Chereads / Gasiang Tangkurak / Chapter 5 - Bertemu Radit

Chapter 5 - Bertemu Radit

Yudi tidak fokus memanen cengkeh sejak pagi, karena ia tiba-tiba teringat sesuatu. Malam itu ia ingat dengan jelas bahwa Mak Udin mengatakan, akan datang seseorang ke kampung mereka dan membuat Puti jatuh hati.

Kembali ia teringat pada pertemuannya dengan Radit pagi tadi. Dan mencoba menerka-nerka, apakah mungkin Radit lah orang yang di maksud oleh Mak Udin.

"Apa mungkin pria itu adalah Radit? Jika benar, aku harus mulai mendekati Radit. Aku tidak bisa ketinggalan sedikit pun informasi mengenai hal itu nantinya," ucap Yudi bermonolog.

Kemudian, Yudi berjalan meninggalkan ladang cengkeh itu dengan satu karung penuh yang sudah dipikulnya. Yudi mengantarkan cengkeh itu ke gudang pemilik ladang, setelah menimbang dan mendapat upah, Yudi meninggalkan tempat itu.

Karena hari sudah siang, perut tentu sudah mulai lapar. Ia berjalan pulang ke rumahnya. Di tengah jalan, lagi-lagi ia bertemu dengan Puti. Gadis cantik sang kembang desa itu sangat anggun dengan gamis biru langit dan jilbab warna senada.

"Put, mau kemana?" tanya Yudi menyapa pujaan hati yang telah menolaknya itu.

"Aku mau ke rumah Andung Jubaidah. Yud, kamu temani aku, ya. Aku malas sendirian," jawab Puti sopan dan ramah. Ini lah Puti yang Yudi kenal dulu, sebelum pangkat dan jabatan orang tuanya membuat dia ikut terlena.

"Hem, baik. Ayo jalan," ajak Yudi dan diiringi dengan langkah kaki serempak oleh keduanya.

"Yud, maaf ya kemarin-kemarin aku kasar sama kamu," ujar Puti sungguh-sungguh.

"Iya. Tidak masalah, Put. Lupakan saja, aku tidak menyimpannya dalam hati. Aku bisa paham dan mengerti kok,"

"Iya, Yud. Aku capek, terus-terusan di datangi para pelamar. Kamu juga, ikut-ikutan datang melamar. Aku tu belum mau nikah, Yud. Kita kan masih muda."

"Hehe.. aku hanya mencoba keberuntunganku. Siapa tau, kamu memiliki perasaan yang sama padaku,"

"Tidak mungkin lah, Yud. Kamu bukan tipeku. Dan lagi pula, kita ini sudah berteman sejak kecil. Mana mungkin bisa tumbuh perasaan cinta-cinta begitu. Jangan ngelucu lah, Yud." Puti berkata tanpa memikirkan perasaan Yudi yang mendengarnya dengan hati meringis.

"Tapi, untuk ukuran anak kampung seperti kita, umur kamu itu memang sudah sepantasnya menikah, Put." Yudi mencoba untuk membesarkan hatinya.

"Udah lah, Yud. Jangan bahas masalah nikah lagi. Aku tak suka membahas pernikahan. Membosankan!" gerutu Puti sambil terus melangkah bersama Yudi.

Yudi hanya diam. Tak lagi menjawab atau mendebat perkataan Puti. Kini ia tahu, bahwa memang tak pernah ada perasaan khusus di hati Puti untuknya meski mereka telah saling mengenal sejak kecil.

Bahkan, dengan jelas Puti mengatakan bahwa Yudi bukan lah tipe pria idamannya. Itu semakin membuat amarah di dada Yudi bergemuruh. Tapi masih coba ia tahan. Demi menutupi kejahatannya, ia harus tetap bersikap baik dan biasa-biasa saja pada Puti.

Karena, jika suatu saat ilmu santet itu bekerja, tidak akan ada satu orang pun yang curiga padanya. Itu lah tujuan utama Yudi tetap bersikap sewajarnya pada Puti hingga saat ini.

"Eh, Yud. Siapa pemuda yang itu?" tanya Puti sambil menunjuk ke arah pemuda yang sedang berdiri di bawah pohon sao di samping rumah Andung Romsah.

