Chereads / Gasiang Tangkurak / Chapter 4 - Semua Karna Jabatan

Chapter 4 - Semua Karna Jabatan

Tiga hari berlalu, Yudi masih mencoba bersikap seperti biasanya pada Puti. Sebenarnya, Puti dan Yudi sudah berteman sejak kecil. Tinggal di lingkungan yang sama membuat mereka tumbuh dan besar bersama.

Pada dasarnya, Puti adalah seorang anak perempuan yang baik dan sopan. Selama ini ia tak pernah berkata kasar pada siapa pun. Apalagi kepada sahabatnya, Yudi.

Meski ayahnya, Sutan Nan Kayo adalah orang terpandang dan kaya di kampung itu, Puti tidak pernah sombong. Tapi semua itu berubah sejak satu tahun yang lalu. Puti menjadi gadis yang angkuh, sombong dan kasar. Apalagi jika bicara pada seorang pria yang berasal dari kalangan biasa saja.

Sejak ayahnya diangkat menjadi Wali Nagari, perubahan sikap Puti itu terlihat. Padahal, itu bukanlah jabatan yang terlalu tinggi. Entah mengapa, satu keluarga itu menjadi tambah angkuh dan semena-mena kepada orang lain.

"Puti, mau kemana?" tanya Yudi pada Puti yang tampak jalan bergegas keluar dari pekarangan rumahnya.

"Kenapa kau bertanya? Apa kau mau mengantarku?" balas Puti dengan ketus, sesaat setelah menghentikan langkahnya di depan Yudi.

"Ayo, aku temani." Yudi menawarkan seperti biasa.

"Pakai apa? Jalan kaki? Sama saja dengan tidak! Lebih baik aku jalan sendiri."

Puti kembali berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Yudi yang merasa telah kembali diremehkan oleh ucapan Puti.

"Puti..kau akan menanggung semuanya cepat atau lambat." Yudi bermonolog dengan senyum sinis tersungging dari sudut bibirnya yang hitam.

Yudi kembali melanjutkan perjalanannya menuju ladang limau milik ayahnya. Di sana sudah ada ayah dan amaknya yang menunggu. Yudi memang sering membantu ayahnya berladang. Sesekali ia juga bekerja pada orang lain demi mendapatkan uang pembeli rokoknya.

Sesampai di ladang limau milik ayahnya, Yudi bekerja dengan giat. Meski suka bertaruh uang saat main di kedai, tapi Yudi sejatinya adalah seorang pemuda yang rajin pula.

Setelah selesai membersihkan ladang limau itu, mereka beristirahat di pondok kecil terbuat dari pelepah kelapa. Sambil menunggu Maya datang membawakan makan siang. Karena berhubung ini adalah hari sabtu, Maya pulang jam 11 siang. Lalu biasanya dia akan langsung memasak dan mengantarkannya ke ladang untuk makan bersama dengan Ayah, Amak dan Udanya.

"Yud, apa kau masih sakit hati dengan yang dikatakan oleh Puti tempo hari?" tanya Mali, ayah Yudi sambil mengipas-ngipas badannya dengan topi bundar miliknya.

"Tidak. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, Yah. Masih banyak wanita lain di kampung kita ini." jawab Yudi santai, lalu menenggak air putih dalam botol plastik.

"Syukur lah, Nak. Biar saja dia mengatakan hal itu. Ayah tidak masalah, karena memang yang Puti katakan adalah suatu kebenaran. Ayah hanya seorang petani limau," lirih Mali dengan suara yang iba.

"Biar Allah saja yang membalas perbuatannya itu, Nak. Karena telah mendzalimi kita. Kita cukup diam dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa!" timpal Rosmah, amak Yudi yang sedang duduk berselonjor sambil memijit-mijit betisnya sendiri.

"Iya, Mak. Amak tenang saja. Yudi tidak akan masukkan ke hati ucapan Puti. Yudi tau, Puti adalah gadis yang baik. Yudi sudah mengenalnya sejak lama. Mungkin kemarin itu dia hanya sedang emosi saja, Mak."

