"Sabar ya Ri. Aku cuma bisa bantu doa." ucap gadis berkacamata dengan kerudung phasmina.
Riri menelan ucapan itu dengan pahit.
"Oh ya tadi pas dijalan kamu habis kemana?" tanya Zahra
"Ke balai kota buat cari tahu. Jenazah ibuku ada disana atau nggak." Riri menjawab dengan malas.
"Ya Allah kamu bener-bener nyari sampe segitunya ya Ri?" tanya Zahra membayangkan perjuangan sahabatnya.
"Ya iyalah Zah, itu kan ibuku yang hilang. Cuma ibu yang aku punya." Riri hampir meneteskan kristal di matanya.
"Kalo bapak kamu gimana kabarnya?" pertanyaan yang terdengar asing di telinga Riri. Bapak yang telah membuat hatinya kecewa. Bapak yang membuat ibu menderita. Riri bahkan telah membuang jauh lukisan-lukisan Bapak di dalam pikirannya.
"Ri kok diem?" Zahra mengguncang pundak Riri.
Gadis dengan alis tebal itu kaget.
"Astaghfirullah hal adzim." Ia mencubit kening dengan semua jarinya dengan frustasi.
"Maaf Ri kalo pertanyaan aku salah." Zahra mengelus pundak di sampingnya.
"Kamu nggak salah kok Zah, justru aku yang merasa bersalah, telah melupakan bapakku."
"Nggak mungkin Ri kamu lupa sama bapak kamu sendiri." Zahra sahabat yang selalu didekatnya berucap seakan tahu segalanya tentang Riri.
"Kamu mungkin ingat sepintas, tapi kamu menepis bayangan bapakmu dengan kasar." Zahra seperti mengintrogasi sahabatnya.
"Kamu bener Zah." jawab Riri dengan nada tegas.
"Entah kenapa aku benci sama bapakku Zah. Tapi di satu sisi aku juga rindu."
Zahra hanya bisa diam tanpa merespon. Ia tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang orang tua. Karena sejak kecil ia hanya merasakan kasih sayang seorang kakak.
"Goblok banget ya aku ini." gadis SMA dengan paras mirip yuki kato ini mengutuk dirinya.
Bagaimana bisa Riri merasakan kekacauan dalam batinnya. Seakan ia kehausan belaian kasih bapaknya namun ia harus minum minuman kuda lumping. Pecahan kaca yang di telannya adalah rasa kecewa dan kebencian terhadap bapaknya.
"Hus! nggak boleh ngomong kaya gitu!" mata Zahra melotot.
"Ya maaf." kata Riri malas.
Riri tidak tahu bagaimana ia bisa menghapus rasa bencinya terhadap sang bapak.
"Kamu harus banyak bersyukur Ri." kata Zahra, sepertinya ia akan mulai menasehati sahabatnya.
"Untuk?" tanya Riri bingung.
"Kamu bisa merasakan kasih sayang orang tuamu. Bapak dan ibumu, sementara aku sejak kecil tak pernah melihat wajah kedua orang tuaku." Zahra dengan nada melemah pada bagian akhir.
"Bapak kecelakaan saat menuju ke rumah sakit untuk menemui ibu. Sementara Ibu harus meregang nyawa setelah melahirkanku. Kalo inget itu aku jadi sedih banget Ri." jelas zahra dengan mata berkaca.
Hati Riri ikut tersayat mendengar kalimat Zahra.
Benar apa kata Zahra. Bersyukur, Riri seringkali lupa dengan kata ajaib itu.
Bersyukur membuat Tuhan menambah nikmat kita. Jika tidak, maka Tuhan akan mencabut nikmat yang telah diberikan.
"Kamu bener Zah, aku sendiri seringkali lupa bersyukur. Malah lebih sering ngedumel sama kenyataan. Ya Allah ampuni aku." Riri menghela napas.
"Aku harus menemukan ibuku, terlalu banyak kesalahanku padanya."
Kening Zahra mengerut mendengar perkataan Riri. Kesalahan?
"Emang kamu salah apa Ri?"
"Aku merasa bersalah banget sama ibu, aku selalu mengabaikannya, kupikir ibu dodoh telah menikah dengan bapak yang seorang pemabuk dan tukang selingkuh. Mungkin dulu ibu berpikir menikah karena alasan ekonomi. Tapi sekarang aku sadar, ibu tidak pernah meninggalkan aku. Bisa saja ibu menaruhku di panti asuhan atau kawin lagi, atau bekerja menjadi pemandu karoke supaya dapat uang lebih, namun ibu justru memilih jalan yang terberat, kerja keras dengan pekerjaan terhormat untuk membahagiakanku." suara Riri tertelan, ia menghapus air matanya.
"Kamu sungguh-sungguh beruntung, Riri." kata Zahra menepuk pundak disebelahnya.
"Aku tahu." jawab Riri. Ia tertunduk.
Riri beruntung sang ibu sangat kuat menjalani pedihnya ujian. Ibu kartika membesarkan Riri dengan penuh pengorbanan.
"Makasih ya Zah kamu udah mau dengerin keluh kesah aku." ucap Riri menyeka air matanya.
Zahra membalas dengan melukis senyum pada wajahnya. lalu mereka saling merangkul dan menepuk. Berusaha menguatkan masing-masing.
Baru kali ini Riri curhat masalah keluarganya dengan sedetail itu. Mungkin dulu Riri masih bisa menyimpan semua rasa sakitnya dengan tertawa bersama sahabat-sahabatnya. Tapi dengan keadaan seperti ini membuatnya tak kuasa menahan luka-luka di ruang hatinya. Hingga akhirnya perlahan ia mulai membuka semua kisahnya.
