Setelah makan malam yang penuh dengan senda gurau dan tawa bahagia itu, masing-masing masuk ke dalam kamarnya untuk berisitirahat. Memang seperti itu lah kebiasaan masyarakat di kampung pada umumnya. Mereka akan segera tidur tak lama setelah makan malam selesai. Di kampung tidak akan ada lagi kegiatan saat selepas jam delapan malam. Semua orang jarang sekali yang akan keluar rumah saat malam hari. Kecuali para lelaki yang memang sangat hobby duduk di lapau atau warung.
Baik itu untuk sekedar minum kopi, bermain kartu, atau hanya jadi penonton saja. Biasanya Yudi tidak pernah absen duduk di lapau Tek Ros. Namun, belakangan ini dia sudah jarang hadir karena minatnya untuk berjudi juga sudah berkurang semenjak ia sibuk dengan rencananya membalaskan dendam pada Puti. Seperti halnya malam ini, Yudi sudah berniat akan datang menemui Mak Udin lagi ke dalam hutan larangan itu.
Akan tetapi, ia masih ragu untuk keluar rumah karena takut ditanya oleh amak dan ayahnya. Meski mereka berdua tidak akan terlalu bertanya terlalu detail padanya, tetap saja hati Yudi akan sedikit sedih dan takut orang tuanya terluka andai tahu bahwa ia sudah berbohong padanya. Biasanya, Mila lah yang terlalu banyak bertanya pada Yudi saat ia keluar rumah. Namun, Yudi bisa memastikan bahwa Mila sudah aman di dalam kamarnya dan tidak akan keluar lagi. Jadi, tidak mungkin adiknya itu akan tahu bahwa ia pergi keluar rumah malam begini.
"Mak, aku mau keluar dulu. Mungkin pulangnya agak tengah malam, ya." Yudi berpamitan pada Romlah yang ternyata masih sibuk di dapur mengatur kayu di tungku yang sedang merebus air minum
"Mau ke mana lagi kau malam-malam begini, Yud?" tanya Romlah yang menatap Yudi dengan heran.
"Mau duduk di kedai Tek Ros aja, Mak. Biasa lah," jawab Yudi tanpa berani memandang wajah emaknya itu.
"Jangan terlalu lama di lapau itu. Tak baik untuk kesehatanmu jika kau sering bergadang dan kena angin malam. Bukannya besok pagi kau harus menolong ayah panen di ladang cengkeh Wan Ali?" tanya Romlah setelah memberikan peringatan pada Yudi untuk menjaga kesehatannya.
"Iya, Mak. Sekarang kan aku sudah jarang pula main di lapau. Sesekali saja untuk menghilangkan suntuk."
"Makanya, cepat lah kau cari calon istri dan menikah. Liat lah kawanmu si Feri itu, semenjak menikah mana pernah lagi dia keluyuran sepertimu."
"Mak kan tahu kalau di aitu pengantin baru. Tentu lah dia akan bekurung saja di dalam rumah, menikmati masa-masa pernikahannya yang baru seumur jagung. Nanti kalau dia sudah bosan dengan istrinya, pasti akan kembali lagi bermain denganku seperti biasa," ungkap Yudi panjang lebar pada Romlah.
Mendengar ucapan Yudi, Romlah sedikit kaget karena Yudi tidak biasanya berkata kasar seperti itu. Apalagi sampai mengatakan bahwa Feri akan bosan pada istrinya nantinya. Itu sama saja dengan kata-kata yang lumayan kasar.
"Husst … apa yang kamu bicarakan itu tidak baik, Yud!" ucap Romlah menegur anaknya itu dengan tatapan tak suka.
"Iya, Mak. Maaf, aku hanya bercanda," bantah Yudi tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Jangan sampai terlalu berlebihan saat bercanda, Yud. Tidak semua orang mengerti dan maklum dengan candaan kita." Romlah mengatakan hal itu untuk memperingati Yudi agar bisa menjaga ucapannya.
"Amak tenang saja lah, Feri itu sudah tahu bagaimana sifat aku. Dan dia tak kan lah mungkin tersinggung dengan ucapan seperti itu saja," ucap Yudi sambil mengenakan jaket tebalnya.