"Benar. Banyak hal yang harus dia lalui sejak ayahnya menjadi Wali Nagari. Lamaran datang silih berganti kepadanya. Sementara, usianya baru 20 tahun. Masih terlalu muda untuk usia anak di era modern seperti saat ini untuk menikah."

"Itu dia, Mak. Mungkin Puti berusaha membuat orang benci padanya dengan berubah menjadi gadis yang kasar. Jadi orang-orang itu akan mempertimbangkan niat mereka untuk melamarnya."

"Bisa jadi juga seperti itu. Kita tidak pernah tau apa yang keluarga lain sedang hadapi dalam hidupnya. Meski di luar terlihat senang dan baik-baik saja, tidak sedikit yang sebenarnya sedang menahan sakit dan derita."

"Amak benar. Banyak orang kaya yang terlihat bahagia dan menunjukkan kebahagiaannya ke sana kemari. Tapi siapa sangka, 8 dari 10 orang yang menjalani hidup seperti itu sebenarnya hanya berpura-pura terlihat kuat dan tegar. Berpura-pura menjadi keluarga yang bahagia dan harmonis." Mali kembali menimpali.

Perbincangan orang tua dan anak itu terhenti sejenak saat melihat Mila sudah berjalan sangat dekat ke arah mereka.

"Maaf, ya, Mila lama. Karena tadi ada tamu datang ke rumah." seru Mila saat sudah berhasil menaiki tangga dan duduk di atas lesehan pondok kayu buatan Mali dan Yudi itu.

"Tamu? Siapa? Laki-laki atau perempuan?" tanya Malih penasaran.

"Laki-laki, Yah. Sudah tua, sepangkat Ayah lah kira-kira. Dia nyari Uda Yudi,"

"Nyari Uda? Apa katanya?" tanya Yudi tak kalah penasaran. Karena menurutnya, dia tidak punya janji temu dengan siapa pun. Apalagi dengan pria tua sepantaran usia ayahnya.

"Tidak ada, Da. Beliau cuma bilang, beberapa waktu lalu bertemu dengan Uda. Dia hanya ingin mengembalikan kain sarung yang Uda pinjamkan malam itu." jawab Mila dengan polosnya.

"Kain sarung? Kapan aku meminjamkan kain sarung pada orang lain?"

"Coba lah kamu ingat-ingat lagi, Yud." sela Rosmah sambil membuka semua rantang yang dibawa Mila.

Yudi tampak berpikir keras. Mengingat kembali kapan dan pada siapa dia meminjamkan kain sarungnya. Tiba-tiba, Yudi teringat pada emas yang ia gulungkan dalam ujung kain sarungnya dan ia tinggal di rumah Mak Udin.

'Apa mungkin Mak Udin datang mencariku? Untuk apa?' tanya Yudi dalam hatinya.

"Yud, ayo makan. Kenapa kau malah melamun? Nanti saja pikirkan itu. Isi dulu perutmu itu, pasti nanti kau bisa mengingatnya." tegur sang ayah.

"I-iya, Yah. Ayo, makan saja."

Yudi dan keluarganya makan siang dengan lahap dan penuh nikmat rasa syukur. Begitu lah kehidupan keluarga Yudi. Meski hidup di keluarga sederhana, mereka saling melengkapi dan menyayangi. Yudi dan Mila sangat akur dan tak pernah mengeluhkan kehidupan mereka.

Usai makan siang, Malih, Rosmah, Yudi dan Mila berjalan dengan santai dan saling bercanda ria menuju rumah. Mereka harus segera membersihkan diri dan melaksanakan Shalat Zhuhur.

Yudi memang bisa dikatakan malas dalam beribadah. Padahal orang tuanya dikenal rajin ibadah dan disegani masyarakat kampung.