"Lagi pada reonian nih ceritanya." Iyan datang dengan celana hitam dilipat serta lumpur yang menempel pada bagian bawah dan kaos oblong yang sedikit basah.
"Kamu habis ngapain sih Yan? kotor banget kaya gitu." Zahra memasang raut jijik.
"Abis mandiin ayam."
"Ayam?" mata Zahra melotot mengedarkan pandangan ke sekliling.
"Yaelah kamu takut sama ayam Zah? kaya si Akbar aja." ledek Iyan.
"Aku nggak takut cuma geli aja." kata Zahra membela diri.
"Ayamnya udah aku masukin ke kandang kok." kata Iyan lalu duduk di sebelah Zahra.
"Kasihan ayamnya, kadang kakak-kakak relawan disini ngasih makannya suka telat. Kandangnya juga jarang di bersihin." jelas Iyan sambil menggerutu.
"Yaudah mending kamu ganti baju deh sana. Basah kaya gitu baju kamu. Ngapain juga duduk disini?" Zahra menggeser bokongnya sedikit.
"Yaudah mending kamu ganti baju deh sana. Basah kaya gitu baju kamu. Ngapain juga duduk disini?" Zahra menggeser bokongnya sedikit.
Riri mengulas senyum melihat tingkah Zahra.
"Ya ampun Zah, aku cuma mau istirahat sebentar disini. Bawel banget kamu." Iyan membuang muka kesembarang arah. Lalu melingkis lengan kaosnya.
"Nih minum dulu." Riri menyodorkan air mineral gelas plastik kepada Iyan.
"Nah gini kek dari tadi." Iyan mengambil air putih yang berada di depannya.
"Gimana Ri, kamu udah ke balai kota?" tanya Iyan setelah meneguk minuman.
"Aku udah kesana tapi hasilnya nihil." Jawab Riri menunduk dengan memainkan sedotan aqua.
"Ya Alllah sabar Ri, aku doain ibumu di setiap solatku. Insya Allah ibumu ketemu dengan selamat." Kata Iyan lembut.
"Amin,Makasih banyak yan."
"Kamu juga harus siap apapun yang akan terjadi dengan ibumu. Serahin semuanya sama Allah. Alhamdulillah ketika aku tawakal dan berserah diri sama Allah. Aku udah merasa lega bapakku di panggil Alllah. Setidaknya bapak udah tenang disana. Dan nggak cape lagi ngurusin aku." Jelas Iyan dengan santai. Sementara Zahra mengernyitkan dahi, ia baru mendengar bapak Iyan meninggal.
"Innalillahi wainailaihi rojiun. Ya Allah maaf Yan aku baru tahu kabar bapakmu. Turut berduka cita ya. Semoga beliau tenang disana ya." Zahra merasa bersalah karena sejak kedatangan Iyan, ia terlihat terganggu dengan Iyan.
"Iya nggak papa Zah, kamu gimana sama kakakmu? Baik baik aja kan?" tanya iyan.
"Alhamdulillah sehat semua. Aku sekarang tinggal sama sodaraku. Disana aman semuanya. Hanya sedikit gempa. Alhamdulillah semua rumah disana aman. Hanya jalan jalan yang retak."
"Alhamdulillah kalo gitu."
Kata Iyan dengan penuh syukur.
"Zahra sekarang sibuk sama komunitas relawan gitu loh Yan." Riri meledek sekaligus bangga dengan sahabat perempuannya.
Cewe berkacamata bulat itu tersenyum mendengar Riri berkata.
"Wah bagus itu." Iyan melihat baju Zahra dengan tulisan komunitas yang di ikuti sahabatnya itu.
"Ya sudah sekarang kamu sana kumpul sama temen-temen komunitas kamu tuh, kayaknya lagi pada bantuin bungkusin makanan deh." Kata Iyan berharap Zahra segera pergi sehingga ia bisa bersama Riri.
"Kamu ngusir aku Yan?" mata Zahra memburu si Iyan.
"Iya!" ucap iyan dengan tegas. Lalu melanjutkan,
"Ngusir secara halus." Bibir Iyan tersenyum paksa.
"Heh dasar!" Zahra menepuk punggung keras milik cowo religius itu.
"Bilang aja kamu mau berduaan sama Riri!" Tuduh Zahra sambil berdiri dengan terpaksa.
"Apaan sih Zah." Riri membuat mukanya jijik.
Iyan melirik Riri dengan kesal karena wajah Riri terlihat tidak sedap di pandang.
"Yaudah aku pergi dulu deh. Semoga aku bisa kesini lagi ya." Gadis berkulit sawo mateng ini memeluk Riri.
"Makasih ya Zah kamu udah mau denger curhatan aku." Riri pun melepas pelukan Zahra.
Sementara Iyan pura -pura membuang muka.
"Kamu jagain Riri ya Yan." pinta Zahra.
"Insya Allah aku jagain sampai.." bola mata Iyan menghadap ke atas. Dirinya bingung melanjutkan kalimatnya.
"Sampai maut memisahkan? Huh dasar lebay!" kata Zahra.
Riri terkekeh.
"Biarin lah." Iyan tertunduk malu.
"Eh gimana luka yang kena kayu, udah baikkan?"
"Udah alhamdulillah." Riri mengulas senyum.
Setelahnya Zahra pergi menuju tempat dimana para relawan berkumpul dan menyiapkan makanan untuk para pengungsi.
Iyan masih duduk di tikar milik Riri. Dirinya sengaja ingin berlama-lama bersama gadis pilihan hatinya.
Iyan menyedot air mineral dengan pelan.
"Obatnya udah di minum Ri?" tanya Iyan mencoba perhatian dengan pujaan hatinya.
"Udah aku minum tadi pagi." Jawab Riri seraya mencari mukena diantara tumpukan bajunya.