Chereads / MALAIKAT HIDUPKU / Chapter 8 - 8. TAK ADA IBU

Chapter 8 - 8. TAK ADA IBU

Jari-Jari gadis pucat ini memegang pena. Perlahan ia menulis semua data dengan lengkap.

"Aku ambilin kamu minum ya," ucap Akbar dengan penuh perhatian. Gadis di sampingnya hanya mengangguk. Ia tetap fokus dengan kertas dihadapannya.

"Udah selesai nulisnya?" suara Akbar terdengar tepat di samping telinga Riri. Gadis ini membeku sedetik. Ia tak menjawab lalu meletakkan penanya dengan mantap dan segera meraih gelas yang berada digenggaman Akbar. Ia langsung meneguknya dengan kilat.

"Awas nanti keselek!" Mata Akbar hampir copot melihat tingkah gadis di sampingnya.

"Makasih Bar," ucap Riri lembut mengelap sudut bibir dengan punggung tangannya. Akbar melengkungkan bibirnya keatas.

"Bagaimana sudah diisi lengkap?" tanya petugas ini membuat Akbar dengan cepat membuang gelas plastik itu kedalam tong sampah disampingnya.

"Sudah Pak!" sahut Riri.

Petugas ini langsung mencari data yang telah di tulis Riri. Matanya menyipit mencari dengan teliti tulisan demi tulisan yang ada dilayar laptopnya.

"Nama Ibu Kartika, nama ibu kandung tasripah, nama bapak kandung Bapak Daryani, alamat desa kalisapu jalan mawar gang dua , nomor rumah 31. Apakah benar?"

"Ya benar Pak," jawab Riri dengan hati gemetar. Telapak tangannya sampai berkeringat. Ia sangat takut jika salah satu kantong mayat yang ada disini adalah ibunya.

"Ini ada data korban meninggal, datanya sama dengan data yang kamu tulis."

Mendengar kalimat yang diucapkan petugas itu. Serasa tembok yang mengelilingi Riri ambruk membuat dirinya jatuh tak terlihat. Hatinya begitu sakit mendengar kenyataan yang harus dijalani. Itu tandanya ibunya telah menjadi korban meninggal. Betapa beratnya kehilangan ibu yang saat ini sangat ia sayangi.

"Lalu apa yang harus saya lakukan pak?" tanya Riri dengan nada lirih.

Akbar hanya bisa tertunduk melihat Riri yang rapuh. Ia tak bisa melakukan apapun untuk sahabatnya.

"Datanya sama persis seperti yang kamu cari, Namun pada data laptop tidak tertulis ibu dan bapak kandungnya." petugas ini menjelaskan tanpa beralih dari layar di depannya. Ia masih mengira-ngira data yang sedang dibacanya benar atau tidak.

"Alamatnya sama seperti ibuku?" tanya Riri dengan hati-hati.

"Sama." petugas ini mengangguk-angguk yakin.

Riri dan Akbar membisu dan hanya bisa terpaku. Riri pasrah dengan apa yang menimpanya.

"Kalau begitu kalian berdua ikut denganku." Petugas bertopi PMI ini berdiri diikuti Akbar dan Riri. Mereka berdua mengikuti petugas itu dari belakang. Jantung Riri berpacu cepat bersamaan dengan langkahnya yang setengah berlari.

Akbar dan Riri saling melirik seakan keduanya sama-sama mentransfer semangat lewat matanya. Semakin cepat petugas itu berjalan hingga berhenti di depan sebuah pintu. Gagang pintu dibuka oleh tangan petugas itu. Suara pintu berderit memekakan telinga dan membuat jantung Riri berdebar seperti kuda yang berlari. Wajah Riri tampak memucat.

Di ruangan kecil itu terasa pengap. Hanya ada satu jendela kecil, itupun tertutup. Hidung Akbar dan Riri mencium bau tak sedap dari tiga kantong mayat yang ada di lantai. Bau amis seperti air laut yang tercampur bangkai ikan.

"Ini adalah korban yang sama dengan data yang kamu cari," si petugas dengan santainya menunjuk kantong mayat itu yang berada tepat di depannya.

Riri hanya mengangguk sekali. Dan kali ini ia bernafas menggunakan mulutnya saja.

"Silahkan di periksa!" si petugas mempersilahkan dengan sopan. Riri mendekat ke arah kantong mayat.

