"Aduh kayaknya mereka tau deh kalo kamu penyayang binatang. Jadi maunya nempel terus sama kamu." Kata Riri menahan tawa. Iyan pun melempar senyum ke Riri. Rasanya Iyan sangat bahagia biasa melihat Riri tersenyum manis.
"Sini deh cing, aku pengin ngelus-elus kamu." Ucap Riri seraya mengambil kucing itu dengan tangannya. Kucing itu diam tak berontak.
"Kayaknya ini kucing peliharaan yah?"
"Iya bener yan keliatan bersih soalnya." Ucap Riri dengan bola mata memperhatikan si kucing.
Makhluk putih itu terlihat tenang dan diam. Mungkin kucing itu sedang merasakan kantuk akibat lembutnya sentuhan tangan Riri.
"Eh ya Ri. Aku di kasih hp nih sama bapak TNI." Iyan memperlihatkan ponsel bermerek samsung je dua prime.
"Wah baik banget bapaknya. Kok bisa sih kamu di kasih hp?" tanya Riri penasaran. Ia merasa iri dengan nasib baik yang menimpa Iyan.
"Iya tadi siang kan aku ikut bantuin para TNI yang lagi bersihin sisa puing-puing gitu, terus aku iseng ngajak ngobrol bapak TNI itu. Namanya Pak sugeng. Dia cerita anaknya yang hilang, dan anak itu seumuran sama aku. Terus aku juga cerita dong kalo aku yatim piatu dan nggak punya siapa-siapa lagi."
"Terus cerita apa lagi?" Riri penasaran dengan kelanjutan dari cerita Iyan.
"Ya cerita macem-macem lah sampe akhirnya dia ngasih hp ke aku. Katanya buat hiburan gitu. Ya walaupun hpnya bekas. Tapi di saat seperti ini kan butuh hp juga." Jelas Iyan dengan membolak balikan hpnya.
"Ya syukur kalo gitu mah. Yaudah ada sinyal nggak? Aku mau dong buka facebook." Pinta Riri dengan antusias.
"Makannya tuh aku bingung. Aku nggak minta charger hp ini sama bapak sugeng."
"Yah nggak bisa nyala dong hp nya." Ucap Riri kecewa.
"Iya nih. Aku tadi udah muter-muter mau pinjem charger tapi lagi pada di pake semua. Giliran udah ada yang mau minjemin charger, eh colokannya lagi di pake."
Keduanya diam dalam kecewa. Riri masih mengelus kucingnya hingga membuat makhluk itu tidur pulas.
"Oh ya kamu ikut nggak nginep di rumah Akbar?" tanya Riri
"Ya aku mau ikut nginep dirumahnya. Bosan juga disini. Kapan lagi dapet tumpangan gratis di rumah mewah." Iyan tertawa dengan perkataannya sendiri.
"Aku juga mau deh. Dingin kalo harus terus terusan tidur di tikar tipis kaya gini. Mana bantuan kasur juga nggak sampe-sampe." Gerutu Riri.
Riri dan Iyan masih mengobrol dengan asyik. Mereka bercerita tentang banyak hal. Mulai dari masa kecil mereka sampai tumbuh sebagai siswa SMA.
Iyan sangat bahagia Riri bisa banyak mengungkapkan apa isi kepalanya.
Akbar datang saat mereka sedang asyik mengobrol.
"Aku mau pulang ke rumah sekarang. Kalian mau ikut nggak?" Tanya Akbar terlihat buru-buru. Ia membawa tas ranselnya di punggung.
"Hah sekarang? Kamu kan bilang sama aku kalo pulangnya jam 8."
"Ibuku mendadak demam. Jadi aku harus pulang sekarang." jelas Akbar dengan cemas.
Riri akhirnya berkemas dengan cepat. Ia membawa tiga setel bajunya yang basah. Ia masukan ke dalam plastik kresek. Kemudian alat mandi seperti sikat gigi, pasta gigi dan sabun. Ia juga tak lupa membawa handuknya. Riri memasukan semua barangnya ke dalam kantong kresek keduanya.
Ia berjalan dengan susah payah menggunakan tongkatnya. Kedua kantong kresek yang di bawanyapun terasa berat.
"Sini aku bantuin Ri." Iyan meraih satu kantong kresek milik Riri.
"Makasih Yan." ucap Riri dengan menggoyangkan tangannya yang terasa pegal.
"Yaudah yuk buruan!" seru Akbar berjalan di depan. Akbar dan Riri mengikutinya dari belakang.
Mereka sampai di sebuah mobil pribadi milik papa Akbar. Ternyata ada dua orang di dalam mobil. Seorang supir laki-laki dan Cahaya yang duduk di jok paling belakang.
Cahaya tersenyum melihat wajah Riri dan Iyan.
"Sini kamu duduk di belakang Ri sama aku." pinta Cahaya dengan akrab.
Tak di sangka Cahaya sosok cewe yang supel. Riri sangat menyukai sosok cewe seperti itu. Kadang ia ingin bersikap membuka diri pada semua orang yang di temuinya. Namun rasa percaya dirinya sangat kurang.
Iyan dan Akbar duduk di jok kedua. Pintu mobilpun telah terkunci rapat. Sang supir melaju dengan pelan.
"Eh itu temen kamu ya Bar, siapa namanya?" tanya cahaya dengan tetap sopan.
"Oh iya kenalan tuh Yan sama sepupuku." ucap Akbar sambil menepuk lengan Iyan.
Cahaya mengulurkan tangan. Iyan menengok dan tersenyum sambil tangannya bersedekap.
"Aku Iyan." ucap cowo dengan rambut pendek berponi.
"Bukan muhrim Ri!" ujar Akbar dengan nada meledek.
"Oh Iya maaf. Namaku Cahaya." kata cahaya dengan sedikit malu dengan tingkahnya sendiri.
Mereka akhirnya terdiam dalam perjalanan. Bukan lagi menikmati pemandangan namun diam karena menangis dalam hati. Suasana di luar mobil sangat memilukan. Reruntuhan rumah-rumah masih terdiam berantakan menyisakan sisa-sisa kisah dalam setiap balik pintu.
"Ri gimana sama keluarga kamu. Apa mereka selamat?" Tanya Cahaya yang tiba-tiba membuyarkan pikiran Riri.
"Eh keluargaku? em mereka semoga baik-baik saja. Ibuku belum di temukan dan bapakku, aku belum dapet kabar dari beliau. Aku nggak tau mereka sekarang ada dimana."
"Sabar ya Ri." tangan Cahaya meremas punggung Riri.
"Kalo keluargamu gimana?" tanya Riri dengan lirih.
"Orang tuaku meninggal semua. Mereka keseret ombok. Alhamdulillah jenazahnya udah ketemu kemarin." jawab Cahaya dengan tertunduk.
"Alhamdulillah kalo gitu. Tapi kamu hebat banget ya. Di saat kamu lagi sedih karena mengetahui orang tua kamu jadi korban stunami ini, tapi kamu tetap bisa mendongeng buat anak-anak." jelas Riri dengan kagum.
"Justru aku mengalihkan rasa sedih aku dengan mendongeng. Jadi aku bisa happy lagi deh." senyum manis Cahaya merekah.