Agatha baru selesai mandi. Dia mengenakan setelan baju tidur pendek bergambar Pororo. Rambutnya yang masih basah, digosok-gosok dengan handuknya seraya berjalan menuju pantry dapur. Segelas air dituangkan ke dalam gelas kaca. Dia meneguknya pelan, dan perasaan janggal itu belum juga entah dari benaknya.
Ketika dia menurunkan gelasnya dari bibir, meletakan gelas kaca itu dengan pelan di meja marmer, Agatha merasakan keheningan yang dingin di dalam rumahnya. Dia tinggal sendirian sejak awal kuliah, baru kali ini Agatha merasa sesuatu yang ganjil. Seolah-olah akan ada sesuatu yang muncul secara tidak terduga di depan matanya.
Hantu? Jangan berpikir itu hantu. Agatha tidak pernah melihat makhluk seperti itu selama hidup di kota.
Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu yang sudah sangat larut untuk menelepon keluarganya di kota lain hanya untuk mengalihkan kesepiannya. Tiba-tiba perkataan pria misterius terngiang di kepala Agatha.
[Jangan keluar malam hari lebih dari jam sebelas, kalau tidak mau mendapat resikonya.]
Kira-kira seperti itu yang dapat Agatha tangkap dari ucapannya. Agatha tentu tidak benar-benar mengabaikan peringatan tersebut, karena menurutnya pria itu sedang mengancamnya dan harus dilaporkan pada polisi. Benar! Agatha jadi menemukan alasan mengapa dirinya merasa tidak nyaman saat ini adalah karena ancaman pria misterius itu! Maka dia mensugestikan pikirannya demikian.
Agatha hanya berusaha mengalihkan pikiran ganjil itu dengan membaca buku. Dia mengambil bukunya secara acak di rak terdekat, kemudian mendudukkan tubuhnya dengan nyaman di sofa empuk. Detik demi detik jarum jam berdetak di tengah keheningan, detik demi detik degupan jantung Agatha semakin memberat. Buku yang dibacanya tidak bisa menenangkan dirinya.
Tok. Tok. Tok.
Barulah mendengar suara ketukan itu membuat Agatha terlonjak kaget. Dia menegang dan mengira-ngira siapa yang mengetuk pintunya tengah malam begini. Bukankah itu terkesan menyeramkan untuk dibayangkan?
Agatha ingin mengabaikan dan pura-pura tidak mendengar ketukan di pintunya. Tetapi tiga menit kemudian suara yang sama seakan menegurnya untuk dibukakan pintu. Agatha kian panik. Dia takut. Entah mengapa dirinya menjadi parno. Apakah karena melihat kejadian di jalan gang itu?
Lantas Agatha bangun dan melangkah pelan-pelan tanpa suara mendekati pintu. Di sana dia memiliki intercom untuk melihat siapa yang ada di depan rumahnya. Namun yang Agatha dapatkan hanya jalanan kosong. Dia tidak melihat ada seseorang di depan pintu rumahnya.
Hal ini menambah ketegangan di wajah Agatha. Dia mengambil pemukul baseball dari keranjang payung di dekatnya. Niat Agatha sudah jelas. Pelan tapi pasti meski ragu-ragu dan takut menyelimuti, keberanian Agatha tidak mengurungkan langkah kakinya untuk bergerak semakin dekat dengan pintu.
Tangan kiri memegang tongkat baseball, sedangkan tangan kanannya terulur menyentuh kunci pintu yang dingin. Kemudian dengan perlahan dia memutar kenop pintunya dan pintu pun terbuka otomatis. Agatha membuka pintunya sedikit hanya untuk mengintip dari celah kecilnya.
Ini seperti adegan horror dalam film, di mana teror hantu akan muncul tiba-tiba dan menjadi efek jumscare yang menarik jantung penonton. Begitulah yang dipikirkan Agatha saat ini. Tetapi bedanya, dia takut jika sosok yang muncul itu adalah orang jahat yang berniat melukainya.
Namun, setelah mengamati keadaan di luar dengan mata kepala sendiri, semua itu terlihat sepi dan tenang. Agatha tidak menemukan seorang pun di sekitar, sebelum pandangannya meluncur turun dan terkejut menemukan sesuatu di bawah kakinya.
