"Masa sih?" ucap Cahaya dengan penasaran.
"Ya beneran." Riri mengangguk-angguk. lalu menyambung kalimatnya.
"Aku juga lagi belajar supaya jadi muslim yang taat."
"Kamu semangatin aku ya Ri." pinta Cahaya dengan memegang tangan Riri.
"Iya kita sama-sama kasih semangat ya, dulu aku juga sholatnya sering bolong-bolong. Tapi setelah kejadian bencana yang menimpa, aku jadi sadar kalo hidup itu singkat dan aku harus manfaatin betul waktu yang aku punya." jelas Riri dengan percaya diri.
Mereka berdua pun sholat berjamaah bersama Akbar dan Iyan.
"Eh pada laper nggak?" tanya Akbar setelah selesai berdoa bersama yang di pimpin oleh Iyan.
"Iya nih laper banget." ucap Cahaya mewakili semua temannya.
Mereka menuju dapur di lantai bawah. Di rumah ini masih beruntung, karena gas masih ada. Iyan menawarkan diri untuk menjadi koki. Dia memasak empat mie rebus dengan tambahan empat butir telur.
Bapak Akbar sangat kaya jadi ia bisa memenuhi kebutuhan apa saja di situasi seperti ini.
"Wah enak banget nih kayaknya." ucap Riri melihat nampan dengan empat mangkok berisi mie.
Iyan meletakkan nampan di atas meja. Semua meraih mienya masing-masing dan mulai memakannya.
Malam itu adalah malam yang paling Riri syukuri. Karna ia bisa tidur dengan nyenyak dan dengan keadaan perut terisi kenyang. Beda dengan di pengungsian. Ia harus menahan laparnya dan menutup matanya dengan terpaksa.
Pagi yang cerah telah datang. Mereka berempat sarapan dengan nasi putih dan ikan sarden kaleng. Ibu Akbar yang telah menyiapkan makanan. Karena ibu Akbar telah sembuh dari demamnya.
"Wah makasih ya tante udah mau masakin kita semua." kata Riri dengan mengulas senyum.
"Iya tante juga seneng bisa masakin buat kalian." jawab Ibu Akbar memandang empat orang anak muda yang sedang lahap menyantap makanan.
"Ibu mau mandiin Bintang dulu ya."
"Dadah Bintang." ucap Iyan melambaikan tangan kepada adik kecil Akbar ibu Akbar pun pergi dengan menggendong Bintang.
"Papa kamu kemana Bar?" tanya Cahaya di sela-sela makannya.
"Sibuk sama kegiatannya ikut bantu-bantu kasih sumbangan ke korban bencana."
Setelah mereka berempat selesai makan. Acara kegiatan membersihkan rumah Akbar dimulai.
Ibu Akbar sibuk menjaga anaknya yang masih batita. Riri memegang selang air dan mulai membersihkan lantai yang kotor dengan tanah. Cahaya siap mengepel lantai di susul Akbar dan Iyan memindahkan barang-barang ke tempat semula.
Di kegiatan yang sibuk itu tiba-tiba gempa susulan datang.
"Gempa?" selang air Riri menggantung di udara. Mereka semua berhenti melakukan kegiatan bersih-bersih.
"Mama! Bintang!" teriak Akbar dengan kencang. Akbar berlari dengan kencang menuju lantai dua.
"Ayo kita keluar!" seru Iyan seraya berlari keluar gerbang di ikuti Cahaya dan Riri dari belakang.
Mereka sampai ke tengah jalan dengan banyaknya orang komplek rumah yang berkumpul.
Gempa masih berlangsung. Semua orang menunduk dan hanya bisa pasrah menyaksikan satu persatu rumah ambruk.
Akbar dan Ibunya yang menggendong Bintang muncul di balik gerbang.
Sepersekian detik hampir saja mereka terkena pagar yang akan jatuh. Beruntung nasib baik mereka rasakan.
Akbar memeluk Ibunya dan adiknya dengan penuh syukur. Cahaya dan Riripun saling memegang tangan. lalu Iyan sibuk berkomat kamit membaca doa.
Gempa berhenti, orang-orang yang tadi di tengah jalan kini mulai berpencar. Akbar menenangkan sang ibu yang menangis sesegukan. Dengan masih panik Akbar mencoba menelepon papanya berkali-kali.
