Pantat Riri begitu sakit saat mendarat secara mendadak di atas benda kasar itu. Riri menahan sakitnya dengan menggigit bibirnya. Ternyata ia baru tersadar. Kaki kananya juga terasa sakit. Apalagi pada bagian pergelangan kaki. Ia merasa tidak bisa menggerakan ujung kakinya.
Diantara orang-orang yang sibuk melarikan diri dari hujan. Riri masih terduduk. Ia terdiam sejenak agar terasa lebih baik tubuhnya.
"Ri, kenapa?"
Riri mendongak.
Akbar di depan matanya. Cowo yang membuat pikirannya kacau kini mencari jawaban atas apa yang terjadi pada Riri.
"Kepleset." jawab Riri dengan wajah terlihat kasihan. Malu rasanya.
"Yaudah berdiri kok malah duduk aja. Hujannnya deres banget nih." Suara tinggi Akbar beradu dengan guyuran hujan.
"Kaki aku nggak bisa di gerakin!" aku berteriak karena gerah dengan pemandangan di depanku. Ternyata mahasiswa berkuncir itu ada di samping Akbar.
"Kayaknya kakinya terkilir kamu angkat aja dia." ucap wanita itu dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Akbar.
Dengan kesal Riri tertunduk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sekali hentakan tubuh Riri di gotong oleh Akbar. Kaki panjang itu berjalan dengan langkah cepat. Tubuh Riri kaku harus bertempelan dengan Akbar. Dirinya hanyut dalam keheningan yang terasa melayang.
"Riri?" suara Iyan membuat Riri tersadar.
Ia yakin kini semua mata yang berada di ruangan itu melihat dengan pertanyaan yang sama.
Riri hanya diam dengan panggilan Iyan. Akbar telah mewakili jawaban Riri.
"Dia kepleset. Katanya kakinya nggak bisa di gerakin."
"Wah itu terkilir mungkin kakinya." jawab Iyan melihat wajah Riri kesakitan.
Riri duduk berselonjor sementara yang lain duduk bersila.
"Bar, aku bantuin di sana dulu ya?" gadis dengan mata bening itu menunjuk ke arah beberapa relawan yang membagikan makanan.
"Oh iya ca." Jawab Akbar yang berada di sebelah Riri.
Gadis itu pergi dengan rambut panjangnya yang lurus.
Riri berapi-api melihat adegan akrab itu.
Kali ini mereka tidak mengantri untuk bisa mendapatkan makanan. Para pengungsi hanya perlu duduk bergerombol lalu para petugas akan membagikan bungkus nasi.
"Ayo makan yang banyak Ri." ucap Iyan seraya membuka dengan antusias bungkus makanannya.
Semua terlihat makan dengan lahap. Kecuali Riri. Ia mengunyah nasi dan sambal goreng tempe dengan pelan sambil memikirkan bagaimana hari-harinya akan dilalui dengan kaki yang tak bisa berjalan.
"Alhamdulillah hari ini kita bisa makan dengan makanan yang enak." ucap Iyan setelah menyeruput air.
"Emang kemarin nggak enak ya?" Tanya Akbar mengelap bibirnya.
"Kemarin enak kok, tapi lebih nikmat hari ini. Mungkin karena tadi aku habis bantuin para anggota TNI." jelas Iyan.
"Aku juga ngerasa nikmat makan siang kali ini. Mungkin karena aku habis bantuin para mahasiswa yang mendongeng."
Mendengar itu Riri melirik judes.
"Emang kamu bisa mendongeng Bar?" Iyan penasaran dengan kemampuan Akbar.
"Ya nggak bisa sih, Aku cuma kasih semangat aja sama anak-anak yang lagi dengerin dongeng, nyanyi-nyanyi bareng gitu, suara aku paling keras, supaya anak-anak semangat."
"Ternyata kamu punya jiwa menyayangi anak kecil ya Bar." Iyan salut dengan tindakan Akbar.
"Aku mah suka kesel sama anak kecil. Aku nggak bisa sabar sama mereka. Mungkin karena kamu punya adik yang masih kecil, jadi kamu penyayang anak-anak ya Bar?"
"Ya mungkin aja gitu." jawab Akbar.
