"Kenapa kau bertanya padaku, Put? Itu kan masalah perasaan kalian berdua, tentu saja aku tidak bisa memberikan jawabannya," jawab Yudi pada akhirnya.
"Ah, kau ini, Yud. Maksudku, kau kan bisa memberikan saran sebagai seorang laki-laki. Menurutmu, apa Radit itu lelaki yang baik? Kalau aku dan dia bersatu, ap aitu mungkin, Yud?" tanya Puti lagi dengan serius pada Yudi.
"Aku tidak bisa memastikan kalau soal itu Put. Semua tetap akan tergantung pada kalian berdua. Kita ini orang kampung dan Radit itu orang kota. Yang mana sediki banyaknya banyak perbedaan dari semua aspek antara dia dan dirimu."
"Maksudmu bagaimana?"
"Contohnya seperti ini saja, ya. Andai kalian mengikat satu hubungan yang serius, apakah kau bersedia mengikutinya pindah ke kota dan bergaul dengan kehidupan kota? Jauh dari orang tua dan keluargamu di sini," ungkap Yudi mengatakan beberapa kemungkinan pada wanita yang sudah menolaknya itu.
"Aku bisa memintanya saja yang pindah ke kampung ini. Ayah pasti bisa membantu Radit untuk mendapatkan pekerjaan sesuai profesinya di kampung ini," ungkap Puti dengan penuh rasa percaya diri.
"Entah lah, Put. Aku tidak yakin pria kota dan modern seperti Radit mau pindah ke kampung ini. Apalagi dia adalah seorang dokter muda. Profesi yang tidak mungkin disia-siakannya begitu saja demi tinggal di kampung kita ini."
Mendengar semua yang Yudi katakan, entah mengapa tiba-tiba Puti merasa sedih. Pasalnya saat ini ia memang sudah terlanjur jatuh hati pada pria kota itu. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin seperti itu lah tepatnya perasaan yang sekarang sedang menerpa relung hati dan pikiran Puti. Ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa akan semudah dan secepat ini bisa menyukai seseorang sampai berharap bahwa pria itu akan suka juga padanya.
Namun, tentu sangat tidak diherankan. Mengingat Puti adalah gadis yang sangat cantik dan menjadi rebutan di kampung itu, tentu saja bisa dipastikan bahwa Radit juga akan jatuh hati padanya. Masalahnya sekarang hanya lah karena Radit bukan warga asli kampung itu. Mereka berasal dari tempat yang berbeda, dan bisa dipastikan bahwa semuanya pun akan terasa berbeda. Apalagi mengenai gaya hidup, tentu saja akan menjadi perbandingan yang nyata di antara keduanya.
"Put, udah sampai depan rumah tuh. Aku lanjut jalan dulu, ya. Salam sama ayahmu," ucap Yudi membuyarkan lamunan Puti sepanjang perjalanan tadi, bahkan ia tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di depan rumahnya yang cukup besar dan mewah.
"Eh, iya. Terima kasih, Yud. Aku masuk dulu dan jangan lupa besok kau jemput lah aku. Tapi, apa tidak masalah kalau aku ikut bersama kalian? Apa Feri akan membawa serta istrinya?" tanya Puti sejenak meragu karena tentu saja akan menjadi hal yang sangat tidak layak dipandang masyarakat jika nanti ia pergi bersama dengan tiga lelaki sekaligus.
Meski pun mereka hanya mendaki pucak Gogo dan tidak mungkin rasanya akan terjadi hal-hal yang di luar batas kewajaran dan melanggar norma agama serta adat istiadat di kampung itu. Mengingat Puti juga adalah anak seorang Wali Nagari yang sangat dihormati dan dipandang sebagai orang yang sangat disegani serta dijunjung tinggi di kampung itu. Tentu saja Puti juga harus menjaga nama baik gelar sang ayah dengan sangat baik.
"Besok agar lebih pasti aku akan ke rumah Feri dulu, baru mengabarimu. Jika istrinya ikut, kau bisa ikut bergabung bersama kami. Dan siapa tahu saja adik Radit yang cantik itu juga akan ikut bersama kita." Yudi berkata dengan sebuah senyum mengambang di sudut bibirnya.