Saat semuanya tengah melaksanakan Shalat, Yudi malah duduk di 'beranda' (ruang tempat berkumpul keluarga atau tamu, yang biasanya terletak di rumah bagian atas dan paling depan) sambil menghisap sebatang rokok.

'Sepertinya, ada yang penting yang ingin dikatakan oleh Mak Udin. Nanti malam, aku harus kembali ke rumahnya. Karena Mak Udin sudah sampai mencariku ke rumah, tidak mungkin jika itu adalah hal yang sepele!' batin Yudi sambil menghembuskan asap rokoknya dengan napas panjang ke udara.

"Apa Uda sudah mengingat siapa orang itu?" suara Mila mengejutkan Yudi yang tengah melamun.

"Su-sudah. Nanti malam Uda akan menemuinya. Memang Uda meminjamkannya kain sarung tempo hari lalu. Karena kasian dia berjalan malam hari tanpa kain sarung dan terlihat kedinginan" jawab Yudi dengan berbohong.

"Oh, begitu. Iya, sepertinya dia terlihat bingung."

"Ya sudah, tak perlu dibahas lagi. Nanti malam Uda ke rumahnya. Sudah sana, bantu Amak di bawah!"

"Baik, Da." jawab Mila dan segera beranjak dari beranda. Meninggalkan Yudi sendiri kembali merenungi diri.

Di satu sisi, Yudi merasa bersalah pada kedua orang tuanya. Mengingat bagaimana orang tuanya telah dengan lapang dada dan berbesar hati menerima hinaan Puti. Dan juga, mereka sama sekali tidak menaruh dendam pada keluarga Sutan Nan Kayo. Menyerahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa, biar Allah membalas semua perbuatan dzalim mereka.

Di sisi lain, Yudi sudah terlanjur dendam dan sakit hati atas penghinaan itu. Dan dengan hati yang sakit itu dia telah berhasil menemui Mak Udin. Mak Udin sendiri adalah seseorang yang keberdaaannya antara ada dan tiada bagi masyarakat setempat. Karena, dia tak pernah bisa ditemui jika hanya sekedar ingin melihat bagaimana rupanya saja.

Ia hanya akan bisa ditemui dan menunjukkan keberadaannya pada saat tertentu dan pada orang-orang tertentu pula. Tapi, semua masyarakat meyakini bahwa dia memang ada dan tercatat sebagai warga di kampung itu sejak 50 tahun yang lalu.

Orang-orang tua di kampung itu mengatakan, Mak Udin pertama kali datang ke kampung mereka saat usia sekitar 15 tahun. Anak remaja yang kehilangan arah karena sudah menjadi yatim piatu. Orang tuanya meninggal setelah diikat dan dibakar warga kampung seberang, karena dituduh sebagai dukun yang telah banyak mengakibatkan anak kecil dan bayi di kampung itu meninggal mendadak.

Dan saat ini, bagi Yudi sudah tidak ada lagi jalan untuk mundur. Ia sudah menentukan langkahnya sendiri. Dan semua emas yang dia berikan adalah emas yang selama ini dia beli untuk menabung demi membiayai pernikahan dirinya dan adiknya kelak. Yudi seorang abang yang masih tetap memikirkan masa depan adiknya. Tidak mau terlalu memberatkan semua masalah keuangan pada orang tua.

"Puti...sebenarnya, pria seperti apa yang kau cari? Tidak kah persahabatan kita selama ini mampu menghadirkan rasa yang istimewa di hatimu untukku?" lirih Yudi dengan hati getir menahan luka.

Sungguh tak pernah ia bayangkan, bahwa Puti akan menolaknya dengan penghinaan itu.

"Karena kau yang telah memulai semuanya, maka kau juga yang akan mengakhirinya. Maafkan aku, Puti. Tapi, sakit hati ini tak bisa ku toleransi lagi meski aku mencintaimu," bisik Yudi pada angin yang lewat menghembus kesendiriannya di kursi kayu tua itu.