Riri melihat punggung Akbar yg makin menjauh. Entah kenapa senyum Riri merekah. Ada percikan rasa kagum. Namun ini lebih indah dari yang pernah ia rasakan.
Jatuh cinta?
Telapak tangan Riri menempel di dadanya. Hati yang terasa bahagia seperti sedang di bawa terbang bersama angin. Mungkinkah ia harus jujur pada dirinya bahwa ia sedang jatuh hati pada sosok Akbar?
Tetapi perasaan dalam hati Riri takut untuk mencintai Akbar. Karena jika rasa cinta tumbuh, pasti Riri berharap banyak kepada Akbar. Mungkin nanti akan terlalu sakit jika Riri menyadari Akbar tak memiliki perasaan apapun dengannya.
Ia segera melupakan apa yang terjadi pada dirinya. Kakinya melangkah cepat hingga sampai pada tikar. Ia menyelimuti diri dan memejamkan matanya dengan terpaksa.
***
Pagi yang penuh dengan kebisingan. Semakin banyak anggota keluarga yang di datangi saudaranya. Pelukan demi pelukan mengurai dimana-mana. Makanan semakin banyak tersedia di pengungsian. Beberapa yang tidak bisa bertemu saudaranya hanya duduk bersantai sambil mengobrol. Atau tidur berlama-lama.
sementara diluar terdengar mobil dengan cat seperti pelangi disambut meriah anak-anak pengungsian. Buku-buku tertata rapi di dalam mobil. Beberapa boneka untuk berdongeng telah siap. Seorang mahasiswa mengajak anak-anak untuk duduk di atas tikar yang sudah disediakan. Semua mengelilingi wanita yang menguncir semua rambutnya. Terlihat wanita itu kepanasan namun senyum yang riang di perlihatkannya. wanita itu mendongeng dengan sangat lincah. Ia memainkan boneka yang ada di tangannya.
Riri yang sedang menjemur bajunya di sebuah kayu seadanya melihat suasana itu. Ia melukiskan senyum. Namun rasa perih sedikit menggores hatinya.
"Anak-anak kecil seperti itu telah menangkap memori bencana alam stunami yang mengerikan, dan yang pasti membuat trauma. Hem kasian anak-anak itu. Syukurlah ada relawan yang siap membuat mereka tertawa." ucap Riri dalam hati kecilnya.
Selesai menjemur beberapa pakaiannya. ia segera bersiap menuju balai kota. Ia berniat untuk pergi kesana sendiri dengan berjalan kaki. Karena tak ada kendaraan. Mobil box yang akan menuju balai kota dijadwalkan siang hari. Ia tak mungkin menunggunya sampai siang. Barangkali saja jenazah yang ada di balai kota terdapat jenazah ibunya. Meskipun ia tidak menginginkannya. Ia juga tidak boleh membuang waktu sia-sia untuk mencari ibunya.
Ia berjalan dengan tempo yang cepat. Karena matahari sudah terlihat jelas. Terik cahaya di langit terasa panas. Namun menyehatkan bagi Riri. Olahraga adalah salah satu pelajaran favoritnya. Jadi ia menikmati pagi yang cerah ini. Meskipun hatinya diselimuti rasa takut akan kembali melihat jenazah.
"Hidup harus terus berjalan. Meskipun terasa getir. Karena Allah akan selalu ada untuk hambanya yang tak pernah berhenti berdoa." Bisiknya sendiri.
Pemandangan masih terasa menakutkan untuk Riri. Sesekali ia meringis melihat rumah-rumah yang hancur rata. Kadang terlintas bayangan orang-orang yang merasa kesakitan. Gadis berkerudung coklat ini cepat-cepat beristighfar.
setelah lama ia berjalan hingga sampai di tempat tujuan. Ia terdiam melihat balai kota yang kosong tanpa kantong-kantong mayat.
Ia berlari dengan perasaan berkecamuk. lalu bertemu dengan petugas kemarin yang membantunya.
"Pak apakah sumua jenazah disini sudah teridentifikasi?" tanya Riri cemas. Keringat dingin terasa pada kedua telapak tangannya.
"Sudah dan tidak ada jenazah ibu kamu disini."
Riri menarik nafas panjang mendengar pe jelasan si petugas.
"Kalo gitu makasih pak. Saya permisi." Dengan hati yang terasa lega Riri meninggalkan balai kota.
