Chereads / MALAIKAT HIDUPKU / Chapter 19 - 19. SAMPAI DI RUMAH AKBAR

Chapter 19 - 19. SAMPAI DI RUMAH AKBAR

Mereka sampai di sebuah perumahan. Mobil berhenti di depan gerbang yang tinggi menjulang. Mata Iyan dan Riri terpana dengan rumah milik Akbar.

Lantai pertama terlihat sangat berantakan. Sofa, meja, lemari yang berisi piala-piala olahraga milik Akbar yang terkena air dan kotor karena tanah, beberapa barang di tumpuk sebisanya dan di pinggirkan.

Ruang tamu terlihat luas karena tergabung dengan ruang tengah. Mereka menuju lantai dua. Disini tak ada yang terkena sentuhan air dari stunami. Sangat bersih dan nyaman serta harum dari pewangi lantai.

"Kalian tunggu di sini dulu ya." Ucap Akbar dengan terburu-buru meletakkan tasnya dengan sembarangan disusul kakak sepupunya. Cahaya mengikuti Akbar dari belakang dengan berlari kecil.

Sementara Iyan segera mencharger hpnya. Iyan meminjam charger milik Akbar yang tergletas di meja.

"Hey kalo mau minjem barang ngomong dulu dong sama orangnya." Riri mencegat dengan menepuk pundak Iyan.

Iyan meringis setelah mencolokan kabel ke dalam hpnya.

"Ya nggak papa nanti ngomong sama Akbar," Iyan berbisik.

"Penting banget soalnya darurat, hehehe." sambungnya tak merasa punya dosa.

"Hem." Riri membuang muka.

Riri dan Iyan duduk di atas karpet tebal yang halus.

"Karpet ini rasanya lebih nyaman dan lembut di banding dengan kasurku di rumah." kata Riri dalam hati dengan tangan mengelus-elus benda datar itu.

"Kapan ya punya rumah kaya gini." ucap Iyan dengan kepala mendongak melihat langit-langit rumah yang halus dengan cat warna ungu muda di padukan dengan warna putih. Lalu ada lampu pada bagian tengahnya. Lampu lumayan besar seperti tetesan berlian yang berkumpul.

"Doa aja terus siapa tau Allah kabulin doa kamu." ucap Riri dengan sebelumnya menggeleng-gelengkan kepala pada Iyan.

"Iya Ri aku selalu berdoa yang terbaik untuk masa depanku. Aku selalu berdoa terus habis sholat berjamaah sama bapakku. Sekarang aku hanya bisa berdoa sendiri. Kalo boleh sedih, hati aku sebenernya sakit banget harus hidup sendiri seperti ini."

"Ya Allah, Iyan." Riri menutup mukanya.

"Kamu jangan bilang gitu dong aku jadi pengin nangis nih." ucap Riri membuka wajahnya.

"Kamu itu laki-laki Yan, kamu harus kuat. Laki-laki itu pemimpin rumah tangga." Riri tersenyum lucu.

"Aku ngomong apa sih ya?" kata Riri dengan tertawa sendiri.

"Rumah tangga rumah tangga. Aku baru lulus SMA Ri, masa aku harus mikirin pemimpin rumah tangga." Iyan menggerutu sambil mengacak rambutnya.

"Justru harus di pikirkan dari sekarang Yan." jawab Riri sok tau.

"Btw beruntung banget ya si Akbar. Udah ganteng, pinter olahraga, keluarganya lengkap. Sempurna pokoknya."

"Sempurna dari mata manusia, sempurna dari luar. Kita kan nggak tau dalemnya kaya gimana. Lebih baik lagi jika kita berusaha sempurna di mata Allah."

"Widiw kata-katamu udah kaya ustadzah aja." Kata Iyan dengan nada meledek.

"Alhamdulillah kalo itu sebuah doa." mata Riri menerawang melukiskan kembali kisah dengan ibunya.

"Ibu yang ngajarin aku supaya lebih memikirkan bagaimana Allah akan menilai kita. Aku juga baru melakukan apa yang ibu ajarkan. Sejak dulu aku bandel sama ibu. Kalo ibu ngomong aku cuma mengangguk-angguk dan bilang iya terus menerus tapi nggak mau melakukannya." jelas Riri dengan sedih.

"Jadi dengan peristiwa bencana ini dan kamu belum ketemu sama ibumu terus kamu tobat Ri?" Tanya Iyan dengan polos.

"Insya Allah aku tobat." tegas Riri.

