Busnya segera berhenti tepat di depan halte kampus. Agatha bergegas turun, dan bus pun kembali melaju pergi. Dia melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan lima menit lagi kelas dimulai. Agatha langsung panik.
Ruang kelasnya berada jauh dari gerbang utama. Dia lantas melangkah tergesa-gesa menuju gedung kampus. Halamannya yang sangat luas membuat dia seakan berlari di tengah lapangan bola. Ugh, ini menyebalkan!
Tiba-tiba sebuah mobil hampir menabraknya, dan Agatha langsung berhenti seketika. Dia menoleh ke arah mobil sedan hitam itu lalu buru-buru menunduk sebagai isyarat permintaan maaf. Kemudian tanpa memedulikan reaksi sopirnya, Agatha berlari ke dalam gedung.
Sedangkan keadaan di dalam mobil, sang sopir tampak terkejut saat beberapa meter lagi akan menghantam seseorang. Alhasil dengan reflek bagus membuatnya menekan pedal rem mendadak. Sampai penumpang di belakangnya nyaris tertarik ke depan.
"Apa anda baik-baik saja, tuan?" tanya sopir. Matanya melirik dengan takut-takut ke kaca spion tengah. Seketika peluhnya meluncur dari dahi.
Ekspresi muram tampak di wajah tampan seorang pria di belakangnya. Tatapan matanya mengerling ke depan dan mendapati seorang gadis yang membungkuk panik, sebelum berlari masuk ke gedung. Pria itu menghela napas berat. Dia terlihat tidak suka atas kejadian barusan yang membuat jantungnya nyaris copot.
"Aku akan turun di sini," ujar pria itu dingin.
Sang sopir menepikan mobilnya sejenak. Kemudian dia melangkah keluar dan membukakan pintu belakang mobil audi tersebut. Begitu sepasang sepatu menginjak tanah, dan perawakan yang tegap menyelinap keluar, langsung menjadi magnet kuat atensi orang-orang di sekitar.
Kebanyakan dari mereka adalah pandangan para wanita yang secara tidak sengaja melihat seseorang dengan penampilan mencolok. Pria itu datang menggunakan mobil mewah dengan seorang pelayan profesional yang melayaninya. Hal demikian hampir jarang mereka lihat di lingkungan kampus meskipun ada banyak orang kaya di sini, tapi tidak dengan wajah setampan dewa Yunani itu.
Wajahnya yang tegas dan tampak dingin, melewati mereka semua dengan ekspresi acuh. Setiap langkah mantapnya yang membawa aura kewibawaan kuat, menarik perhatian para wanita di depannya. Mereka tampak melongo, ada yang berbisik-bisik, ada juga yang tersenyum-senyum malu. Sampai-sampai pacar mereka di sampingnya harus menahan cemburu dan memalingkan paksa wajah wanitanya dari sosok maskulin itu.
***
Agatha berlari nyaris melewati pintu kelasnya. Dia membuka pintu dan berhenti sejenak dengan napas terengah-engah. Pandangannya memindai seluruh ruang kelas yang luas. Di saat itu dia merasa agak lega, karena semua bangku itu tampak belum terisi penuh. Malahan yang duduk di dalam kelas hanya dapat terhitung dengan jari.
Agatha memilih tempat duduk di barisan agak belakang. Bangku panjang itu dekat dengan jendela kaca yang besar, dan dia duduk sendirian. Lalu membuka ponselnya dari saku hanya untuk mendapati pesan singkat dari sang sahabat.
"Bocah itu ....! Benar-benar berniat bolos, huh!" Agatha menghela napas panjang. Sebuah potret jalanan dibagikan ke nomornya. Menunjukkan bahwa sahabatnya sedang pergi berlibur ke suatu tempat.
Para mahasiswa berdatangan menduduki bangku kosong. Kelas segera dimulai ketika seorang dosen wanita melangkah ke podium. Perhatian Agatha memperhatikannya dengan perasaan senang seolah beliau lah dosen yang ditunggu-tunggu untuk mengajar di kelasnya.
Wanita paruh baya itu biasa dipanggil Ms. Tessa. Penampilannya terlihat sexy dengan dress ketat membentuk tubuh gemuknya yang menawan. Kulitnya cokelat eksotis dengan rambut gelap panjang. Pandangan matanya menyisir setiap sudut kelas hingga iris hazel itu bertemu tatap dengan mata Agatha yang biru.
"Selamat pagi semuanya! Sepertinya banyak yang mengabaikan hari pertama. Tapi tidak masalah jika nilainya akan F di ujian nanti." Perkataan Ms. Tessa disambut dengungan mahasiswa yang hadir. Lumayan banyak yang datang, tetapi bangku mereka terlihat sedikit lengang.
"Baiklah, hari ini kita kedatangan dosen tamu. Silakan masuk!"
Semua mata beralih pada pintu utama ruang kelas. Sepatunya yang mengilap melangkah masuk dengan langkah tegas. Hari ini mereka merasa beruntung mengikuti kelas pagi. Beberapa mahasiswi tampak terpukau melihatnya.