Yudi memutar bola matanya untuk melihat ke arah yang ditunjuk Puti. Tampak lah Radit yang sudah bersih dan rapi di sana. Berbeda dengan saat Yudi bertemu dengannya tadi.

"Oh, itu. Dia itu cucu Andung Jubaidah yang baru datang dari Kota. Mereka datang sekeluarga. Mau tau namanya juga?" Yudi melihat gerak gerik ketertarikan dari mata dan perubahan sikap Puti.

"Kau kenal, Yud? Siapa namanya?" tanya Puti sangat antusias.

"Baru kenal juga sih. Namanya Radit. Lumayan baik dan ramah lah orangnya," jawab Yudi apa adanya.

"Yud, kau tau tidak? Pemuda seperti dia itu yang aku suka!"

"Bagaimana kau bisa tau, bahwa kau suka? Kau saja baru beberapa detik lalu melihatnya, bertegur sapa pun belum." Tampak raut tidak suka di wajah Yudi saat mendengar Puti mengatakan hal itu.

"Yudi ... kau tau tidak istilah suka pada pandangan pertama? Itu yang aku rasakan. Pemuda tampan, dengan kulit putih, tubuh tinggi berisi, dan gaya yang modern dan modis. Pokoknya aura-aura anak kotanya jelas terlihat, Yud," tutur Puti dengan pandangan tak lepas dari sosok Radit.

Mendengar ucapan Puti itu, relung hati terdalam Yudi kembali tergores. Ada sakit yang tak berdarah. Tapi, Yudi coba untuk tetap bersikap tenang dan biasa saja.

"Ya sudah, ayo kita kesana. Aku kenalkan kau padanya," ajak Yudi dengan menarik lengan Puti menuju ke tempat Radit berdiri.

Puti mengikuti Yudi dari belakang dengan hati berdebar dan tingkah yang jelas terlihat malu-malu. Yudi mencoba menahan rasa kecewanya atas sikap Puti ini. Dan dia, tidak bisa pula menyalahkan Radit atas semua ini.

"Hai, Dit. Sedang apa kau berdiri di bawah pohon sao ini?" tegur Yudi saat sudah berada tepat di belakang Radit.

Radit menoleh ke belakang dan melihat Yudi bersama dengan Puti. "Eh, Yudi. Ini, aku sedang memikirkan bagaimana caranya mengambil sao-sao ini dan membedakan mana yang sudah tua siap untuk dipanen," jawab Radit dengan sebenarnya.

"Anak kota tak akan paham caranya. Upahkan saja padaku. Aku ahli dalam hal itu." sahut Yudi dengan sedikit menepuk dadanya bangga.

"Haha.. benar juga. Pekerjaan ini hanya orang kampung saja yang ahli. Aku hanya penasaran saja, karena Andung menyuruhku melihat-lihat dan memetik buah yang sudah tua. Sementara, buahnya tinggi-tinggi sekali."

"Maka dari itu, serahkan saja padaku!" tegas Yudi dengan hati tersinggung karena ucapan Radit di awal.

Puti yang sejak tadi hanya diam di belakang Yudi, mulai menegakkan kepalanya sedikit-sedikit untuk melihat wajah tampan Radit yang kini sudah ada tepat di depannya.

"Yud, siapa ini? Pacarmu?" tanya Radit saat melihat Yudi masih memegang pergelangan tangan Puti.

Puti yang tiba-tiba menyadari hal itu, lalu menarik tangannya dengan kasar dan menepis tangan Yudi.

Kembali, hati Yudi terluka oleh perlakuan Puti ini. Apa boleh buat, dia harus tetap berpura-pura baik dan tidak merasakan apa-apa di depan Puti.

Dengan sedikit menggeser tubuh Puti ke depan, Yudi memperkenalkannya pada Radit. "Bukan. Ini sahabatku sejak kecil. Perkenalkan Dit, ini Puti. Anak Wali Nagari di kampung kita ini." terang Yudi.

"Radit."

"Puti."

Keduanya saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing.

"Kalian mau kemana?" pertanyaan Radit lantas mengingatkan tujuan awal Puti datang ke rumah ini.

