Malam ini adalah malam kedua Riri berada di pengungsian. Rasanya begitu lambat waktu berjalan. Ia ingin kembali hidup normal dengan ibunya. Rindu yang ia rasakan begitu menusuk.
Angin semilir terasa dingin menyentuh pipinya lembut. Sejenak ia menarik nafas panjang. Mencoba memberikan ruang pada hatinya. Ia berharap semoga angin ini sampai kepada sang ibu. Angin rindu yang dikirimkan oleh Riri.
Bola mata beningnya melihat ke atas. Kuasa Tuhan terbentang luas begitu megah. Titik-titik yang saling terhubung dengan kerlip yang bergantian membuat bibirnya melukis senyum tipis.
Ia bersyukur masih bisa melihat keindahan ini. Beban apapun tampaknya bisa sejenak hilang dengan memandangi ciptaan Tuhan. Di dalam situasi sekarang ini dengan terjadinya stunami, hatinya kini merasa lebih dekat dengan sang pengasih.
Di dalam kegelapan ini ia menjadi mengerti makna cahaya. Cahaya adalah iman. Riri teringat dengan kalimat yang kemarin Iyan ucapkan padanya.
Sebuah kertas melayang oleh hembusan angin hingga menabrak pipi milik Riri. Ia sedikit kaget lalu tangannya menangkap kertas itu dengan cepat supaya tidak kembali terbang.
"Apaan sih." bisiknya sedikit kesal.
Matanya melihat tulisan yang berbaris rapi pada kertas itu. Ia hampir membacanya tapi sayang benda itu direbut paksa oleh tangan nakal.
"Akbar!" kata Riri dengan geram. Namun hatinya bertanya kenapa Akbar bisa disini.
Si empunya kertas malah meringis tak berdosa.
"Kamu udah baca ya?" secepat kilat wajah Akbar berubah. Matanya menyoroti raut wajah Riri.
"Ya belum lah. Orang tadi kamu rebut gitu." jelas Riri sambil mengerutu.
Akbar menarik nafas lega.
"Apaan sih isinya? kaya puisi gitu ya?"
"Bukan." Akbar mengelak
"Iya kok puisi bener. Soalnya tadi aku lihat rapi banget gitu paragrafnya."
"Iya bener puisi!" Akbar kalah dengan Riri.
"Kamu suka nulis puisi ya?" tanya Riri antusias. Pasalnya ia suka membaca puisi. Seringkali ia meminjam buku diperpustakaan tentang puisi.
"Iya lumayan sih." jawab Akbar datar.
"Aku tuh ya kalau baca puisi suka kebawa perasaan tau." Kata Riri dengan bola mata melihat ke atas.
Akbar hanya diam tak perduli.
"Keren banget sih kamu Bar bisa bikin puisi. Aku kayaknya nggak bisa deh. Merangkai kata kata gitu. Ribet."
Akbar yang dipuji gadis didepannya tetap membisu.
"Eh katanya kamu balik ke rumah?" tanya Riri.
"Udah kok." sahut Akbar
"Terus kenapa balik kesini?" tanya Riri dengan wajah menyebalkan
"Ya aku nggak tega aja liat kamu sama Iyan harus tidur di tempat pengungsian kaya gini."
"Ya ampun so sweet banget sih Bar."
"Lebay! buktinya kamu nggak bisa tidur kan disini? jam segini aja kamu belum tidur."
"Kalo kamu nggak tega liat aku sama Iyan tidur disini. Terus kamu mau nemenin tidur disini gitu?"
"Ya nggak lah. Itu sih sama aja aku nggak ngasih bantuan sama kalian."
"Ya terus?"
"Aku mau ngajak kamu sama iyan tidur di rumahku." jelas Akbar terdengar tegas.
"hah?" Riri bingung bagaimana nanti ia bisa tidur di rumah Akbar.
"Nggak papa kok kata Mama sama Papaku."
"Ya udah nanti Aku pikirin lagi deh."
Mereka berdua berjalan ke arah balkon dan memegangnya.
"Sejak kapan Bar kamu suka nulis puisi?" Tanya Riri penasaran karena ia tak pernah melihat Akbar menulis langsung sebuah puisi.
"Dari SD aku udah suka nulis puisi." jawab Akbar seraya melihat gambaran langit yang membentang.
"Kenapa aku baru taunya sekarang ya?" Tanya Riri kepada dirinya sendiri.
"Ya mungkin aku nggak pernah mengumbar karyaku sendiri. Aku masih nggak pede. Karena puisiku masih jelek." Jelas pria yang memakai jaket hitam dengan kaos putih didalamnya. Ia membiarkan jaketnya terbuka.
