Ku biarkan saja panggilan dari lily. Malas saja untuk mengangkatnya, kemarin Alex tiba-tiba meminta untuk bertemu denganku. Aku yakin semua itu berdasarkan hasutan dari lily, Alex saat ini sudah mulai mengerti ucapan orang. Sehingga lily menggunakan Alex sebagai alat agar dia bisa kembali ke sini dan tinggal bersama aku dan Papa.
Dering telpon terus saja berbunyi, namun tak sedikit pun ada rasa ingin mengangkat panggilan itu. Semakin aku memberi celah untuk Lily, semakin dia merasa bahwa aku akan dengan mudah luluh dan terpengaruh hanya karena Alex. Tidak, itu tidak mungkin terjadi. Karena aku bukan Papa yang bisa percaya begitu saja.
"Kenapa gak di angkat sih, Ka?" Tanya Papa yang mulai terganggu dengan bunyi ponselku yang tak kunjung berhenti.
"Gak penting, biarin aja, Pa." Jawabku tanpa mau memperdulikan panggilan dari lily sedikit pun.
Papa melirik ponselku yang sejak tadi tidak kunjung berhenti berbunyi. Fokus pandangan Papa teralihkan dari koran ke ponselku, dan saat tau itu adalah panggilan video dari Lily, Papa segera mengangkatnya tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu.
Aku lupa jika Papa sangat menyanyangi anak itu. Meski selama ini aku tidak pernah mau mengakuinya sebagai anakku, aku tidak bodoh untuk mempercayai wanita seperti Lily. Aku yakin anak itu adalah anaknya dengan Rifki bukan aku, tapi karena Rifki meninggal, dia malah melimpahkan tuduhannya padaku. Jelas aku tidak bisa menerima semua itu, meski memang benar aku pernah mabuk dan masuk ke dalam kamarnya saat itu.
Dia menjalin hubungan yang sangat lama dengan Rifki dan tidak mungkin jika selama mereka berhubungan tidak pernah melakukan hubungan intim. Rifki pria normal meski sifatnya memang lebih kalem dari pada aku yang dulu sempat terjebak pada pergaulan bebas.
"Hallo cucu Opa!" Ujar Papa dengan wajah berseri.
Benar dugaanku, jika yang melakukan panggilan itu pasti Alex. Dan aku juga yakin Alex tidak mungkin melakukan panggilan video jika bukan karena suruhan dari Lily.
"Hai, Opa. Alex kangen sama Opa, pengen main kuda-kudaan lagi." Sambut anak berusia empat tahun itu.
"Oh ya! Opa juga kangen sayang sama Alex. Nanti kita main bareng ya kapan-kapan."
Tidak, aku tidak boleh membiarkan Lily dan anak itu berkunjung kesini. Aku tidak mau dia terus-terusan mengganggu hidupku, Papa tidak boleh sampai menyetujui ataupun menyuruh mereka datang kesini.
"Beneran, Opa? Opa gak bohong, kan?" Tanya Alex kegirangan.
"Iya, Sayang. Masak Opa bohong sih!"
"Yeay, Bunda, nanti kita main ke rumah Opa ya! Alex juga pengen jalan-jalan sama Ayah," seru anak itu pada Lily yang tersenyum mendengar tanggapan Papa.
"Iya, Sayang. Nanti kita main ke rumah Opa."
Aku mengambil ponsel yang ada ditangan Papa, tanpa berpamitan terlebih dulu. Rasa kesal mulai membuncah kala Papa ingin membiarkan mereka berdua datang lagi ke rumah ini. Perjanjian yang ku buat dulu dengan Papa sudah sangat jelas, tapi sekarang Lily sepertinya semakin melunjak dan tidak tau batasan. Jangan hanya karena Alex sudah mulai mengerti keadaan dan ucapan orang-orang, dia malah memanfaatkannya untuk kembali ke rumah ini. Hal itu tidak akan pernah ku biarkan terjadi.
"Kenapa sih, Ka. Kok di rebut, Papa kan belum selesai ngomongnya sama Alex,"
"Cukup, Pa. Apa Papa lupa dengan perjanjian kita dulu!" Sungutku pada Papa. Agar tidak membiasakan diri untuk menyetujui segala sesuatu yang berkaitan dengan Lily ataupun Alex tanpa persetujuan dariku.