Melihat Yudi yang sudah bersiap untuk pergi, akhirnya Romlah kembali melanjutkan aktifitasnya tadi. Di kampung memang tidak ada yang memakai air isi ulang, karena mata air pegunungan sangat dekat dan sudah dialiri pula ke beberapa titik yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Jadi, air minum masyarakat di kampung masih air yang direbus hingga mendidih dan diminum saat panas ngilu kuku istilahnya.
"Aku pergi dulu, Mak. Kunci letakkan saja di tempat biasa, Mak. Jangan sampai pasak dipasang," ucap Yudi mengingatkan emaknya itu karena terlalu sering meninggalkan kunci, tetapi pasak kayu di belakang pintu dipasangnya. Yang mana akhirnya sama saja Yudi harus berteriak memanggil-manggil orang yang pasti sudah tertidur lelap dalam rumah itu untuk membukakannya pintu.
"Iya. Hati-hati di jalan dan jangan lupa pulang cepat!" titah Romlah sekali lagi sebelum Yudi menghilang dari pandangannya.
Yudi keluar dari rumah menggunakan sebuah jaket tebal berwarna hitam miliknya karena memang cuaca di kampung sangat lah dingin hingga mampu menusuk ke tulang rasanya. Perlahan, Yudi menyusuri jalan setapak menuju ke lapau tek Ros yang lejen itu. Di sana lah berkumpulnya para lelaki kampung baik tua mau pun muda. Yudi memang berniat untuk duduk sebentar di warung itu karena tidak ingin membuat orang-orang curiga lagi. Pasalnya, Yudi pernah beberapa kali bertemu dengan pemuda kampung dan ditanyakan ke mana saja padahal ketika ditanyakan ke Mila, Mila menjawab Yudi duduk di warung tek Ros.
Sedikit mempercepat langkahnya, Yudi melirik jam tangannya. Masih jam setengah sembilan saat ini dan Yudi berpikir masih memiliki waktu sekitar satu jam ke depan sebelum akhirnya ia harus pergi ke rumah Mak Udin. Yudi sudah mempersiapkan segalanya sejak awal dan sudah merencanakan semua dengan sangat matang. Namun, saat di tengah perjalanan ia bertemu dengan Radit yang ternyata juga sedang berjalan menuju ke warung tek Ros.
"Hai, Yud. Mau ke mana kau malam-malam seperti ini?" sapa Radit dengan ramah dan berjalan cepat mensejajarkan langkahnya dengan Yudi.
"Mau ke lapau. Kau sendiri mau ke mana? Apa kau tidak takut berkeliaran sendiri di kampung ini? kau kan masih baru di sini." Yudi bertanya pada Radit setelah menjawab pertanyaan pemuda kota yang memang diakui Yudi sangat tampan itu.
"Aku hanya ingin jalan-jalan sekalian beli rokok. Kata Andungku di sekitar sini ada warung yang selalu ramai tiap malam. Makanya aku keluar. Kalau soal takut, bodoh banget kalau kita laki-laki malah takut keluar malam gini. Di kota, aku bahkan sering keluar jam 2 malam," jawab Radit dengan penuh rasa bangga pada Yudi.
Tentu saja jawaban Radit membuat hati Yudi menjadi mangkal, pasalnya ia membandingkan kehidupan di kota dengan perkampungan seperti di tempat ia tinggal sekarang. Tentu saja itu sangat jauh berbeda dan tidak bisa disamakan sama sekali.
"Jangan menyamakan kehidupan malam di kota dengan di kampung ini, Dit. Kamu hanya tak banyak tahu tentang bagaimana keadaan dan kehidupan di kampung ini," ucap Yudi memperingati Radit yang sepertinya memang menganggap sepele hal itu.
"Maksud kau apa, Yud? Memangnya ada apa dengan kampung ini? Apa di sini banyak hantu yang bergentayangan jika malam tiba?" tanya Yudi dengan sangat serius, sampai-sampai ia menghentikan langkahnya.
Yudi yang mendengar pertanyaan Radit pun turut menghentikan langkahnya. Ia memandang pada wajah Radit dengan sangat lekat. Ia melihat Radit dengan penuh keseriusan, tetapi pada akhirnya Radit malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Yudi seperti sedang dipermainkan oleh bocah kota ini. Yudi menahan amarahnya dan berusaha untuk tidak murka saat ini pada Radit.