"Ya kamu aja udah bilang puisi kamu jelek. gimana orang-orang percaya kalau puisi kamu bagus." kalimat yang terlontar dari mulut Riri membuat Akbar tersadar.
"Iya juga sih ya."
"Nah tuh kan makannya kamu harus yakin kalau puisi kamu tuh bagus." Kata Riri menegaskan.
"hem oke. Tapi aku masih harus belajar."
"Ya belajar mah wajib sampe mati."
"Bener tuh."
Tangan Riri menarik kasar kertas yang sejak tadi di pegang Akbar. Dengan sekali tarikan kertas itu kini di genggaman gadis berkerudung ini.
"Eh balikin ngak!" Akbar menggertak.
Riri tersenyum puas.
"Ya ampun Bar jangan pelit kenapa sih? heran deh."
"Yaudah deh aku ngalah. Baca aja sana baca!" Akbar menggaruk kesal dan pasrah.
Riri bersiap untuk membacanya. Sementara Akbar berkata.
"Aduh aku malu Ri." Akbar menutup sebelah wajahnya.
"Tuhan, kelopak mataku sulit untuk kujatuhkan. Tuhan, kisah-kisah berserakan dalam pikiran. Tuhan, badanku tak mau berteman dengan bantal. Aku makhluk kecilmu yang tamak. Pintaku banyak ya Tuhan. Ya Tuhan, Ajari aku berada didalam ketidaksadaran. Ajari aku mencium wanginya bunga tak kasat mata. Ajari aku berkawan dengan nafas yang teratur." Riri membacanya dalam hati.
Ketika selesai membacanya ia melempar senyum bangga terhadap teman bandnya.
"Keren banget Bar. Wah nggak nyangka aku." Riri menggeleng-geleng kepala takjub dengan karya Akbar.
"Makasih Ri." Akbar tertunduk malu. Membuat Riri terpana dengan rambutnya yang keren. Riri bahagia bisa melihat Akbar kembali.
"Eh gimana tuh punggung kamu udah mendingan?"
Hati Riri seolah meluncur di perosotan. Ia tak menyangka Akbar seperhatian itu dengan dirinya.
"Masih sedikit sakit sih. Masih bengkak juga."
"Obatnya diminum dong. jangan mubadzir!" Cetus Akbar.
"iyaaa." Kata Riri dengan santai
"Sini puisinya!" Akbar merebut kertas itu dari genggaman jari-jari Riri.
"Biasa aja kali Bar." kata Riri dengan manyun.
Akbar melipat rapi kertas miliknya lalu mem asukkannya kedalam saku jeans nya.
"Itu puisi tentang kamu yang nggak bisa tidur yah Bar?" tanya Riri merapikan kerudungnya karena terkena angin.
"Yah kok tau sih Ri." sahut Akbar dengan putus asa.
"Bener ya?" Riri berbinar melihat ke Akbar.
"Bener."
"Yes."
Riri dan Akbar masih terus memandangi langit. Sesekali percakapan mereka di bumbui dengan lelucon Akbar yang terdengar ngawur.
"Ri kamu bisa ngliat hantu nggak?"
Bola mata Riri mondar mandir. Ia takut dengan pertanyaan Akbar.
"Setan maksudnya?" tanya Riri spontan.
"Iya kaya pocong, kuntilanak, tuy."
"Eh udah berenti. Malem-malem kaya gini jangan ngomongin setan ah." telapak Riri mengibas cepat di depan matanya. Membuang bayangan hantu dalam pikirannya.
"Soalnya aku bisa ngliat hantu Ri." sorot mata Akbar melihat ke bagian samping Riri.
"Apa sih Bar! kamu ngliat apa?" tanya Riri gemas sekaligus takut dengan kelakuan Akbar.
"Aduh itu di samping kamu apa sih Ri?" tanya Akbar dengan ketakutan hingga membuatnya harus menutupi kedua matanya.
"Apa sih ah. Orang nggak ada siapa-siapa." ucap Riri kewalahan seraya menengok kanan kiri.
"Ya ampun Ri aku takut banget tuh mukanya nggak berbentuk Ri, Rambutnya panjang banget, matanya melototin aku terus Ri." Akbar gemetar sesekali membuka matanya.
"Apaan sih Bar. Aku juga takut nih." Riri merengek dengan bersembunyi ke punggung Akbar.
"Tapi bo-ong!" Seru Akbar berbalik sambil menertawai Riri.
"Astaghfirullahal adzim!" Riri memegang keningnya. Matanya hampir copot memandangi Akbar.
"Rese rese rese." tiga kali Riri menampar lengan atas Akbar.
"Yaudah ah aku cabut aja. Dadah Riri."
Akbar berlari kecil meninggalkan Riri.