Chereads / MALAIKAT HIDUPKU / Chapter 16 - 16. BAJU PINJAMAN

Chapter 16 - 16. BAJU PINJAMAN

"Nih dipinjemin baju sama Cahaya." sebuah tangan dengan memegang baju terlihat didepan matanya. Akbar telah berdiri di hadapan Riri.

Gadis berkerudung segiempat yang menutupi dada itu pun berdiri dengan susah payah menggunakan tongkatnya. Ia masih membiarkan tangan Akbar memegang beberapa baju.

Riri melirik seperti tidak perduli.

"Gimana mau nggak?" tawaran Akbar terdengar menyebalkan.

"Kamu nggak punya baju lagi kan?" mata kecil milik akbar melirik tumpukan baju basah milik Riri di dalam ember.

"Kenapa nggak dia aja yang kesini?"

"Dia lagi sibuk sama relawan lain." Jelas Akbar seraya meletakkan baju di bawah. Tepat di sebelah kaki Riri. Dasar tidak sopan. Pikir Riri.

"Nanti malem aku mau balik ke rumah. Kamu mau ikut nggak?"

Tawaran Akbar untuk tinggal di rumahnya masih berlaku ternyata. Riri bingung. Bagaimana dengan Iyan?

"Iyan mau nggak nginep di rumah kamu?" tanya Riri dengan malu. Riri merasa jika hanya ia saja yang menginap di rumah Akbar. Akan aneh jadinya. Ia berharap Iyan juga akan ikut ajakan Akbar untuk sementara tinggal di rumahnya.

"Aku belum ngomong lagi sama Iyan."

"Kalo Iyan mau, aku juga mau tinggal sementara di rumah kamu." Jawab Riri jujur.

"Yaudah kamu tanya sendiri aja sama dia. Nanti malem aku mau balik ke rumah jam 8. Terserah kamu mau tinggal di rumahku atau nggak." Jaelas Akbar dengan nada yang terdengar tidak ikhlas menurut Riri.

"Yaudah bilangin makasih ya sama Cahaya." Ucap Riri dengan malas. Dirinya harus mau memilih pilihan untuk menggunakan baju Cahaya. Walaupun dadanya serasa jengkel dengan masiswi yang sok dekat dengan Akbar.

"Oke." Akbar pergi dengan berjalan santai.

"Nyebelin banget sih tuh anak. Coba aja kalo nggak tampan, udah ku tabok." Riri mengumpat dalam hati.

Dengan susah payah tangan Riri mengambil baju yang ada di atas tikar. Lengan bawahnya memeluk baju dengan kesusahan. Sementara tangan lainnya memegang tongkat. Ia berjalan seperti kakek yang sangat tua. Pelan sekali. Setiap hentakan yang melangkah mulut Riri meringis menahan rasa sakit. Ia berharap semoga kakinya cepat sembuh.

"Hei!" Riri mendengar suara nyaring di belakangnya. Belum sempat dirinya berbalik. Seseorang telah berada di tempat Riri berpijak.

"Aku Cahaya, kamu Riri kan?" mahasiswi berkuncir itu mengulurkan tangan.

Riri kesusahan mengulurkan tangannya. Karena tangan kanannya sedang memegang baju.

"Eh nggak papa kok." Gadis itu mengurungkan niatnya untuk bersalaman dengan gadis berhijab di depannya.

Riri mencoba tersenyum dan menjawab.

"Iya aku Riri ka. Ini kakak serius mau pinjemin aku baju?" tanya Riri dengan sopan.

"Iya serius. Eh by the way nggak usah panggil kakak lah, panggil aja cahaya. Kita Cuma beda setahun kok." Senyum cahaya terlihat cantik di mata Riri. Pasalnya lesung pipi itu terlihat sempurna.

"Oh gitu ya. Yaudah Cahaya makasih ya kamu udah mau minjemin aku baju." Kata Riri mengulas senyum.

"Aku ke kamar mandi dulu ya. Aku belum sholat ashar nih." Sambung Riri

"Oh iya silahkan." Jawab Cahaya dengan melihat Riri yang telah berjalan.

"Eh Ri!" Cahaya membuat Riri berbalik.

"Btw kamu mau yah tinggal di rumah Akbar. Sekalian supaya aku ada temennya. Sepupuku nggak enak di ajak ngobrol."

Jantung Riri kaget.

"Sepupu? Akbar maksudnya?" tanya Riri dengan mata mencari jawaban.

"Iya. Akbar itu sepupu aku."

