Cahaya teman baru yang sangat cantik, mungkin lebih cantik jika ia menutup rambutnya. Jilbab pasti pas di wajahnya.
Riri berbicara sendiri dalam hati. Ia berharap kebersamaan ini akan terus ada walau nantinya mereka akan menentukan hidup masing-masing.
Mereka selesai menyanyikan satu lagu milik sheila on seven. Lalu melepas tawa dengan saling menepuk. Cahaya tiba-tiba membisikan kalimat kepada telinga Riri. Gadis berkerudung itu mengangguk paham apa yang dikatakan Cahaya.
"Mau dianter nggak ke toiletnya?" tanya Riri tanpa berkata lirih. Cahaya menampar lengan Riri.
"Oh iya maaf." ucap Riri merasa bersalah karena tidak berbicara lirih.
"Apaan sih bisik-bisik kaya gitu?" tanya Akbar penasaran.
"Biasa nih pasti urusan cewe." ucap Iyan mewakili dua wanita didepannya.
"Aku masuk dulu ya." ucap Cahaya dengan cepat berjalan memasuki gedung olahraga. Ia menuju posko kesehatan untuk meminta pembalut.
"Permisi mba saya mau minta pembalut." dengan malu cahaya mengucapkan kalimatnya. Ia berharap datang bulan tidak bocor mengenai celananya.
"Oh silahkan minta di sebelah sana ya." jawab wanita berpakain putih itu. Ia menunjuk sopan ke arah kerumunan TNI dan yang menjaga semua bantuan korban bencana.
"Oh iya, makasih ya mba." kata Cahaya dengan mengangguk dan berjalan ke arah yang telah di tunjuk wanita itu.
"Duh malu banget lagi, kenapa pembalutnya nggak di bagi-bagi aja sih. Mau di taruh dimana mukaku harus minta sama bapak-bapak TNI itu." gerutu Cahaya dalam hati. Ia memasrahkan diri dengan siap mengeluarkan kalimatnya.
"Permisi pak saya mau minta pembalut."
Dengan ramah Bapak berkumis itu menjawab.
"Oh ya ada, sebentar bapak ambil dulu." ucapnya segera mengambil dua bungkus pembalut di sebuah kardus besar.
"Ini." Cahaya melihat pembalut itu dengan ragu.
"Maaf pak yang pembalut malam ada nggak?" tanya Cahaya tanpa malu.
"Maksudnya dek?" Bapak TNI ini bingung.
"Itu loh pak yang gambarnya bulan bintang." Cahaya mengingat dalam benaknya. Si bapak mencari ke kardus lain.
"Oh ini ya? yang ada tulisan night nya." ucap bapak itu yang telah memegang pembalut.
Cahaya berterima kasih banyak kepada bapak yang terlihat sabar menghadapi dirinya.
"Gimana udah?" tanya Riri melihat Cahaya dengan wajah lega.
"Alhamdulillah udah." jawab Cahaya setelah pergi ke toilet.
"Eh, aku mau bantuin para TNI ya?" Iyan melihat TNI yang sedang sibuk membersihkan puing-puing.
"Yaudah sana dari pada bingung mau ngapain." ucap Riri melihat sekeliling.
Iyan pun berjalan menjauh dari gedung pengungsian itu.
"Aku ke dalem dulu ya mau jagain adikku." ucap Akbar.
"Oke Bar." jawab Riri dan Cahaya bersamaan.
Kedua cewe ini masih duduk di luar. Mereka diam memikirkan apa yang akan dilakukan. dari jauh mereka melihat posko dapur umum. Di sana terlihat ramai. Ada juga yang seumuran dengan mereka.
"Ri, kita ikut bantu yuk di dapur umum." ucap Cahaya bersemangat.
"Yaudah ayo!"
Dengan antusias kedua perempuan itu berjalan menuju dapur umum. Cahaya menggandeng Riri dengan sabar. Karena kaki Riri masih terasa sakit. Walaupun sekarang ia sudah tidak menggunakan tongkatnya lagi.
"Ka, kita boleh ikut bantuin nggak?" tanya Cahaya tanpa berlama-lama.
"Oh iya boleh, silahkan duduk disini." wanita dengan umur sekitar tiga puluhan ini menggeser duduknya. Mereka berdua pun duduk dan berbaur bersama sepuluh orang lebih.