"Dimana lagi aku harus mencari ibu?" tanyanya merintih dalam lubuk hatinya.
Pagi tadi ia telah memeriksa setiap kelas dan tak ada sosok ibu. Iapun memeriksa setiap daftar nama pengungsi. Namun semuanya nihil.
Ia terus berjalan dengan kaki yang terasa pegal. Sepanjang perjalanan tak ada kendaraan beroda. Hanya ada beberapa orang yang berjalan. Terkadang juga ada becak yang membawa orang dan tas-tas besar. Mungkin orang-orang itu akan mengungsi. Entahlah Riri hanya bisa mengira-ngira.
Kini pikirannya dipenuhi kebingungan. Kepingan hati yang hilang belum juga bisa ditemukan.
Tiba-tiba mobil bak atau mobil pick up berhenti di sisi kanan Riri.
"Ri sini naik!" teriak suara yang dikenal Riri.
Riri menengok mencari wajah sahabatnya. Kini ia melihat Zahra diantara banyak perempuan yang menaiki mobil bak itu.
"Zahra." ucapnya penuh syukur seraya menaiki mobil bak itu dengan dengan susah payah. Mereka memberikan ruang untuk tempat Riri duduk. Meski agak berdesakan.
"Jalan pak!" sahut seseorang.
Riri kaget karena baru saja ia akan duduk.
"Kamu ngapain jalan sendirian Ri?" tanya sahabatnya yang memakai seragam serasi dengan orang-orang di sekitarnya.
"Nanti aku ceritain kalo udah sampai. Ini rombongan mau ke pungungsian sekolah kan?"
"Iya." Kata beberapa dari mereka.
"Komunitas remaja peduli bencana alam." Riri membaca punggung salah satu dari mereka.
Riri salut dengan Zahra si gadis berkacamata. Sahabatnya itu paket lengkap. sudah cantik, pintar di kelasnya, jiwa sosialnya tinggi pula. Beruntung ia bisa menjadi sahabatnya. Selama perjalanan mereka hanya terdiam melihat disisi kanan kiri mereka. Rumah-rumah rata dengan tanah. sawah-sawah di penuhi lumpur. Jalanan retak sesekali mereka lihat. Begitu kacau pemandangan yang mereka saksikan.
Akhirnya mobil bak berhenti. Mereka turun dan langsung menuju ruang para relawan berkumpul.
Zahra segera menghamburkan pelukannya kepada Riri. Mereka berpelukan layaknya persahabatan yang erat.
"Dari tadi aku pengin meluk kamu tapi susah pas di mobil." Zahra menggerutu.
Mereka melepas pelukan penuh rindu itu.
"Maaf yah Ri. Aku nggak sempet pamit sama kamu."
"Iya nggak papa kok."
"Kamu kan tau keadaan kacau dimana. Dan kakakku langsung ngajak aku pergi kerumah sodara."
"Iya nggak papa aku tau kok."
Mereka berjalan menaiki tangga menuju kelas dan duduk di tempat Riri biasa tidur.
"Ya Allah." mata Zahra berkeliling melihat tempat Riri biasa beristirahat. Hanya beralas tikar. Zahra menjadi merasa iba dengan Riri.
"Kamu tidur di rumah sodara aku aja Ri." ajak Zahra memegang pundak Riri.
"Akbar juga ngajak aku sama iyan buat nginep dirumahnya." jelas Riri.
"Yaudah kamu mending tidur di rumah Akbar aja. Kan lebih deket. Rumah sodaraku jauh Ri."
"Yaudah nanti aku pikirin lagi deh."
Riri mengambil botol air mineral untuk Zahra.
"Minum dulu nih. Panas kan tadi di mobil bak." Riri membuka tutup botol dan menyerahkannya kepada Zahra.
"Makasih." kata Zahra dengan senyum kemudian meminumnya.
"Eh kamu ngga papa ya disini? Nggak ikut temen-temen komunitas kamu bantu-bantu." Riri merasa tidak enak hati.
"Nggak papa kok. Nyantai aja." jawab Zahra lalu meneguk minumannya lagi.
"Gimana kabar ibumu Ri?" tanya Zahra lembut.
"Yah belum ada kabar apapun." Riri menunduk lemas. Pertanyaan mengenai ibunya membuat luka yang telah ada kembali perih.