Chereads / MALAIKAT HIDUPKU / Chapter 9 - 9. KAKEK PEMILIK AYAM MENINGGAL

Chapter 9 - 9. KAKEK PEMILIK AYAM MENINGGAL

Riri Berusaha Sholat dengan khusyu. Mencoba mengusir hal-hal negatif dalam benaknya. Namun, pikirannya masih saja terbayang wajah si mayat di dalam kantong jenazah.

Selesai sholat ashar ia panjatkan doa untuk semua korban stunami semoga diberi ketabahan dan ia menitikkan air mata saat berdoa agar ibunya bisa di temukan.

Jam menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit. Hari sudah sore. Di luar angin serasa dingin menusuk. Ia sangat bisa merasakan dingin wajahnya.

Kini Riri membuka mukena dan meletakannya pada sebuah lemari kecil. Tangannya sibuk menggunakan peniti untuk berhijab. Riri berdiri di depan cermin yang hanya bisa menangkap wajahnya saja. Ia mengaca dengan terus memperhatikan wajahnya. Terlihat matanya yang masih sembab. Ia melukiskan senyum pada dirinya.

Kain yang menutupi semua rambut hingga dadanya terlihat indah untuk perempuan muslim seperti dirinya. Hijab segi empat yang ia kenakan membuat dirinya merasa terlindungi. Ia bersyukur ibunya mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sekarang ia meyakinkan diri dalam hatinya dan berjanji akan menaati ibunya dan selalu menyayangi dengan sebuah tindakan yang nyata.

Ia benar-benar malu pada dirinya sendiri. Hijab sudah ia pakai hingga gamis yang panjang. Namun ia merasa tidak cukup menunaikan tugasnya sebagai seorang anak.

Berbakti kepada orang tua. Ya. Setidaknya ia harus menggaris bawahi kalimat itu setebal mungkin.

Riri berjalan mendekat ke jendela lalu mengintip keluar. Hari akan gelap. Hujan rintik-rintik yang turun membuat kabut. Udara yang dingin menusuk membuat perutnya lapar. Kira-kira dimana ibunya berada saat ini. Riri hanya berharap ibunya bisa makan dan berada di tempat yang aman. Ia benar-benar sangat merindukan ibunya.

Biasanya jika hari basah seperti ini ibunya seringkali membuat ketela rebus yang dihidangkan bersama gula jawa. Ketela rebus yang berwarna putih dan empuk sangat nikmat jika masih panas. ditambah gula jawa yang digigit dengan kecil. Rasanya begitu mengenyangkan.

Perutnya sangat lapar. Sayangnya pembagian makanan dilakukan setelah maghrib tiba. Ia berjalan menuju tempatnya biasa untuk tidur malam kemarin. Ia hanya bisa menunggu seperti pengungsi lain.

Membereskan beberapa bajunya yang ia dapat dari bantuan. Tangannya melipat baju dengan rapi. Baju yang kotor ia pisah dan dimasukkan ke dalam kantong kresek hitam. Besok pagi ia akan mencucinya.

Riri bersyukur hari ini bantuan selimut telah datang. Berarti nanti malam ia bisa tidur nyenyak. Walaupun hanya tidur beralas tikar.

"Riri." Iyan datang membawa dua kantong yang berisi gorengan. Sepertinya masih panas.

Mata Riri bercahaya melihat cemilan favoritnya itu.

"Nih makan." Tangan iyan meletakkan bungkusan itu di lantai.

Mereka duduk berhadapan.

"Wah enak nih dingin-dingin makan gorengan." ucap Riri bersemangat dan menggigit tempe goreng yang masih panas.

"Bismillahirrahmanirrahim." ucap Iyan melihat ke Riri seperti mengingatkan.

"Oh ia lupa. Bismilahirrahmanirrahim." Riri melempar senyum malu kepada pria didepannya.

"Dapet dari mana nih?" tanya gadis yang masih mengunyah makanan berminyak itu.

"Tadi aku ketemu mamahnya Akbar terus dikasih gorengan ini."

"Oh."

"Terus kata mamahnya Akbar. Akbar pulang kerumahnya. Buat ngebersihin rumahnya."

"Jadi nanti Akbar bakal nginep di rumahnya. nggak di pengungsian ini?" tanya Riri dengan santai. Namun hatinya merasa kehilangan sosok yang menjaganya.

