Chereads / MALAIKAT HIDUPKU / Chapter 7 - 7. MEMBUKA KANTONG KANTONG MAYAT

Chapter 7 - 7. MEMBUKA KANTONG KANTONG MAYAT

"Ya terserah kamu mau lanjut kemana setelah SMA. Ibu nggak punya banyak uang nak." Kata ibu dengan nada putus asa. Matanya terlihat redup. Hatinya terasa rapuh. Hidup sebagai seorang janda membuatnya pasrah dengan keadaan. Di umurnya yang menginjak lima puluh tahun tak mungkin untuk menikah lagi.

"Ri jangan ngelamun!" Suara Akbar sedikit membentak hingga membuat Riri terpeleset dari pikirannya.

"Makan yang banyak Ri! Supaya kita punya tenaga buat menghadapi kerasnya hidup!" Suara Iyan membuat mata di sekitarnya melirik anak yang ditinggal bapaknya ini.

Riri memasang senyum pada wajahnya. Iyan mungkin sudah terbiasa menjalani rumitnya hidup. Sehinggga jiwanya seakan kebal dan mungkin ketaatannya kepada Tuhan membuatnya lebih melapangkan dada.

Mereka bertiga menikmati makanan dengan lahap. Nasi putih yang hangat dengan lauk tempe orek dan bihun yang dicampur dengan wortel membuat perut terisi. Selesai makan mereka duduk sebentar untuk melegakan perut. Mata tajam dengan alis tebal milik Riri berkeliling mencoba memperhatikan orang-orang di sekitar. Dengan wajah bermacam-macam karakter. Ada yang terlihat diam dengan tetap memasukkan makanannya kedalam mulut, seorang ibu dengan wajah berbinar menyuapi anaknya, dan kakek tua duduk sendiri berbagi makanan dengan seekor ayam. Kening Riri mengerutkan dahinya. Ia terheran melihat tali rafia yang mengikat pada kaki ayam dan terhubung dengan kaki kakek tua itu. Riri bisa merasakan ketulusan hati yang diberikan kakek tua itu kepada seekor ayam. Dengan netra kakek yang dikelilingi keriput. Sambil makan matanya mengawasi ayam tersebut, memastikan si ayam agar tetap makan. Hati Riri tersentuh melihat gambaran kesabaran yang nyata di depannya.

Tiba-tiba ayam itu bersuara nyaring. Ia berontak hingga membuat talinya terputus. Si kakek kebingungan. Ia segera berdiri dengan lambannya mencari keberadaan ayam yang kini berlari kesana kemari dan berhenti pada bungkusan yang tergletak di depan Akbar.

"Woi ayam siapa nih!" Akbar 8berdiri kelabakan. Sepertinya ia takut dengan seekor ayam. Riri tertawa melihat tingkah lucu pria tampan seperti Akbar.

"Gini aja takut Bar." Iyan dengan nada mengejek telah menangkap ayam itu dengan sekali gerakan.

Akbar mengembuskan nafas panjang dengan mengelus dada bidangnya.

"Kamu laper ya yam?" ucap Iyan dengan lembut seraya mengelus pelan si ayam.

"Itu ayam kakek Nak." Dengan mengenakan sarung yang lusuh serta kaos oblong kakek ini bersusah payah berjalan mendekati Iyan.

"Buang aja tuh ayamnya! Berisik banget kalo malem, bau kotoran juga. Buang aja Dek sana!" seorang wanita muda berwajah oriental berteriak ke arah Iyan. Wanita ini duduk di belakang Iyan dengan jarak tiga meter.

Iyan, Riri dan Akbar pun melihat wanita itu dengan memasang wajah terheran. Kenapa dengan wanita itu?

"Jangan Nak, tolong jangan di buang." Cegah Kakek ini dengan suara terdengar merintih.

"Ini kek ayamnya." Iyan menyerahkan ayam itu dengan hati-hati. Melihat tindakan Iyan. Wanita itu memasang wajah kesal.

"Makasih ya Nak." ucap kakek itu dengan sungguh-sungguh. Iapun pergi dengan mata bercahaya tanda kegembiraan.

"Ayam itu suka buang kotoran sembarangan Dek, dan si kakek nggak mau bersihin." Jelas wanita tadi dengan nada mengomel. Ia tiba-tiba sudah ada di dekat Iyan.

Riri,Akbar dan Iyan saling melirik. Mereka bergumam dalam hati.

"Rempong banget sih ibu satu ini."

