berlanjut walau bapakmu sudah tidak peduli lagi dengan kita." Ibu mengunyah dan terus mengunyah. Ia makan dengan menggunakan tangannya. Sambal terasi dengan tempe kemudian kol mentah di geprek. Menu makan siang kesukaan ibu.
"Makan yang banyak Ri. Supaya seperti ibu. Kuat melakukan kegiatan apapun. Jangan lupa makan sayur terus Ri." Ibu berkata dengan menggebu-gebu meski lidahnya masih asyik dengan makanannya.
Riri teringat ibunya. Ia tidak bisa menahan tangisnya hingga terisak.
"Riri, ada apa?" tanya Iyan dengan heran.
"Bu, ibu... ngg..." Riri susah payah menyelesaikan kalimatnya.
"Aku nggak tau apakah dia bisa makan malam saat ini, aku nggak tau dia ada dimana, aku nggak tau apa ibuku masih hidup apa sudah tidak ada!" Riri menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Sabar Ri, sabar kamu harus kuat."
Tangisannya semakin menjadi-jadi.
"Kamu harus makan Ri. Supaya kalau ibumu kembali, ia tidak khawatir melihatmu. Mengerti?" Kata Iyan dengan wajahnya yang tampak iba.
Riri mengangguk.
"Semangat ya!" tegas Iyan.
Riri mengangguk lagi. Ia usap air matanya.
***
Hari gelap telah tiba. Di luar sangat gelap karena lampu generator hanya menyala di tempat tertentu. Jam menunjukan pukul dua belas malam. Para pengungsi sudah tergletak dengan lelap. Disamping Riri ada Ibu-ibu dan anak remajanya yang telah pulas. sementara mata Riri masih terbuka. Ia tidak bisa tidur. Ia terbiasa tidur dengan banyak bantal yang mengelilinginya. Kebiasaan itu terjadi sejak kecil dan sampai sekarang.
Riri duduk dengan selimut yang membungkus kakinya. Matanya melihat sekeliling. Ia bingung harus melakukan apa supaya bisa tertidur pulas. Tiba-tiba suara bayi terdengar memekakan telinga. Seseorang ibu kewalahan menina bobokan anaknya. Riri penasaran iapun keluar dari ruang kelas.
Ibu itu tersenyum singkat melihat keberadaan Riri.
"Sayang tidur ya Nak, udah malem tuh didalem bobo semua." ucap ibu itu dengan mata lembutnya. Tetapi, si bayi terus menangis. Hingga membuat Riri merasa kasihan dengan wanita yang menggendong bayi itu.
Ingatannya seolah di tampar bagaimana dulu ia lalai dengan ibunya. Ia sering membantah ketika ibu menyuruhnya, bahkan ia pernah berbohong. Rasanya sungguh tak pantas dirinya berbuat seperti itu.
"Pasti dulu ibu keropatan seperti wanita itu." katanya dalam hati.
"Nak tolong gendong sebentar ya. ibu mau buatkan susu buat anak ibu."
Mendengar kalimat itu, Riri memandang bayi itu dengan kebingungan.
"Sebentar saja." ibu itu langsung menyerahkan bayinya ke tangan Riri.
Riri membeku dan menggendong sebisanya. Ibu itu lari terbirit-birit.
"MasyaAllah ternyata jadi seorang ibu itu ribet yah."
Tak ia sangka, bayi yang digendongnya diam dan terlihat lebih tenang.
Riri memandangi bayi itu. Hatinya serasa bahagia. Ciptaan Tuhan yang sangat sempurna. Bayi suci dan tak berdosa. Siapapun rasanya ingin mempunyai seorang bayi.
Riri takjub dengan keajaiban Tuhan. Bayi yang di pandanginya dapat terselamatkan dari bencana alam yang dahsyat.
Beberapa menit berlalu sang ibu dari bayi muncul, ditangannya memegang botol susu. Ia melempar senyum kepada Riri.
"Eh udah diem ya anakku." wajah sang ibu bersinar melihat bayi yang terlihat tenang.
"iya nih Bu, nyaman banget kayaknya sama aku." kata Riri sembari tertawa kecil.
"ini nak susunya udah jadi." dengan semangat ibu itu memperlihatkan botol susu didepan si bayi.
Sang ibu menempelkan ujung botol pada mulut anaknya. bayi itupun menyedot dengan cepat.
"Wah kayaknya leper banget tuh anak ibu." kata Riri masih menggendong bayi sementara sang ibu memegang botolnya agar si anak tetap bisa menyusui.
"Oh ya adek namanya siapa?" tanya ibu itu dengan sopan.
"Saya Riri bu." jawab Riri dengan senyum merekah.
"Oh mba Riri, kok belum tidur sih jam segini?" tanya si ibu seperti mengomel sedikit.
"Iya bu, saya nggak bisa tidur. Oh ya ibu siapa namanya?"
"Saya kartika." deg hati Riri teringat kepada nama sang ibu.
"kalo anak saya ini namanya bening." kata si ibu melanjutkan seraya memberi senyum kepada bayinya.
"Nama ibu seperti nama ibu saya." jawab riri dengan wajah yang telah redup.
"Oh ya? dimana ibumu sekarang?"
Pertanyaan yang didengar Riri seperti petir di siang bolong.
Jangan tanyakan itu. Rasanya sulit menjawabnya. ucap Riri dalam hati.
"Mba Riri kok melamun?" Tanya ibu kartika dengan raut cemas.
"Saya teringat ibu. saya nggak tau ibu ada dimana." jawabnya dengan masih menatap kosong.
"Ya Allah sabar ya mba Riri. Semoga ibunya cepet ketemu ya."
"Amin."
Ibu Kartika segera mengambil anaknya yang digendong Riri.
"Maaf ya mba Riri. Saya merepotkan." ucap ibu kartika merasa tidak enak hati.
"Nggak papa kok bu. Saya malah seneng. ini pertama kali saya gendong bayi loh." Wajah Riri kembali bersinar.
"Wah hebat nih mba Riri baru pertama aja udah nyaman anakku digendong mba Riri." kata Ibu kartika memuji.
"Oh ya Bu, nama anak ibu bagus banget." ucap Riri.
"Bening." mata Riri seperti membayangkan sejuknya embun.
"Iya makasih mba Riri," kata sang ibu tersipu malu.
"Eh udah merem nih si bening. Makasih banyak ya mba Riri."
"Iya terimakasih kembali Bu."
Ibu kartika dan bening si bayi pergi meninggalkan Riri sendiri di heningnya malam. Hati Riri serasa lega bisa berbincang sedikit dengan ibu tadi. Sejak di tempat pengungsian ini ia sama sekali tidak berbincang dengan orang disekelilingnya. Ia hanya mengenal Akbar dan Iyan serta Zahra yang sudah meninggalkan tempat ini. Sejak dulu ia tak pernah berani menyapa seseorang yang tak di kenalnya lebih dulu. Entahlah mengapa ia bisa seperti itu.