Chereads / MALAIKAT HIDUPKU / Chapter 21 - 21. PENGUNGSIAN DI GEDUNG OLAHRAGA

Chapter 21 - 21. PENGUNGSIAN DI GEDUNG OLAHRAGA

Semakin detik jarum jam bergerak. Semakin banyak pula orang-orang yang memasuki gedung olahraga. Bising berupa tangisan, obrolan, kecemasan menyatu dan menggema di telinga Riri.

Akbar sibuk menggendong adiknya yang rewel, mama dan papa Akbar sibuk mengobrol. Cahaya dan Riri terdiam melihat ekspresi beberapa orang.

"Internet tidak terganggu." seru Iyan.

"Oh ya?" Cahaya bergeser duduk di samping Iyan. Begitupun Cahaya.

Layar telepon genggam milik Iyan menampilkan situs koran. Hampir seluruh kota terkena gempa.

"Aku bisa chatting dengan teman-temanku!" Iyan melotot mengamati layar teleponnya.

"Alhamdulillah beberapa temanku mengungsi di tempat lain. Zahra...hei! ada Zahra!"

"Zahra? Apa katanya?" Riri menjulurkan kepalanya lebih dekat lagi.

"Dia nanyain kamu, sebentar aku jawab dulu." Iyan pun sibuk mengetik dengan kecepatan tinggi.

"Zahra ada dimana? dia baik-baik aja kan?" tanya Riri merasa khawatir, karena ia begitu menyayangi sahabatnya yang ceria.

"Dia ada di pengungsian juga deket rumahnya." jawab Iyan terus mengamati layar teleponnya.

"Sama saudaranya kan?"

"Iya bener Ri."

"Syukurlah." ucap Riri lega dengan mengelus dadanya.

Sementara itu Akbarpun memegang teleponnya dengan kesusahan karena Bintang rewel.

Riri mencoba berdiri dan menggondong adik kecil itu.

"Sini aku gendong Bar." ucap Riri.

Akbar menyerahkan dengan hati-hati adiknya. Riri menggendongnya dengan mengerutkan dahi.

"Berat juga ya adikmu!" kata Riri yang telah menggendong dari samping.

"Umurnya bsetengah tahun dan beratnya dua belas kilo." jelas Akbar.

"Wah pantesan berat ya."

"Eh dia anteng tuh di gendong kamu." seru Akbar dengan wajah berbinar.

Riri dengan nyaman menunjuk sesuatu dan menceritakan apa yang di lihatnya. Si adik kecil Bintang mendengarkan Riri berbicara seperti guru sekolah.

"Eh Ri katanya Ibu kamu ada di pengungsian di masjid pinggir jalan." Akbar bersemangat memperlihatkan layar ponselnya. Seseorang berkomentar di status Akbar hari lalu. Katanya Ibu kartika ada di pengungsian.

"Coba liat ada fotonya nggak?" tanya Riri dengan berdebar sekaligus penuh harap.

Akbar menunjukan sebuah foto pada layar ponselnya. Riri memfokuskan matanya. Lalu menghela nafas putus asa.

"Bukan, itu bukan ibuku." kata Riri dengan nada lemah.

Akbarpun sedih mendengarnya. Ia membalas komentar itu jika itu bukan orang yang dia cari.

"Sayang ya kamu nggak punya fotonya." ucap Akbar.

"Iya." jawab Riri tertunduk lesu.

Setelah menunggu sampai tiga jam bantuan datang. Itupun bukan dari pihak resmi. Melainkan dari orang-orang biasa yang mempunyai makanan lebih. Beberapa wanita bergamis dengan kerudung panjangnya membagikan roti dan air mineral.

"Mohon di terima ya bapak ibu sekalian. Ini ada sedikit bantuan makanan." ucap wanita itu dengan sopan dan tersenyum kepada gerombolan pengungsi.

Kemudian giliran mama, papa, Akbar, Cahaya, Iyan dan Riri menerima bantuan makanan itu.

Riri menyerahkan Bintang kepada mama Akbar dengan saling tersenyum.

"Makasih ya Nak Riri."

Kemudian semua duduk melingkar dan mereka segera memakan rotinya dengan lahap. Namun Riri melamun dengan membiarkan bungkus roti itu terbuka.

"Ri, di makan ya." seru mama Akbar dengan menyentuh pundak Riri. Semua menatap Riri dengan sedih.

"Aku kangen sama ibuku. Dimana dia sekarang?" ucap Riri dengan menitikkan air mata.

"Sabar Ri, Sabar. Tante yakin pasti ibu kamu baik-baik aja." kata mama Akbar dengan mengelus kepala Riri yang telah bersembunyi di balik telapak tangannya.