"Padahal udah di bujug sama petugas, supaya ayamnya di masukan ke kandang aja. Eh kakek malah nggak mau. Ia tetap memegang tali rafia yang terpasang bersama ayam. Di pegangin terus. Takut banget kalau-kalau petugasnya menggunting talinya." wanita itu terus berbicara seperti ibu-ibu rumpi.

"Yasudah lah bu biarin aja." Akbar menjawab tanpa berfikir panjang.

"Aduh pusing yah Dek kalau ngurusin orang tua yang udah sepuh kaya gitu."

"Astaghfirullah bisa-bisanya si ibu ngomong kaya gitu." kata Riri dalam hati

"Jangan bilang gitu bu." Iyan berucap membuat bibir si wajah oriental itu menjorok ke depan. Hingga akhirnya wanita itu pergi dengan sendirinya.

Mereka bertiga duduk dan menghabiskan air mineral.

"Kita kan nggak pernah tau bagaimana kisah kakek itu dengan ayamnya." ucap Riri seraya melihat ke arah kakek yang telah duduk tenang bersama ayamnya.

"Bener tuh Ri. Apalagi di situasi seperti ini mungkin ia kehilangan semua keluarganya dan hanya ayam itu teman satu satunya." Akbar menanggapi Riri.

"Beruntung sekali ya kakek itu. Ia bisa bersedekah dengan ayam. MasyaaAllah pahalanya besar banget tuh memberi makan hewan yang lagi kelaparan." Jelas Iyan dengan mata berkaca-kaca. Ia tersentuh dengan tindakan kakek.

"Semoga aku bisa memiliki hati yang tulus ikhlas mencintai sesama makhluk ciptaanNYA." Iyan memanjatkan harapan dengan memegang dadanya.

"Amin." kedua sahabatnya tersenyum sambil berucap secara bersamaan.

***

Setelah Beberapa saat mereka melakukan perjalanan menuju balai kota. Tak sampai satu jam mereka sampai. Riri melihat kantong-kantong mayat itu berjejer dengan rapi. Bau yang muncul dan banyaknya orang berkumpul hingga suara tangisan menjerit membuat perutnya ingin memuntahkan isi perut. Kepala pun terasa pening.

"Gimana Ri kamu kuat kan?" Tanya Akbar dengan raut gelisah melihat tangan Riri memegang perutnya sementara tangan lainnya menutup mulut.

"Masuk aja kebagian informasi. Kamu liat dulu aja data korban yang tertulis disana." Kata Iyan menjelaskan dengan sopan.

Akbar menuntun Riri atas kemauan Riri. Karena Ia merasa tubuhnya sangat lemas dan hampir pingsan.

"Kalo gitu aku ke lapangan dulu ya. Aku akan menyaksikan penguburan masal Bapakku." Iyan buru buru meninggalkan Akbar dan Riri.

"Kita berdua kirim doa ke Bapak kamu yan!" Teriak Akbar yang telah melihat punggung Iyan menjauh.

"yuk! pelan-pelan." Akbar dengan sigap memapah lengan kecil milik Riri.

"Kenapa Dek ini temannya?" Tanya seorang laki-laki dengan seragam PMI.

"Temen saya mencari korban hilang pak, ibunya Pak." Jawab Akbar mewakili Riri.

"Oh silahkan kemari Dek!" laki-laki berbadan gempal ini menuntun mereka berdua ke bagian meja berisi kertas-kertas."

"Temen kamu namanya siapa?"

"Riri Kartika Ningrum." Jawab Akbar seraya melihat kondisi gadis disampingnya yang kini terlihat pucat.

Petugas itu mencatat nama Riri pada daftar nama-nama yang mencari korban hilang.

"Kalo nama korban hilang siapa?"

Riri menangis sesegukan mendengar pertanyaan petugas PMI itu. Hatinya serasa di cabik-cabik. Seperti di kagetkan bahwa ibunya benar-benar telah hilang. Dan Ia harus mengisi data tersebut. Kenyataan pahit diterimanya mentah-mentah.

"Nama ibu saya Kartika Pak." Riri menjawab dengan terisak.

"Sabar ya Dek, kita semua para petugas berusaha semaksimmal mungkin." Laki-laki ini berbicara dengan simpati. Ia mengambil kertas lain dan memberikannya kepada Riri.

"Silahkan isi formulir ini atas nama korban hilang dan dibawah ini tanda tangan kamu ya."

"Baik Pak!" jawab Riri dengan suara lirih.

"Tulis data korban dengan lengkap ya!" pinta petugas ini lalu berbalik mengotak atik laptop yang sebelumnya berada di belakangnya.