"Aku hanya menemani Puti. Dia memang mau ke sini ketika kami bertemu tadi," jawab Yudi.

"Ooo.. begitu. Ada apa, Put?" tanya Radit setelah mengalihkan pandangannya pada Puti.

"Eh, em ... itu ..Ayahku ingin meminta Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk milik Andung Jubaidah. Su-supaya bisa segera diuruskan kartu yang dari Pemerintah itu. Jadi nanti Andung Rosmah bisa berobat gratis. Semacam itu lah, aku juga tidak terlalu mengerti sebenarnya," jawab Puti dengan sedikit grogi.

"Oo begitu. Tapi sepertinya Papiku tidak akan membiarkan Andung berobat dengan kartu itu."

"Kenapa?"

"Karena, banyak sekali perbedaan antara pelayanan yang dibiayai pemerintah dengan umum. Misalnya dari segi keramahan para tenaga medisnya, jenis obat-obatannya dan belum lagi hal lainnya."

"Tidak mungkin lah, semuanya pasti sama. Kartu itu hanya meringankan masyarakat kurang mampu. Tapi aku yakin, masalah pelayanan dan obat akan tetap sama!"

"Kau tidak tau apa-apa, Put. Aku ini kuliah Kedokteran. Aku tau semuanya. BPJS saja, beda kelasnya, beda pula obatnya. Semakin tinggi kelasnya, semakin bagus obat yang diberik" tukas Radit sedikit kesal.

"Sudah ... sudah ... kenapa kalian malah jadi berdebat?" tanya Yudi yang sedari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan sepasang manusia di depannya.

"Begini saja Put, bilang pada ayahmu kalau Andung Jubaidah tidak akan mengurus pengobatan gratis itu. Karena anaknya yang dari Kota ini akan membiayai semua pengobatan Andung Jubaidah," lanjut Yudi pada Puti.

Puti mengangguk meski terlihat sedikit kecewa. Tak ia sangka pemuda yang baru saja dia taksir bisa berkata dengan begitu sombongnya, mentang-mentang dia anak Kota.

"Ya sudah, kalau begitu kami pamit pulang dulu, ya!" ucap Yudi sambil kembali menarik lengan Puti hendak pergi dari sana.

"Hati-hati, ya. Oh ya, Yud, apa kau besok ada waktu luang?" tanya Radit sedikit ragu.

"Hmm...sepertinya tidak ada. Besok pagi aku akan pergi dengan sahabatku ke Puncak Gogo," jawab Yudi jujur.

"Dengan Puti?" tanya Radit dengan menunjuk ke arah Puti.

"Bukan-bukan ... dengan sahabat pria, namanya Feri. Dia ingin membawa istrinya berjalan-jalan. Kebetulan, dia dapat istri orang kota."

"Kau ingin ke puncak Gogo dengan Feri dan Ratih? Kenapa kau tidak mengajakku?" tanya Puti yang terkejut dan kesal bersamaan.

"Aku pikir kau sibuk dan tidak akan mau ikut bersama kami," jawab Yudi jujur.

"Aku mau ... besok pokoknya aku ikut. Jemput aku, oke?"

"Baik lah, aku akan menjemputmu sebelum ke rumah Feri."

"Apa boleh aku ikut dengan kalian?" tanya Radit menyela pembicaraan Yudi dan Puti.

Puti memandang Yudi dengan wajah memelas seakan memohon agar Yudi mengatakan boleh. Sepertinya, Puti sangat ingin jika Radit bisa ikut bergabung bersama kami esok hari.

"Boleh. Tentu saja boleh. Kita akan pergi bersama-sama besok pagi." Akhirnya Yudi mengizinkan Radit ikut bergabung.

Wajah Puti terlihat cerah dan bahagia saat Yudi selesai mengeluarkan jawabannya.

Setelah mengatur jadwal berangkat, Puti dan Yudi kembali meninggalkan pekarangan rumah Andung Jubaidah. Yudi dan Puti berpisah di simpang tiga dan kembali ke rumah masinh-masinh.

"Aku harus membuat Radit menyukaiku!" batin Puti setelah sampai di rumahnya.