Iyan, Cahaya, dan Riri saling memandang merasa gentar. Nafas ketiganya beradu lirih.
"Nggak ada yang terluka kan?" Tanya Iyan khawatir dengan dua wanita di depannya.
Riri dan Cahaya menggeleng dengan pelan. Mereka semua hanya bisa lusu melihat rumah Akbar yang ambruk seketika seperti mainan lego yang di susun rapi lalu di tampar dengan kasar.
Riri tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Baru semalam ia bisa merasakan kenyamanan namun sekarang seakan berbalik seratus delapan puluh derajat. Sungguh kuasa Tuhan sangat dasyat. Untuk yang kedua kalinya Riri sangat bersyukur. Ia bisa selamat dari bencana maut ini.
Mereka hanya bisa duduk di tepi jalan. Mengais harta pun tidak ada gunanya. Karena semua tertutup oleh dinding-dinding tembok yang besar. Toh keluarga Akbar masih punya banyak harta di dalam tabungannya.
"Kita jalan ke gedung olahraga, disana ada banyak pengungsi." ucap Iyan yang baru saja membaca pesan di whatsaapnya.
Mereka akhirnya pergi dengan jalan kaki. Tak ada yang bisa mereka tumpangi karena semuanya sibuk dengan keadaan masing-masing.
Telinga mereka bisa mendengar jeritan-jeritan tangisan dari beberapa orang yang menyadari keluarganya tertimpa reruntuhan bangunan. Orang-orang yang dengan sukarela membantu sebisanya.
Sampai di gedung olahraga semuanya duduk di sembarang lantai. Akbar menggendong adiknya dengan tenang. Walau adiknya sedang menangis.
Mama Akbar masih syok. Ia duduk berselonjor menenangkan diri.
"Tolong carikan air putih buat tante ya Yan." dengan cepat Iyan berjalan keluar.
"Tenang ya tante, Istighfar." ucap Riri menenangkan dengan mengelus lengan ibu Akbar.
Iyan muncul dengan membawa satu botol aqua. Setelah memohon kepada penjual sembako di pinggir jalan.
Cahaya meraih botolnya dan membuka lalu membantu Ibu Akbar untuk meminumnya.
"Makasih ya Yan." ucap ibu Akbar melihat ke arah Iyan.
Suasana terdengar bising. Mereka hanya bisa menunggu bantuan datang.
"Gimana dengan sekolah kita?" tanya Riri cemas. Entah kenapa ia mengkhawatikan apa yang pernah berada di dekatnya. Seperti, Ayam yang pernah di mandikan Iyan, kucing putih yang menolak makanannya dan Ibu kartika dengan bayinya yang pernah di gendong Riri.
Iyan melihat layar ponselnya dan berkata.
"Disana juga terjadi gempa yang cukup parah." Iyan memperlihatkan foto di ponselnya pada Riri.
Terlihat sekolah itu rata dengan tanah. Sekolah dengan banyak kisah di dalamnya kini hancur. Tak bisa digambarkan lagi bentuknya.
"Ya Allah." ucap Riri sedih sambil menutup mulutnya menahan tangis yang hampir pecah. Ia membayangkan semua orang di dalamnya. Wajah-wajah yang dikenalnya. bagaimana keadaan mereka sekarang?
"Ibu..." ucap Riri teringat ibunya yang belum juga ia ketahui keberadaannya.
"Sabar Ri, sabar." Cahaya merangkul gadis berkerudung itu dengan penuh rasa kasihan.
Ibu Akbar dengan sabar menyusui anaknya. Namun ia pun cemas karena bantuan makanan belum datang. Sebagai ibu menyusui, ia cepat lapar.
"Akbar!"
Akbar menoleh, lalu segera berlari ke sumber suara itu.
"Papa!"
Dalam sekejap, Akbar memeluk papanya. Setelah itu papa Akbar langsung memeluk istri dan anaknya. Tangis mereka pecah seketika.
Iyan hanya bisa tertunduk melihat adegan di depannya. Ia teringat pada sang bapak yang telah menjadi korban bencana.
Riri saling memandang dengan senyum kepada Cahaya. Bahagia bisa melihat keluarga Akbar berkumpul. Walau di dalam hati mereka sangat merindukan keluarganya masing-masing.