Agatha tidak menyangka di depan pintunya ada seekor serigala besar tampak terbaring lemah. Jika diamati lagi fisik binatang berbulu itu, serigala dengan bila hitam ini sangat mirip dengan serigala sewaktu yang menyelamatkannya di gang. Entah dapat dikatakan penyelamat atau tidak, karena serigala hitam itu menyerang serigala putih yang hendak menerkamnya.
Terdapat luka di kaki serigala itu disertai darah kering menempel di bulu. Secara naluriah, Agatha tidak bisa membiarkan hewan ini kesakitan di depan pintunya. Lantas membuat Agatha akhirnya membuka pintunya lebar dan menyeret serigala pingsan itu masuk ke dalam rumah.
Dia menutup pintu itu lagi menggunakan kakinya. Lalu melanjutkan menggendong serigala hitam. Tetapi karena ukurannya yang besar dan lumayan berat, alhasil tubuh serigala itu tampak terseret-seret di ubin yang dingin.
Agatha meletakkannya dengan pelan-pelan di ruang tengah yang luas. Dia segera mengambil kotak obat, lalu kembali lagi di depan sang serigala. Mata birunya memperhatikan luka di kaki depan serigala. Itu terlihat sedikit bengkok seperti patah tulang, kalau terbangun nanti, hewan ini pasti akan berjalan dengan pincang.
***
Esok paginya, Agatha keluar kamar tepat setelah mematikan alarm. Kali ini rasa malasnya disegarkan dengan ingatan semalam. Agatha yakin dirinya tidak bermimpi bahwa dia memiliki seekor serigala besar di rumahnya!
Sontak saja membuat dia bergegas membuka pintu kamar, dan memeriksa ruang tengahnya di mana dia meninggalkan hewan itu tidur di sana usia diobati. Cahaya matahari dari kaca jendela, tampak menjangkau lantai di bawahnya. Cahayanya yang berkilauan menyirami sesosok eksistensi yang terbaring di tempat serigala tidur semalam.
Agatha ternganga. Mulutnya sampai terbuka dengan raut wajah memelotot tidak percaya. Seharusnya dia melihat serigala semalam yang berbaring di lantai itu, bukan sosok makhluk lain yang memiliki dua kaki tanpa alas, mengenakan celana panjang dan tanpa pakaian atas, sehingga menunjukkan pinggang yang ramping dan otot perutnya yang keras, kedua mata terpejam tenang dan sosok itu tampak tidur miring.
Jelas saja dia bukan serigala!
Tapi seorang manusia!
Agatha mendadak jadi linglung. Bagaimana bisa ada orang masuk ke rumahnya padahal semalam dia mengunci semua pintu dan jendela. Lalu kemana perginya serigala besar itu!
Agatha berusaha tidak panik. Dia mengamati pria itu sekali lagi dengan lebih intens. Ada sebuah perban terlilit di lengan kanan pria itu, persis letaknya seperti saat dia mengobati serigala tadi malam. Bahkan ikat simpul perbannya yang sedikit berantakan itu dan tidak berubah, dapat Agatha kenali sebagai miliknya. Karena dia masih ingat bagaimana dia mengikat perban itu semalam.
Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya membuka. Pria itu terbangun! Perawakannya yang liat, bergerak duduk bersimpuh dengan disaksikan kedua mata Agatha yang memelotot. Pemandangan di depannya tampak begitu nyata untuk dikatakan seperti mimpi.
Pengamatan Agatha tidak berhenti ketika melihat dengan jelas wajah pria itu. Rambutnya yang pirang acak-acakan, dengan mata kuning cemerlang, tulang pipi yang tinggi dan rahang tegasnya, menunjukkan ciri-ciri yang sangat mirip dengan dosen tamu di kelasnya kemarin.
"Calix?" Agatha memanggil dengan suara pelan. Dia ragu-ragu kalau pria itu adalah Calix. Namun ciri fisiknya tidak ada yang berbeda.
Pria itu menaikkan pandangannya. Matanya tampak sayu, menatap tepat ke mata Agatha.
Agatha yang mematung melongo, sedangkan Calix yang bertelanjang dada bersimpuh di bawahnya, bertemu di pagi hari yang cerah.
***