Yudi dan Radit sampai di depan warung Tek Ros dan di sana sudah banyak para lelaki yang duduk bermain kartu dan batu dom. Yudi yang memang tidak ada niat untuk bermain di kedai itu, merasa risih karena Radit terus mengikutinya. Padahal, Yudi sudah berencana untuk ke tempat Mak Udin malam ini. Jika Radit terus mengintil padanya seperti ini, tentu saja rencana Yudi bisa gagal total nantinya dan mungkin ini sudah terlalu lama sejak terakhir kali Yudi datang mengunjungi Mak Udin. Yudi ingin mengetahui langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh Mak Udin pada Puti.
"Yud, kau tak membeli rokok?" tanya Radit pada Yudi.
"Tidak. Kau saja sana beli dan langsung pulang. Rumahmu kan lumayan jauh dari sini, kau juga kan belum biasa di kampung ini apalagi pada malam hari," jawab Yudi seraya mengusir Radit secara halus agar ia bisa tetap pergi tanpa ada gangguan dari Radit.
"Ah, kau ini. Menakutkan aku saja dari tadi, Yud. Memangnya kenapa kalau aku belum biasa di sini? Aku kan juga ingin bergaul dengan warga kampung ini. Bagaimana pun juga, kami akan lama di sini." Radit mengungkapkan alasannya pada Yudi.
Yudi menarik napas panjang dan kemudian membuangnya kasar. Wajahnya tampak gusar dan seperti tidak suka pada jawaban yang diberikan oleh Radit padanya. Ia merasa terganggu oleh kedatangan dan keberadaan Radit saat ini. namun, Yudi tidak bisa mengusir Radit secara terang-terangan di tempat ini. Bisa-bisa pemuda itu curiga padanya. Akhirnya Yudi mengambil kursi dan duduk di kedai Tek Ros itu. tentu saja Radit mengikuti Yudi karena memang hanya baru Yudi saja lah pemuda yang ia kenal di kampung ini.
Kehadiran mereka berdua tentu saja tak luput dari pandangan para pemuda dan bapak-bapak yang sedang duduk bermain kartu. Saat pengocokan kartu baru, tentu pikiran dan pandangan mereka baru bisa agak rileks dan mereka memandang ke arah Yudi dan Radit yang memang duduk berhadapan sambil menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi hitam.
"Oi, Yud. Dari mana saja kau? Sudah lama rasanya kau tak datang dan main di sini. Apa kau ada tempat main baru?" tanya Ruslan seorang pemuda yang sebaya dengan Yudi.
"Ah, tidak. Aku hanya masih sibuk membantu mengurus sawah dan ladang yang disewa ayahku," jawab Yudi berbohong pada Ruslan.
"Wah, hebat kau sekarang, ya. Banyak uang masukmu. Bisa lah kau traktir aku minum kopi setengah," ucap Ruslan lagi yang sengaja menggoda Yudi.
"Belum terima upahnya. Nanti kalau sudah, jangankan setengah, satu teko pun aku bayarkan untuk kau. Asalkan bisa kau menghabiskannya."
"Ada-ada saja kau, Yud."
"Aku serius ini, Rus. Kau sanggup tidak menghabiskan satu teko kopi hitam Tek Ros yang memabukkan ini?" tanya Yudi yang tak mau kalah menggoda Ruslan.
"Kau pikir kopiku ini anggur merah, Yud?" tanya Tek Ros yang tiba-tiba saja datang menyela pembicaraan mereka berdua.
Yudi dan Ruslan beserta para lelaki lainnya yang ada di sana tertawa mendengar pertanyaan Tek Ros. Dan suasana yang tadinya hanya hening saja, tiba-tiba menjadi ramai dan terasa lebih hidup. Memang seperti itu jika Yudi ada di antara mereka. Yudi memang termasuk orang yang sangat humoris dan gampang sekali masuk dalam sebuah perkumpulan. Mereka tidak akan pernah merasa sepi jika Yudi ada di sana, karena aka nada saja hal konyol yang Yudi katakan untuk membuat suasana kedai itu menjadi lebih hidup dan berwarna. Tentu saja, tidak banyak lelaki yang memiliki sifat humoris seperti Yudi di kampung itu.