"Nama kakak Widiya. Panggil aja Ibu Widiya. Di sini semua memanggilku Ibu widiya, jadi jangan panggil kakak lagi ya. Malu berasa masih muda aja." jelas Ibu Widiya dengan ramah sambil menaruh nasi di dalam kertas plastik.
Riri dan Cahaya mengulas senyum kepada ibu Widiya.
"Aku Cahaya dan ini Riri." kata Cahaya sambil menoleh kepada Riri.
"Kalian sering-sering ya bantu di sini jangan bosan-bosan. Kalo bantu di sini harus sabar. Ibu aja sabar banget ngaduk sepuluh kilo mie sekali masak sampai pergelangan tangan bengkak, duduk depan kompor bikin dadar telur dari jam empat sore sampe subuh." jelas ibu Widiya dengan menggebu-gebu.
"Wah ternyata pekerjaan relawan sangat berat ya bu." ucap Riri yang sebelumnya menganga dengan penjelasan ibu Widiya.
Mereka berdua menikmati suasana bantu-membantu tersebut. Cahaya dan Riri tidak bosan karena ibu Widiya terus bercerita, mereka berdua juga sesekali tertawa mendengan kisah ibu Widiya yang lucu.
"Ya ampun Ri, jari aku pegel banget nih bungkusin nasi." Riri menggerak-gerakan sepuluh jarinya dengan rasa sakit. Mereka kini duduk berselonjor tepat tangga-tangga panjang diluar gedung pengungsian.
"Iya nih aku juga." Cahaya pun mengikuti gerakan jari Riri.
"Nggak nyangka ya kita bisa membungkus nasi sebanyak itu." ucap Riri sambil membayangkan tumpukan nasi yang berada di ember besar tadi.
"Iya aku juga enggak nyangka, tadi tuh ada dua ribu lebih bungkus nasi loh." Cahaya melempar senyum kepada Riri. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri.
Setelah mencari udara segar dan beristirahat. Cahaya dan Riri memasuki gedung pengungsian. Mereka duduk bersama mama Akbar yang sedang berbincang dengan ibu-ibu lain.
Cahaya berbaring, dia sangat kelelahan. Tak butuh waktu lama. Ia tertidur pulas diantara suara ibu-ibu rumpi.
"Nih makan Ri, buat cemilan." mama Akbar menyerahkan keripik singkong yang berisi setengah dari plastiknya.
"Oh iya, makasih tante." Riri segera meraih dan memakannya.
"Ya ampun jeng, meja rias aku juga rusak pecah berkeping-keping."
"Mobilku pesok dan kacanya retak, padahal cicilannya belum selesai."
"Piala-piala punya anakku pun remuk."
"Perhiasanku juga tertimbun reruntuhan."
Riri mendengarkan dengan senyum di wajahnya sambil sesekali berkata.
"Untung ya untung sekali, nyawa masih bisa di selamatkan." di dalam hati Riri menjerit meminta Tuhan menghentikan siksaan ini.
Mereka para ibu-ibu seakan merasa puas membesar-besarkan penderitaan mereka. Mama Akbar tiba-tiba teringat kepada Riri.
"Oh ya Ri, kalau rumah tante udah beres, kamu boleh tinggal di rumah tante, kan ada Akbar sama Cahaya juga jadi rame deh rumahnya. Tentu lebih enak tinggal di rumah tante daripada di sini kan?"
Riri menganguk dan tersenyum lebar-lebar, menambal kedongkolan hatinya.
"Akbar kemana tante?"
"Itu disana lagi main sama Bintang." tunjuk tante dengan dagunya ke arah gerombolan anak-anak.
Akbar sedang mengawasi Bintang yang berlarian dengan anak-anak yang lebih jauh umurnya dari adik Akbar.
Dengan sigap tangan panjang milik akbar terlentang siap-siap memeluk adik kecil yang sekarang telah menubruk dadanya. Akbar memeluk adiknya sambil tersenyum girang di susul tawa anak-anak di sekitarnya.
Riri sangat bahagia bisa melihat Akbar tersenyum dan tertawa ringan. Seakan tidak ada beban di wajahnya.
Riri berjalan mendekat ke arah Akbar. Akbar menyadari kedatangannya.
"Hei Ri, kemana aja baru keliatan?" tanya Akbar dengan mata masih mengawasi adiknya bermain lari-larian.