Deg serasa di pukul habis habisan dirinya. Ternyata dugaan Riri selama ini salah. Cahaya bukan wanita pilihan hati Akbar. Akbar pun bukan laki-laki yang dengan mudah Akrab dengan perempuan.

"Ya Tuhan aku merasa kasihan telah meperlakukan Akbar seolah dia pria jahat. Ampuni aku." Kata Riri sedih dalam hati.

"Kenapa Ri?" ucap Cahaya dengan heran.

"E nggak papa kok ka, eh cahaya." Riri membuka lebar-lebar matanya.

"Nanti aku pikir-pikir lagi deh soal nginep di rumah Akbar." Riri mencoba tetap ramah pada Cahaya yang lebih tua darinya.

"Yaudah, aku ke toilet dulu ya Cahaya." Riri menunduk dengan sopan.

"Oh yaudah oke deh."

Mereka saling memunggungi lalu berjalan pergi.

Dada Riri akhirnya merasakan kembali nafas yang tenang. Cahaya ternyata bukan saingannya dalam mencintai Akbar.

Gadis kurus ini rasanya tidak enak hati telah bertingkah kesal dengan Akbar. Semoga saja Akbar tidak menyadari tingkahnya yang terlihat aneh.

Saat ini sendal Riri telah menginjak lantai toilet yang terlihat berlumpur sedikit. Kini tubuhnya harus berdiri lebih lama untuk mengantri giliran masuk ke toilet. Bau yang menyengat begitu membuat perutnya terasa mual.

Hidup di pengungsian seperti ini memang harus sabar. Semua sedang dalam kesusahan. Stunami yang menimpa kota mereka betul-betul membuat seluruh raut wajah menjadi sedih.

Makan harus menunggu jadwal jam, ke toilet harus mengantri, air yang sedikit, tidur yang tidak nyenyak, semuanya hampir tidak ada yang menyenangkan hidup di pengungsian. Namun setidaknya Riri bersyukur masih diberikan kehidupan yang layak.

"Riri?"

Wajah yang telah memanggil nama itu berbinar melihat Riri.

"Ibu Kartika." Riri memberi senyuman. Ia senang bisa kembali dengan wanita ini yang namanya mirip dengan ibunya.

"Anak ibu kemana?" tanya Riri spontan. Ia teringat dirinya yang handal menggendong bayi.

"Ibu titipin sama temen ibu. Kan ibu mau sholat dulu tadi."

"Di titipkan ke temen? Suami ibu kemana?" tanya Riri penasaran.

"Suami saya lagi di balai kota."

"Oh." Riri hanya menjawab huruf vokal bulat. Ia tahu pasti suami ibu kartika sedang mengurusi jenazah keluarganya. Karena balai kota adalah tempat para korban yang meninggal, Jadi ia tidak bertanya lagi. Takut membuat ibu kartika sedih.

"Yaudah yuk! Sini main sama anakku. Kamu kan jago banget gendong dan membuat bayiku tidur pulas.

"Ah ibu bisa aja. Ya nanti saya mampir kok bu, tapi nanti ya."

Keduanya keluar musolla. Ibu Kartika melihat Riri yang telah mengambil tongkat dan terlihat kaki yang di perban.

"Ya Allah kamu kenapa Nak? Tanya ibu kartika dengan cemas.

"Kepleset bu pas hujan tadi siang." Riri tertawa kecil.

"Ya Allah kamu hati-hati dong jalannya. Pasti itu sakit banget." Ibu kartika terus memperhatikan kaki Riri.

"Cepet sembuh ya Ri. Ibu masuk ke dalem dulu." Ibu kartika menunjuk ruangan kelasnya yang masuk kategori anak-anak. Itu artinya semua yang mempunyai anak kecil tidur di ruangan itu.

"Oh iya bu." Ucap Riri seraya melempar senyum.

Sore yang dingin telah tiba. Semua orang berada di dalam ruangan, karena setengah jam lagi adzan maghrib berkumandang.

Mata Riri melihat tumpukan bajunya yang basah. Ia berfikir jika paginya akan sial. Tak ada baju lagi yang bisa ia pakai.

Orang di sekelilingnya sibuk mengobrol. Ada juga yang sibuk bermain hp. Yang tidur pun ada. Entahlah Riri belum bisa beradaptasi dengan lingkungan pengungsian ini. Berkenalan dengan orang di sampingnya juga belum ia lakukan.

Sulit rasanya bagi Riri hidup seperti ini. Seperti terombang ambing di lautan. Ia masih belum mengetahui keberadaan ibunya. Tidak ada kejelasan sama sekali mengenai ibunya.