Sementara itu, Radit yang baru mengetahui jika ternyata Yudi adalah seorang yang humotis pun turut tertawa dan memandang mereka satu persatu. Memperhatikan wajah orang-orang itu untuk ia ingat andai nanti bertemu di jalan, maka akan gampang untuk ia sapa. Rata-rata, untuk orang yang lebih tua di kampung ini akan dipanggil dengan sebutan Mamak untuk laki-laki, dan Etek untuk perempuan. Lain lagi jika memang mereka sudah sangat tua, akan dipanggil dengan sebutan Angku untuk laki-laki dan Anduang untuk perempuan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan di nagari itu dan menjadi turun temurun hingga saat ini.
Pandangan mereka tiba-tiba saja tertuju pada Radit yang duduk di depan Yudi. Seketika itu, jiwa kepo Ruslan yang sudah terkenal di kampung ini bersifat sedikit seperti wanita meronta-ronta ingin tahu siapa lelaki tampan dan modis yang duduk di depan Yudi itu. sambil memegangi kartu, matanya melirik ke arah Radit.
"Siapa yang duduk di depan kau itu, Yud?" tanya Ruslan pada Yudi.
"Oh iya, kenalkan lah dulu. ini adalah cucu andung Jubaidah yang datang dari kota. Dia datang bersama orang tuanya dan mungkin akan lama tinggal di kampung ini," terang Yudi menjawab pertanyaan Ruslan.
"Oo … pantas saja aku sering melihat ada mobil warna hitam di halaman rumah andung Jubaidah itu. Ternyata anaknya yang tinggal di kota itu sudah pulang." Ruslan berkata dengan sedikit nada yang terkesan mengejek.
Mendengar hal itu, Radit merasa penasaran dan sambil memperkenallan diri ia bertanya pada Ruslan. "Perkenalkan, Da, nama saya Radit. Saya cucu andung Jubaidah, dan papi saya memang anak andung Jubaidah yang tinggal di kota. Apa udah kenal dengan papi saya?"
"Ciee … Papi pula panggilannya, ya." Ruslan kembali mengejek saat Radit menyebut ayahnya dengan sebutan papi.
"Memangnya ada apa, Da? Sepertinya Uda tidak menyukai papi saya. Apa mungkin ada satu kesalah pahaman antara Uda dan papi saya?" tanya Radit masih bernada sopan pada Ruslan.
Orang di kampung memang sudah tahu semuanya bagaimana dulu Anton pergi ke kota dan tidak pernah pulang selama bertahun-tahun. Setelah 22 tahun berlalu, baru ini lah rasanya ia pulang lagi ke kampung. Dan meski pun Ruslan seumuran dengan Yudi dan Radit, cerita tentang keluarga andung Jubaidah dan anak-anaknya itu sudah melekat dan tersebar sampai ke anak cucu. Di mana Anton, ayah Radit adalah seorang pemuda yang nekat menikahi anak pamannya sendiri meski mereka sudah lama tinggal di kota. Namun, karena mereka satu suku tentu saja hal itu tetap dilarang oleh adat istiadat. Hal itu pula lah yang menyebabkan Radit sama sekali tidak pernah mendatangi kampung ayahnya selama ini.
Ini lah kali pertamanya Radit mendatangi kampung ayahnya dan memang baru Radit ketahui bahwa ayahnya masih memiliki seorang ibu yang sudah terlalu tua dan sekarang sedang sakit-sakitan serta butuh perawatan ekstra. Anton sama sekali tidak pernah menceritakan apa pun pada anak-anaknya selama ini dan kini Radit seperti orang bodoh yang sedang diperolok-olok oleh Ruslan.
"Sudah enak kalian tinggal di kota, ternyata masih ada muka juga untuk pulang ke kampung ini," ucap salah seorang lelaki tua yang pandangannya tidak lepas dari kartu kuning yang dipegangnya.
"Apa maksud, Mamak?" tanya Radit tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya atas sikap dan respon orang-orang tentang kepulangan ayahnya dan tentu saja juga mereka sekeluarga umumnya, ke kampung ini. Radit yakin ada sesuatu yang tidak ia ketahui dan itu sudah menjadikan dirinya terlihat seperti seorang yang tidak punya malu dan masih bermuka tebal saat ini berhadapan dengan masyarakat di kampung ini. Sementara itu, Yudi merasa ini adalah momen yang tepat untuk ia pergi dari tempat itu karena Radit pasti akan fokus pada pertanyaan dan jawaban tentang sang ayah.