Cahaya yang telah menghabiskan roti dan minumannya dengan reflek memeluk Riri karena tangis Riri sesegukan.

"Sabar Ri, udah ya jangan nangis lagi. Ayo makan Rotinya, kamu harus jaga kesehatan untuk ketemuza sama ibu kamu Ri, insya Allah ibu kamu ketemu kok Ri, berdoa terus Ri." kata Cahaya dengan mengelus-elus punggung Riri.

Riripun melepas pelukan Cahaya lalu menyeka air matanya dengan kasar. Riri merasa malu jika harus manangis di depan mereka. Tapi ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

Papa Akbar akhirnya menggerakan hati untuk menolong Riri. Ia membagikan identitas ibu kartika, yaitu ibunya Riri ke semua sosial medianya. Karena papa Akbar mempunyai relasi yang cukup banyak.

"Semoga ibuku bisa cepat di temukan." ucap Riri dengan penuh harap. Ia pun berterima kasih kepada papa Akbar.

Kini para pengungsi beristirahat di alas alakadarnya. Seperti karpet, tikar dari bantuan pemerintah atau sisa barang yang memang bisa di selamatkan.

Lansia, dewasa, remaja anak-anak dan bayi berbaur jadi satu di dalam gedung olahraga. Ruangan ini pun terasa sesak lantaran ramainya orang.

Tak hanya untuk beristirahat, lokasi pengungsian seadanya itu juga di jadikan tempat berbagai kegiatan sepertk makan, mengobrol dan arena bermain anak-anak.

Untunglah, sudah banyak posko posko yang menyediakan bantuan berupa makanan, alas tidur, popok dan lainnya. Posko bantuan itu beragam, mulai dari pemerintah hingga LSM.

"Keluar yuk! disini panas banget." ucap Cahaya mengibas-ngibas wajahnya dengan tangan.

Mereka berempat keluar dari gedung itu. Udara angin segar akhirnya bisa mereka hirup.

"Eh nyanyi dong Ri, katanya kamu jadi vokalis band ya di sekolah." ucap Cahaya melirik pada Akbar.

Riri tidak pernah bercerita tentang dirinya yang menjadi vokalis. Mungkinkah Akbar yang menceritakan tentang diirinya kepada sepupunya alias Cahaya.

"Yaudah yuk nyanyi bareng-bareng ya tapi." ucap Riri malu-malu.

"Oke deh, nyanyi apa nih?" tanya Akbar bersemangat. Ia juga rindu suasana nyanyi rame-rame bersama teman-teman.

"Sheila on seven dong." ucap Riri.

"Melihat tawamu mendengar senandungmu. Terlihat jelas di mataku warna-warna indahmu. Menatap langkahmu meratapi kisah hidupmu. Terlihat jelas bahwa hatimu anugerah terindah yang pernah ku miliki.

Sifatmu nan selalu redakan ambisiku

Tepikan khilafku dari bunga yang layu

Saat kau di sisiku, kembali dunia ceria.

Tegaskan bahwa kamu anugerah terindah yang pernah ku miliki.

Belai lembut jarimu, sejuk tatap wajahmu. Hngat peluk janjimu, oh. Belai lembut jarimu, sejuk tatap wajahmu. Hangat peluk janjimu. Anugerah terindah yang pernah ku miliki

Belai lembut jarimu, sejuk tatap wajahmu. Hangat peluk janjimu, oh. Belai lembut jarimu, sejuk tatap wajahmu. Hangat peluk janjimu.

Anugerah terindah yang pernah ku miliki."

Merekapun bernyanyi dengan senyum penuh kebahagiaan. Bahagia yang sederhana telah membuat hati menjadi pasrah akan keadaan dan berusaha menikmati setiap detik kebersamaan. Riri memandangi satu persatu teman-temannya.

Akbar adalah definisi pria tampan di sekolah, tubuh jangkungnya membuat dirinya mudah di kenali dan tentunya olahraga adalah prestasi terbaiknya. Riri masih menyukai Akbar diam-diam. Entah kapan rasa ini akan terhapus. Karena sejujurnya Riri benar-benar menginginkan rasa itu hilang agar ia tidak terus memikirkan Akbar di malam hari.

Iyan, sahabat yang membuat ia sadar akan ketaatan dalam beragama. Sosoknya yang kuat karena sekarang ia hidup sebatang kara dan satu lagi. Wajahnya yang terlihat manis dan kulitnya yang hitam serta rambut berponi membuat Riri berharap Zahra dan Iyan berjodoh kelak.