"Aku ke musolla dulu ya Yan."
"Sholat dhuha Ri?"
"Iya." Riri menunduk mungkin dalam hati Iyan bertanya-tanya kenapa baru kali ini ia melihat Riri akan melaksanakan sholat sunah.
"Alhamdulillah istri solehah." Ucap Iyan dengan penuh berbunga seraya memejamkan matanya.
"Apa?" Riri mendengarnya dengan senyum geli.
"Istri solehah." Ucap Iyan spontan.
"Amin Ya Allah." Telapak putih Riri mengusap wajahya.
Iyan terkejut atas ucapan Riri yang menurutnya mengiyakan ia sebagai suaminya kelak.
"Semoga kalo aku udah nikah sama orang, aku bisa jadi istri solehah." Jelas Riri dengan mata berbinar tanpa melihat Iyan.
"Hah?" Iyan melirik bingung.
"Kenapa yan?"
"Eh nggak papa kok Ri." Iyan menggaruk kepala yang tak gatal.
Riripun turun kelantai bawah menuju ruangan bimbingan konseling yang di jadikan musolla. Iyan mengikutinya dari belakang. Dirinya berniat untuk sholat dhuha juga. Mereka berdua berwudhu di ember yang lumayan besar. Karena kran mati dan pasukan listrik belum menyala sejak bencana alam terjadi.
Diruangan itu mereka berdua sholat dengan terpisah. Dua rokaat sholat sunnah dhuaha mereka jalani dengan khusyu.
Dalam keadaan seperti ini Riri berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Karena tidak ada kegiatan lain Riri memutuskan untuk sholat dhuha, meskipun ini baru pertama ia mendirikan sholat sunah ini. Ia berharap Allah akan menerima sholatnya.
Jempol tangan Riri mengetuk garis garis jari secara bertahap. Sementara mulutnya berzikir. Alunan dari suara dan jari yang bergerak berirama pas. Kini ia memejamkan mata bulatnya supaya apa yang diucapkan bisa sampai ke hatinya.
Setelah selesai berzikir lalu Riri memanjatkan doa.
Riri tidak hafal dengan doa sholat dhuha sehingga ia membacanya dengan melihat buku tuntunan sholat yang ada di dekatnya.
"Allahumma innad-duhaa'a duhaa'uka wal bahaa'a bahaa'auka wal-jamaala jamaaluka wal-quwwata quwwatuka wal-qudrota qudratuka wal-'ismata 'ismatuka."
"Allaahumma in kaana rizqii fis-samaa'i fa anzilhu, wa in kaana fil-ardi fa akhrijhu, wa in kaana mu'assiran fa yassirhu, wa in kaana haraaman fa tahhirhu wa in kaana ba'iidan fa qarribhu bi haqqi duhaa'ika wa bahaa'ika wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatinii maa aataita 'ibaadakash-shalihiin."
Riri pun membaca arti dari doa sholat dhuha supaya ia bisa tahu apa yang diucapkannya.
""Ya Allah, sesungguhnya waktu Dhuha adalah waktu Dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu"
"Ya Allah, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hamba-Mu yang sholeh"
Selesai kegiatan suci itu, Riri naik ke lantai atas untuk menaruh mukenanya.
"Akbar kemana ya?" tanya Riri dalam batinnya.
Riri tidak mengerti mengapa ia saat ini begitu mengharapkan sosok Akbar.
Mengilang.
Akbar selalu saja begitu. Tidak ada kabar. Datangpun kadang secara tiba-tiba.
Riri merasa kehilangan dua sayapnya yaitu ibu dan Akbar sahabatnya. Sepi yang terasa begitu sunyi. Namun disisi lain ia benci dengan perasaannya sendiri.
Akbar.
Riri benci harus memikirkan cowo jangkung hitam manis itu. Riri bingung bagaimana ia harus mengungkapkan perasaannyaa. Rasanya sesak menyimpan rasa tanpa seorangpun yang tahu.
"Tuhan mengapa engkau ciptakan rasa ini? Rasa ingin memiliki Akbar? kenapa engkau tumbuhkan rasa cinta ini untuk Akbar?" tanyanya dalam hati. Ia jujur dengan bagian tedalamnya. Perasaan, yang sejak tadi malam terus menghantuinya. Riri terus bertanya apakah ia berdosa karena sedang merasakan jatuh cinta kepada Akbar? sedangkan Ibunya sendiri kini belum ditemukan. Seharusnya ia berdoa terus menerus supaya ibundanya cepat di temukan.
Riri menatap langit seraya memegang balkon yang retak akibat gempa susulan kemarin.
Matanya berkeliling mencari sosok yang diinginkannya. Seharusnya dari atas Riri bisa melihat makhluk tinggi itu.
Kini yang dilihatnya anggota komunitas Zahra. Mereka pulang dengan mobil bak. Zahra mendongak ke atas, dilihatnya Riri yang melambaikan tangan.
"Semoga aku bisa bertemu dengan kamu lagi ya Zah." pinta Riri dalam hati.
Sementara di tempat lain Iyan sibuk berbincang dengan Bapak berseragam TNI. Mata Riri berkeliling lagi. Rupanya ada puluhan anggota TNI disana. Mereka sedang membersihkan puing-puing. Mengangkat kayu -kayu yang tidak berguna dan menaruhnya pada truk besar.
Riri mengalihkan pandangannya ke arah sekelompok anak-anak yang sedang bergerombol mengelilingi mobil yang berisi banyak buku.
Hasrat Riri rasanya ingin menuju ke sana untuk sekedar membaca buku. Namun kakinya malas untuk bergerak.
Kembali matanya melihat-lihat. Kini kening Riri mengerut.
Apakah itu Akbar?
Ia tak habis pikir Akbar tengah akrab dengan mahasiswa yang pagi tadi dilihatnya sedang mendongeng untuk anak-anak. Akbar sesekali tertawa, raut wajahnya tampak bahagia dan mata mereka saling bertemu diantara hawa yang cerah.
Perasaan jengkel kini membatu dalam hatinya. Ia berbalik badan. Tak mau melihat adegan dua makhluk yang sedang jatuh cinta. Bisa saja begitu.
"Ya Allah kenapa kenapa dengan perasaan ini? Aku tidak mengetahui perasaan mereka. Tapi kenapa aku benci banget sama mereka berdua? sebel sebel sebel Astaghfirullah hal adzim."
Riri memutar kembali tubuhnya. Di sisi lain. Ia penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya dengan Akbar dan gadis mahasiswa itu.
Mereka duduk di sisi lantai putih sekolah. Keduanya terlihat begitu Akbar. Mereka memegang smartphone masing-masing.
"Mungkin lagi tukeran nomer whatsapp kali ya. hem dasar Akbar!" gerutu Riri dalam hati.
Riri mendongak ke langit yang terlihat mendung. Awan gelap berkumpul tepat di atas sekolah. Tidak salah lagi, hujan yang turun secara berbondong-bondong memekakan telinga.
"Jemuranku!"
Kaki Riri segera bergerak seperti tersengat listrik. Ia berlari dari tempatnya menuju tangga. Kemudian menuruni tangga dengan cepat. Kini ia sampai di lantai bawah. Terlihat di depan sana diatas kayu, beberapa bajunya sedikit basah. Ia berlari di atas lantai putih.
kedubrak!
Tubuh Riri yang kurus jatuh dilantai licin itu. Riri meringis kesakitan