"Radit ada adik perempuan?" tanya Puti heran karena memang ia tidak mengetahui hal itu.
"Tentu saja ada. Adiknya sangat cantik, Put. Sepertinya juga sangat baik dan ramah. Meski aku belum pernah bicara langsung dengannya," ungkap Yudi sengaja mengatakan semua itu di depan Puti.
Yudi sengaja berkata seperti itu agar Puti mengira bahwa ia sudah melupakan perasaan dan kekesalannya pasca lamarannya yang ditolak oleh Puti saat itu. Yudi sungguh tidak ingi jika Puti menganggap dirinya masih terus berharap dan merasa sedih karena kejadian itu. Yudi harus membuktikan bahwa ia bisa dengan segera menganggap semua kejadian itu tidak pernah ada dan bahkan berusaha untuk terlihat seperti tidak pernah melamar Puti dan ternyata lamarannya itu justru ditolak oleh kekasih impian.
Mendengar ucapan Yudi, ada sedikit rasa yang mengganjal di dalam hati Puti. Ia tidak menyangka bahwa Yudi sendiri bisa dengan mudah melupakan fakta bahwa ia barus saja ditolak dalam hal lamaran. Bukan main-main memang, tapi itu lah kenyataannya saat ini. namun, Puti mencoba untuk bersikap wajar dan normal di depan Yudi.
"Ya sudah kalau begitu. Sampai berjumpa besok, ya. Aku akan menunggu kabar dari kalian. Jika hanya aku saja wanita yang akan pergi, maka sebaiknya tidak usah menjemputku, Yud." Puti berkata seraya melambaikan tangan dan tersenyum pada Yudi, lalu memasuki rumahnya.
Yudi yang memang sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti itu dari Puti, hanya tersenyum kecut dan melanjutkan langkahnya menuju ke rumah kayu yang ia tempati bersama keluarganya selama puluhan tahun ini.
Ia sadar bahwa memang dari segi kehidupan sosial saja, ia dan Puti sangat jauh berbeda. Andai saja ayah Puti bukan seorang Wali Nagari, Yudi sendiri masih tidak yakin bisa dan pantas bersanding dengan gadis itu. dengan menendang apa saja yang ada di depannya, Yudi berjalan menuju gubuk yang ia sebut dengan rumahnya itu. di sana tentu saja sudah menunggu amaknya yang memang lebih sering berada di rumah.
"Dari mana saja kamu, Yud? Jam segini baru pulang ke rumah," tanya Rosmah saat melihat Yudi berada di dapur dan mengambil segelas air putih dari dandang.
Memang, untuk masyarakat di kampung air minum masih harus direbus. Namun, air yang digunakan tentu adalah air dari sumber mata air pegunungan pula. Bukan air sembarangan, dan itu semua memang karena di kampung belum ada beredar air gallon yang seperti dijual dan digunakan oleh masyarakat kota pada umumnya.
"Aku banyak melakukan kunjungan tadi, Mak. Ke rumah Feri, Andung Jubaidah, dan terakhir mengantar Puti pulang ke rumahnya," jawab Yudi setelah menenggak abis air minumnya hingga tandas.
"Mau apa kau ke tempat Andung Jubaidah, Yud? Amak dengar anaknya yang si Ruslan itu datang dari kota bersama anak dan istrinya. Apa benar?' tanya Romlah pada anaknya itu lagi dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Benar, Mak. Sudah berapa hari ini mereka di sini. Dan cucu andung itu sudah menjadi temanku dan Puti pula. Dia pemuda kota yang sangat baik dan ramah." Yudi memberikan sedikit penjelasan baik tentang keakraban mereka saat ini.
"Syukur lah kalau begitu. Memang sudah seharusnya kita sangat ramah dan menjalin persahabatan dengan tamu yang datang dari rantau. Itu adalah ciri khas masyarakat kita yang sangat ramah dan sopan santun pada para pendatang," ucap Romlah membenarkan.
"Amak benar. Namun, aku tetap akan melihat sejauh mana permainan ini akan terus berlanjut," gumam Yudi saat Romlah sudah lanjut memasak nasi di atas tungku kayu dapur mereka.