"Heh Ri! itu nasinya kok masih banyak gtu sih?" Iyan dengan nada marah.
"Iya aku bakal habisin makanannya kok." jawab Riri dengan datar.
"Kamu tuh nggak boleh mubadzir sama makanan. Di sini tuh lagi susah semua." jelas Akbar dengan nada menyindir. Riri benci Akbar.
"Bener tuh Ri, apa kata Akbar. Yaudah cepet di makan tuh."
Riri terdiam dan memakan dengan paksa makanan itu. Suasana hatinya tidak mendukung saat ini. Hingga gairah makannya hanya sedikit.
Setelah selesai makan. Iyan mengumpulkan bungkus makanan di dalam kantong kresek hitam. Dengan sabar ia memungutnya dari para pengungsi dan membuangnya di tempat sampah.
Riri melihat itu dengan terpana. Iyan sosok religius dan baik hati. Mengapa ia tak jatuh cinta pada Iyan? ia malah kepincut dengan cowo yang menyenderkan punggungnya pada tembok.
Akbar.
Sibuk dengan ponselnya.
"Emang udah ada sinyal ya Bar?" Tanya Riri dengan malas.
"Sudah pasti Akbar sedang whatsaap an dengan gadis mahasiswa itu." katanya dalam hati.
"Udah nih. Baru hari ini ada sinyal tapi masih putus-putus kadang juga hilang berjam-jam."
"Oh." Riri hanya bisa menjawab seperti itu. karena saat ini ia tidak mempunyai alat berbentuk kotak itu.
"Oh ya Ri, gimana kalo aku tulis ibumu di facebook ya. Siapa tau ada yang menemukan atau mengenal ibu kamu."
Ide Akbar membuat mata Riri bercahaya.
"Oh ya bener juga ide kamu. Yaudah buruan tulis nama ibuku."
"Siapa Ri nama ibu kamu? Aku lupa."
"Kartika umur 50 tahun desa kalisapu jalan mawar gang dua nomor rumah 31."
"Oke udah kutulis. Semoga aja cepet ketemu ya Ri."
"Iya semoga aja cepet ketemu dengan keadaan selamat." jawab Riri melemah.
"Bu, Riri kangen banget sama ibu." katanya dalam hati.
"Emang terakhir kali kamu ketemu ibumu. Dia lagi dimana sih."
"Ya dirumah. Aku pamit ke sekolah terus udah, aku nggak tau lagi ibu ngapain aja hari itu, bodohnya aku nggak nanya ibu mau ngapain aja hari itu." jawab Riri dengan nada putus asa.
"Oh gitu ya."
Riri melirik Akbar atas jawaban yang di dengarnya.
"Kenapa Akbar ini begitu cuek. Tapi di sisi lain dia juga perhatian banget. Dasar sok misterius." Riri berkata dalam diamnya.
"Duh gimana nih sama kaki aku?" Riri menggerutu.
"Aku udah chat sama Cahaya katanya nanti ada dokter yang akan memeriksa kamu."
"Cahaya?" tanya Riri meskipun hatinya menyimpan bara.
"Iya cewe mahasiswi tadi yang sama aku."
"Oh."
Udara serasa menjadi panas. Riri benci dengan nama itu.
"Kapan dokternya kesini?"
"Ini bentar lagi. Dokternya ada di sini kok. Dokternya lagi makan katanya."
"Waduh dokternya disini ya?"
"Kenapa takut ya? bersyukur ada dokter yang kebetulan lagi mampir ke pengungsian ini." nada Akbar tidak enak di dengar oleh telinga Riri.
"Iya Iya."
Jam empat sore telah tiba. Riri bangun dari tidurnya. Berharap membuka mata dan pemandangan di depannya adalah pintu kamarnya sendiri. Nyatanya masih sama seperti dua jam yang lalu.
Kaki kanannya di perban. Tepatnya pada bagian pergelangan kaki sampai ujung kaki. Disebelahnya ada tongkat agar ia bisa berjalan sendiri. Tongkat kayu seadanya. Sedih rasanya melihat keadaannya sendiri.
Riri belum mandi dan sholat asar. Ia bingung jika mandi ia tidak punya baju untuk dipakai. Karena jemurannya basah kuyup terkena hujan.