"Ya nggak tau. Mungkin aja. Soalnya kan rumah dia katanya nggak terlalu parah rusaknya." jelas Iyan.

"Kenapa? takut nggak ada Akbar?" tanya Iyan dengan sorot mata seperti mengintrogasi.

"Ng-Nggak kok." jawab Riri dengan gagap. Ia merasa bisa tanpa Akbar. Tapi hatinya seperti ada yang retak jika ia tak melihat sosok Akbar.

"Tenang aja aku bakal nemenin kamu buat cari ibumu." kata Iyan sedikit membuat ruang di hati Riri bernafas.

"Makasih Iyan." ucap Riri dengan senyum tulus.

Di saat mereka berdua sedang asyik makan. Tiba-tiba ada seekor ayam yang menghampiri.

"Ini kan ayam kakek yang waktu itu." ucap Iyan sambil memangku si ayam. Terlihat tali rafia yang masih mengikat kaki si ayam.

"Oh ia bener." Riri baru menyadarinya.

"Eh si kakek itu kemana ya?" Mata Riri berusaha mencarinya.

"iya kok nggak keliatan yah." kata Iyan dengan kepala sedikit mendongak untuk mencari si kakek.

"Kasihan banget kamu yam." Iyan mengelus dengan penuh rasa iba.

"Mungkin dia lapar. coba aku kasih gorengan ya." Riri menyodorkan tempe ke mulut ayam.

Si ayam mematuk-matuk tempenya. Sepertinya dia suka. Riri meletakkan tempe itu di lantai. Iyan pun melepaskan si ayam. Ayam itu terlihat rakus memakan makanannya.

Riri tersenyum melihat si ayam. Entah bagaimana hatinya merasa seperti ada bunga yang mekar. Ia bahagia bisa memberi makan hewan berkokok itu.

Beberapa menit berlalu. Si wanita berwajah yang mereka temui pagi hari tadi datang mengagetkan.

"Kakek itu udah meninggal Dek. Mending ayamnya di amankan petugas relawan aja yang ada disini." si wanita itu menjelaskan dengan cepat.

"Innalillahi." ucap Iyan dengan mata tak percaya. Riripun menatap kosong kearah wanita yang telah pergi.

"Duh kasihan yah si kakek." ucap Riri merasa kehilangan.

"Semoga ia bisa masuk surga ya. Karena kebaikannya terhadap si ayam ini." Iyan berkata sambil mengelus ayam yang mulai mengorek kantong plastik miliknya.

"Yah punyamu dimakan semua Yan." Riri melongo melihat tingkah si ayam.

"Biarin aja, anggap aja sedekah." kata iyan dengan santai.

Mereke berdua tersenyum melihat si ayam. sepertinya si ayam merasa menemukan kembali tempat yang membuatnya nyaman. Buktinya ayam itu tidak pergi saat selesai memakan gorengan tempe.

"Aku seneng bisa berteman dengan si ayam ini." Iyan berucap dengan muka berseri. Raut wajah penuh ketulusan yang bisa Riri lihat.

"Dulu waktu aku umur tujuh tahun. Bapakku pelihara ayam banyak banget. Mungkin sampe sepuluh ekor. Dan aku benci banget kalo pas pagi-pagi bau kotoran ayam. Aku sampe marah-marah sama si Bapak." kata Iyan bercerita dengan penuh antusias.

"Wah banyak banget sampe 10 ekor." Riri menanggapi dengan mata terpanah. Ia juga membayangkan pasti kotoran ayamnya sangat bau.

"Tapi setelah bapak menasehatiku, kalau ayam itu menghasilkan telur dan jika ayamnya sudah besar, bisa di jual. Aku jadi rajin membersihkan kotoran ayam di kandang."

"Oh my god itu pasti bau banget dong Yan." kata Riri dengan wajah meringis membayangkan betapa kotornya kandang ayam.

"Hem bapak. Aku jadi kangen banget sama bapak." mata Iyan berkaca hingga menitikkan air mata. Namun jarinya segera menyekanya.

"Nggak papa kali Yan, nangis aja. Aku tahu kok kamu pasti sedih banget."

"Pantang bagiku nangis di depan cewe."

"Halah kamu Yan bisa aja."

Setelah itu Riri menghabiskan gorengannya. Sementara Iyan pergi berniat menyerahkan ayam itu kepada petugas.