Papa hanya diam dan tidak menggubris pernyataan dariku. Ya, seharusnya memang seperti itu. Karena bagaimanapun keadaannya, aku juga berhak memutuskan Alex maupun Liliy boleh tidaknya menginjakkan kaki di rumah ini lagi.
Ku alihakan pandanganku pada panggilan video yang sejak tadi belum di matikan oleh Lily. Aku harus bisa bersikap tegas padanya mulai sekarang agar tidak terus-menerus menggangguku lagi. Setiap bulan Papa sudah memberikannya uang untuk kebutuhannya dan Alex, jadi mau apa lagi dia menggangguku.
"Kamu mau apa? Uang yang kemarin belum cukup? Bilang saja, nanti aku transfer lagi ke rekeningmu." Sindirku pada Lily dengan wajah yang terlihat masam saat mendengar perkataanku.
"Nggak kok kak. Uang yang kemarin saja belum habis. Tadi Alex minta video call karena pengen jalan-jalan sama Kakak. Dia juga bilang kalau kangen sama opanya, jadi..."
"Kamu fikir aku bodoh, ingat ya, Ly. Jika kamu terus-terusan menggunakan Alex sebagai alat agar bisa kembali ke rumah ini, maka jangan harap kamu dan dia bisa hidup seperti sekarang ini. Apa perlu, ku ingatkan kembali perjanjian kita dulu, hah!"
Belum sempat Lily menyelesaikan ucapannya aku sudah memotongnya terlebih dahulu. Tidak ingin mendengar berbagai alasan yang hanya akan membuatku semakin kesal dan membuang-buang waktuku saja.
"I_iya, Kak. Maafkan aku, tapi kali ini memang kemauan Alex, Kak. Aku tidak pernah menyuruhnya untuk mengganggu, Kakak." Jelasnya padaku.
"Aku tidak mau tau. Pokoknya aku tidak mau kalian berdua tiba-tiba datang lagi ke rumah ini seperti beberapa bulan lalu tanpa persetujuan dariku, mengerti!"
"I_iya, Kak."
Tidak mau berlama-lama menatap wajah Lily, aku segera mengakhiri panggilan video tadi. Alex melihat perselisihan diantara aku dan Lily, dia nampak sedih kala Lily gelagapan menanggapi semua perkataanku yang sedikit kasar padanya.
Masa bodoh dengan semua itu. Toh itu semua juga karena ulahnya sendiri, jika mereka berdua bisa tetap anteng tinggal di Villa puncak yang sudah ku berikan pada mereka dulu, jelas aku tidak akan marah seperti ini. Ya, Villa puncak adalah Villa yang diberikan oleh Papa padaku saat aku baru masuk SMA, Villa itu diberikan karena aku berhasil lulus dan tidak tinggal kelas waktu itu. Kenakalanku waktu remaja memang tidak bisa di tolerir sama sekali, sering ikut balap liar, mabuk-mabukan dengan teman-teman meski saat itu usiaku bisa di bilang masih dini untuk melakukan hal semacam itu.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku berubah karena Mama. Saat itu Mama terkena serangan jantung karena melihat aku yang bonyok akibat tauran bebas dengan sekolah lain, waktu itu aku masih SMP. Dan waktu itu aku ikut tauran bukan atas dasar sekolahku sendiri, melainkan ikut Kakak senior dari tingkat SMK yang terlibat tauran dengan sekolah lain.
Mama syok melihat keadaanku yang sudah tidak dapat dikenali saking banyaknya darah yang mengalir di setiap sudut wajahku. Akan tetapi, untungnya Tuhan masih memberiku kesempatan hingga aku tetap bisa bernfas meski dengan keadaan yang mungkin menurut orang-orang sudah tidak ada harapan lagi.
Saat aku sadar, sudah ku dapati Mama yang terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Papa berkata kalau Mama tekena serangan jantung saat tau kondisiku yang sangat memprihatikan. Sejak saat itu pula, aku sadar akan sikapku yang benar-benar sudah di luar batas kewajaran.