"Jangan tobat sambel ya!" Iyan memberi peringatan dengan mengacungkan jarinya di depan hidung Riri.

"Tobat sambel gimana?" Riri bingung.

"Misal nih ya ada orang makan sambel trs bilang, Oke aku nggak akan makan sambel lagi, eh pas besoknya dia makan sambel. Orang indonesia emang nggak bisa jauh dari sambel." jelas Iyan dengan menggebu-gebu.

"Oh gitu ya. Oke aku paham." Riri mengangguk dan tersenyum.

Akbar muncul dan telah mengganti bajunya dengan celana joger dan kaos hitam bertulis sport di bagian dadanya. Rambut Akbar dengan potongan model undercut. Riri melihatnya dengan terpana.

"Astaghfirullah hal adzim." ucap Riri dalam hati.

"Kalian masuk aja ke kamar ini." Akbar membuka pintu kamar sebelah tangga.

"Hei! masa aku berdua sama Riri. Kan bukan muhrim." Seru Iyan melihat Riri.

"Oh iya lupa, maksudku Riri di kamar ini sama Cahaya. Nanti Iyan di kamarku." kata Akbar.

"Ayo! masuk Ri!" ajak Cahaya yang telah berada di belakang Riri. Cahaya menuntun pelan Riri. Mereka masuk kedalam kamar dan menutupnya.

"Yuk! masuk ke kamarku Yan." Akbar berjalan lebih dulu di ikuti Iyan.

Di dalam kamar Riri duduk di sisi kasur yang empuk. Ia duduk diam saja, karena Cahaya yang memintanya. Katanya, ia tak kuasa harus melihat Riri kesusahan karena kakinya yang di perban.

Cahaya meletakkan barang-barang yang hanya sedikit. Ada perlengkapan mandi milik Riri dan baju yang masih basah di sebuah plastik.

"Aku jemur baju kamu di atas ya Ri, kamu tunggu di sini aja. Bentar kok." ucap Cahaya lalu pergi keluar.

Riri melihat Cahaya dari belakang. Ia merasa sangat beruntung kali ini bisa bertemu dengan gadis cantik berkuncir itu. Riri merasa ia memiliki teman baru. Karena di sekolah ia hanya dekat dengan Zahra.

Cahaya selesai menjemur baju dan memasuki kembali kamar yang terasa kosong.

"Dulu ini kamar siapa sih?" tanya Riri dengan manatap dinding kamar yang putih polos tak ada sentuhan apapun. Di dalam kamar hanya ada lemari, meja rias, dan kasur.

"Kamar kosong Ri, keluarga Akbar kan cuma sedikit. Orang tua Akbar cuma punya dua anak. Akbar dan bintang."

"Oh adiknya Akbar namanya bintang?" tanya Riri dengan rona bahagia di wajahnya. Seakan menemukan warna baru. Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan orang yang di sukai memang hal yang menyenangkan.

"Masa kamu nggak tau sih, kamu kan temennya Akbar." kata Cahaya sambil duduk di sebelah Riri.

"Nggak tau deh Akbar nggak cerita." ucap Riri.

"Oh ya jam berapa sekarang?"

Cahaya mengeluarkan hpnya dari saku celana baggy pants yang di pakainya.

"Jam tujuh lebih."

"Yaudah sholat isya dulu yuk!" Riri bangkit dari duduknya dengan pelan.

"Kamu sholat lima waktu terus ya Ri?" tanya Cahaya membuat Riri mengerutkan dahinya.

"Iyalah, ya Insya Allah." ucap Riri ragu-ragu lalu melanjutkan.

"Kita kan islam jadi ya wajib sholat lima waktu." kini Riri mengucapkannya dengan tegas.

"Kenapa sih tanya gitu?" tanya Riri penasaran.

Mata cahaya melihat rok panjang hitam bahan wolfis lalu baju lengan panjang dan kerudung segi empat yang menutupi dada Riri.

"Aku pengin deh pakai pakaian kaya gitu Ri dan sholat lima waktu nggak bolong-bolong." ucap Cahaya dengan mata penuh harap. Entah kenapa Riri tersentuh dengan ucapan Cahaya.

"Masya Allah kamu bikin aku merinding aja."

"Kok merinding sih?" Cahaya menepuk lengan Riri sambil tertawa.

"Ya kata-kata kamu bikin aku melting aja. Soalnya aku baru denger ada orang ngomong kaya gitu di depan aku."