Pria itu berhenti tepat di samping Ms. Tessa. Tatapan tajamnya menyapu ke sekeliling peserta di bangku. Lalu fokusnya terhenti pada pandangan mata Agatha yang duduk di sana.
Agatha tersentak kaget dan memutus kontak mata lebih dulu. Tetapi dengan gugup dia melirik penasaran pada pria itu lagi, tanpa tahu malah membuat tubuhnya menegang kaku ketika iris kuning itu masih menatapnya dalam. Agatha jadi gelisah di tempat duduknya.
Suara Ms. Tessa kemudian mengenalkannya pada mereka. "Beliau adalah seorang CEO di perusahaan X.O sekaligus penulis novel fantasi berjudul Werewolf Eyes yang sangat laris di pasaran. Jadi manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Silakan, tuan," kata Ms. Tessa dengan ramah.
Setelah menyebut judul novel itu, suasana kelas kembali bereaksi. Sebagian besar dari mereka tidak menyangka akan bertemu dengan penulis best seller buku fantasi itu. Kedatangan pria tampan itu langsung meningkatkan antusias mereka.
"Halo semuanya. Nama saya adalah Calix Cromwell. Seperti yang sudah dikatakan Ms. Tessa, saya juga seorang penulis novel. Hari ini saya akan memberikan kesempatan pada kalian untuk mempelajari sastra bersama saya. Kita mulai dari perkenalan dengan kalian," ujar pria bernama Calix itu. Lalu lengannya yang berbalut lengan jas biru tua, terangkat menunjuk salah satu dari peserta kelas.
"Kau yang di sana, tolong perkenalkan dirimu," perintah Calix. Membuat semua kepala menoleh mengikuti arah jari telunjuk Calix. Sontak saja Agatha yang ditunjuk mendadak panik. Gadis itu menunjuk dirinya sendiri seolah tidak percaya. "Ya, kau dengan rambut cokelat panjang yang diikat seperti ekor kuda," jelas Calix menegaskan.
Agatha melirik ke sekitarnya saat mencoba memastikan apakah ada gadis dengan ciri-ciri tersebut. Tetapi di sisi kanan dan kiri hanya ada beberapa laki-laki dan wanita dengan rambut pirang pendek. Akhirnya Agatha menarik napas dalam, lalu mulai mengenalkan dirinya. "Nama saya Agatha Valencia. Saya mahasiswa jurusan sastra semester akhir. Saya berusia dua puluh tiga tahun dan saya tinggal di sebuah apartemen dekat kampus sendirian," ucapnya dengan lancar.
"Apa yang membuatmu tertarik masuk kelas sastra?" tanya Calix.
Agatha pikir apakah dirinya sedang diwawancarai? Tapi dia tetap menjawabnya dengan tenang. "Karena saya suka sastra terutama yang berkaitan dengan dunia novel. Bagi saya, sastra adalah sebuah mahakarya tulis yang sangat indah." Agatha mengatakannya dengan bangga.
Calix mengangguk-angguk. Kemudian dia beralih pada mahasiswa laki-laki dan menanyakan hal sama. Calix tidak meminta semua peserta mengenalkan dirinya padanya. Hanya ditunjuk secara acak, lalu Calix membuka pertanyaan dari mereka untuk dirinya. "Baiklah, apa kalian punya pertanyaan?" ucapnya.
Dengan cepat seorang wanita mengangkat tangan. Calix mengizinkannya bicara. Lalu wanita itu mengatakan. "Apa yang membuat anda menulis novel Werewolf Eyes?" Sebuah pertanyaan yang cukup mewakili isi kepala mereka yang ada di sini.
"Pertanyaan yang bagus. Apa kalian percaya dengan werewolf? Ya sebagian besar dari kita menganggap werewolf adalah makhluk mitos yang diragukan keberadaannya. Saya menulis buku bertema werewolf karena saya pernah bertemu dengan werewolf, di dalam mimpi. Well, itu memang hanya mimpi, tetapi dari mimpi itulah yang membawaku menjadi penulis best seller." Calix menjawabnya dengan santai.
Lalu seorang wanita lain mengangkat tangannya dengan semangat. "Apakah anda pernah atau sedang memiliki hubungan dekat dengan seseorang?" tanyanya. Para lelaki di kelas agak terkejut melihat wanita tercantik di kelasnya mencoba menarik perhatian dosen tamu itu.
Pertanyaan itu sepertinya jauh lebih menarik dibanding yang pertama. Karena para wanita itu terlihat menatap Calix dengan serius dan tegang. Mereka memasang telinga dengan tajam dan selalu tidak ingin ketinggalan satu kata pun yang akan terucap dari mulut Calix.
"Saya tidak memiliki hubungan khusus dengan siapapun. Tetapi saya sedang mengincar seseorang untuk memperhatikan saya." Calix mengungkapkannya sambil menatap terpaku pada Agatha di sana. Pandangan mata Calix seakan mengirim sinyal tersirat dan membuat Agatha membeku karena gugup.
***