"Perhatikan wajah dan bajunya," kata si petugas.

Tangan Riri bersiap untuk membuka bungkusan kuning itu. Sebelum ia melakukan tugas beratnya, sorot matanya menatap Akbar serasa meminta harap agar semua berjalan dengan baik. Akbar mengangguk pelan sambil mengedipkan matanya dengan yakin.

"Bismillahirrohmanirrohim," Riri memantapkan hatinya. Pelan pelan ia membuka sleretan itu, dari atas terlihat rambut yang basah dipenuhi lumpur. Ia teringat bahwa ibunya memakai jilbab saat ia berpamitan akan ke sekolah. Kembali ia menggerakkan sleretan itu. Kini wajah dari jenazah itu terlihat jelas. Ia menutup mulutnya ingin muntah. Mata dari jenazah itu sudah mirip jelly yang di potong sembarang. Wajah itu bukan wajah yang selama ini ia kenal. Ia bersyukur itu bukan ibunya. Kini iapun melihat baju yang menempel pada korban. Ia yakin itu bukan baju yang biasa ibu kenakan. Kini ia menutup pelan kantong mayatnya. Ia menggeleng pada petugas.

"Apakah kamu yakin?" tanya si petugas dengan tegas.

"Yakin Pak!"

"Ya sudah kalau begitu kita pergi dari sini."

Mereka bertiga keluar dari ruangan tersebut dan si petugas mengunci pintu dengan rapat. Riri merasa miris melihat jenazah yang ada di ruangan tersebut. Ia berharap dalam hati semoga ada keajaiban datang dan jenazah bisa cepat dikuburkan diiringi keluarga mereka masing-masing.

"Disini ada sekitar lima belas jenazah yang belum teridentifikasi. Jika kamu siap, cek saja di bagian depan." petugas ini menjelaskan kepada Riri.

"Besok aja pak. sepertinya saya masih harus menambah tenaga. Mungkin saya akan istirahat di pengungsian terlebih dulu."

"Baiklah. Besok pagi jam tujuh ya. Supaya jenazah disini setidaknya bisa cepat-cepat di kubur."

"Baik Pak. Kami permisi dulu." jawab Riri dengan lirih. Entah kenapa tubuhnya serasa lemas. Punggung yang sedari tadi tidak terasa sakit, sekarang lebamnya begitu nyeri.

"Terimakasih Pak." kata Akbar tersenyum sopan kepada petugas PMI.

Kedua sahabat ini kembali ke pengungsian. Mereka bertemu dengan Iyan yang telah mengenakan sarung dan baju koko tak lupa peci hitam tersemat di kepalanya.

Entah bagaimana mata Riri serasa sejuk melihat penampilan Iyan.

"Gimana Ri kabar ibu kamu?" tanya Iyan dengan wajah yang tampak cerah sisa air wudhu.

"Eh itu, nanti aku ke balai kota lagi besok," Riri tergagap akibat lamunan di pikirannya.

"Loh kenapa?"

"Aku masih syok. Aku baru memeriksa satu kantong jenazah."

"Oh begitu. Sabar ya Ri. Kamu pasti bisa melewati ini semua." Kata Iyan dengan mantap. Meskipun dirinya juga rapuh sebab bapaknya menjadi korban meninggal atas bencana stunami ini.

"Iya makasih, Yan."

"Kamu yang tabah juga ya yan. Jangan lupa kirim doa terus ya yan buat bapak kamu." kata Akbar mengingatkan Iyan.

"InsyaAllah Bar,"

"Oh ya aku kesana dulu ya, mau nemuin keluargaku."

"Oke Bar. Makasih banyak ya Bar."

Akbar pergi dari tempak Riri dan Iyan berpijak.

"Aku mandi dulu ya Yan."

"Ya sudah sana! pantes dari tadi bau banget." Iyan masih sempat-sempatnya meledek.

"Kurang ajar kamu Yan." Riri menarik kedua sudut bibirnya. Ia sedikit terhibur dengan lelucon Iyan.

Riri bersyukur ia bisa mandi agak lama. karena bantuan air kini cukup banyak. Ia berganti pakaian gamis dan kerudung segi empat. Ia mengenakan rukuh dan segera menunaikan kewajibannya. Sholat Ashar di tempat musolla darurat. Ya hanya ruangan lumayan luas yang di beri sekat menggunakan triplek.