[Ka, kita perlu bicara. Temui aku di Cafe Boy jam sepuluh nant]
Ku kirimakan pesan chat untuk Rafka. Rencananya hari ini aku akan membicarakan perihal lamaran yang di ajukan oleh Om Permana tadi malam. Sebenarnya pikiran masih belum bisa menerima semua ini, karena bagiku terlalu cepat jika bertunangan di usia yang sangat muda. Apalagi aku masih ingin melanjutkan kuliahku, yang jelas perjalanan kami masih sangat panjang. Bermain dan berkumpul dengan teman-teman adalah hal paling menyenangkan dari pada harus memikirkan soal jodoh apalagi perjodohan seperti ini.
Rafka harusnya bisa berfikir lebih panjang, agar tidak mengambil keputusan secara sepihak dan memutuskan untuk bertunangan di masa baru akan menginjak dewasa ini.
[Oke, Ra. Nanti ku jemput kamu, jadi berangkatnya barengan saja. Aku tak mau calon tunanganku ini kepanasan.]
Aku merasa risih dengan tanggapan Rafka yang demikian. Belum juga aku menerima lamarannya, tapi dia sudah berani mengatakan aku adalah calon tunangannya. Andai bukan karena dia, sudah pasti Ayah dan Ibu tidak akan memaksaku untuk menerimanya. Agak kesal memang jika mengingat hal itu.
Tring...
Satu notif pesan masuk lagi, ku lihat layar ponsel. Ternyata dari Shaka.
[Ra, lagi apa? Kangen nih, udah lama gak ketemu]
Ada niatan untuk membalas pesan chat dari Shaka namun ku urungkan. Padahal baru kemarin aku merasakan indahnya hubunganku dengan Shaka, dan saat ini aku harus menjauhinya lagi setelah beberapa bulan terpisah karena pertukaran pelajar waktu itu.
Ku abaikan pesan dari Shaka, mengubah setelan WhatsAppku menjadi laporan dibaca dimatikan agar Shaka tidak tau jika pesannya sudah ku baca. Begini lebih baik dari pada harus memicu pertengkaran. Yang ku ingin adalah berpisah secara baik-baik, bukan dengan cara berselisih apalagi jika Shaka tau, pria yang akan bertunangan denganku adalah Rafka. Dia pasti marah besar dan merasa sangat di khianati, karena selama ini ia tau jika Rafka sering menggodaku saat pelaksanaan pertukaran pelajar.
***
Jam 9.45 aku sudah siap untuk berangkat. Dan tanpa menunggu Rafka menjemput lebih baik aku berangkat sendiri saja. Lagi pula status kami masih belum jelas dan hanya sebatas teman untuk saat ini, jadi ku rasa dia tak perlu menjemputku. Aku akan mengabari bila sudah sampai di Cafe yang telah ku sebutkan tadi.
"Amaira, ini Rafka udah datang mau jemput kamu katanya," teriak Ibu dari luar yang sepertinya saat ini sedang di toko.
Ah, kenapa Rafka bisa datang begitu cepat. Jika begini aku tak bisa berkutik lagi dan harus ikut dengannya. Tapi sudahlah, toh tujuannya juga sama.
"Udah lama nyampeknya, Ka?" Tanyaku kala sudah berada di dekat Rafka.
Ia tak menyadari kedatangaku karena ia sibuk dengan ponselnya, ia sepertinya sedang bertukar pesan dengan seseorang yang aku pun tak tau siapa. Itu bukan urusanku, jadi lebih baik di biarkan saja.
"Eh, udah selesai, Ra. Ku kira kamu masih siap-siap. Baru nyampek kok, ini langsung nyamperin Ibu tadi, terus nungguin kamu deh."
"Nah, ini dia anaknya. Ya sudah kalian berangkat aja gih, biar gak kesiangan juga kalau mau jalan-jalan."
Ibu begitu sumringah saat melihatku dan Rafka. Padahal hanya ke Cafe saja, tapi Ibu mengiranya aku dan Rafka akan pergi jalan-jalan.
"Ya sudah, Bu. Amaira berangkat dulu,"
Aku pun meraih tangan Ibu sebagai tanda berpamitan. Begitu pula dengan Rafka yang mengikuti apa yang ku lakukan tadi, melihat Rafka dan Ibu sepenuhnya sudah seperti menantu dan mertua yang begitu dekat saja. Hingga Rafka pun tak merasa canggung sama sekali ketika berhadapan dengan Ibu.
Selesai berpamintan aku dan Rafka menuju ke mobilnya. Tak perlu menempuh waktu yang terlalu lama untuk ke Cafe Boy karena jaraknya hanya sekitar tujuh kilometer dari rumahku. Selama di perjalanan aku selalu diam, sedangkan Rafka sesekali melirik ke arahku. Kami merasa canggung setelah sekian lama tak pernah pergi berdua seperti ini, harusnya aku menolak saja saat Rafka berkata ingin menjemputku pagi tadi.
***
"Kamu mau ngomong apa, Ra? Apa kamu sudah bisa menentukan pilihan saat ini, antara aku atau Shaka." Ujar Rafka saat kami berdua sudah berada di dalam Cafe dan memesan minum.
Dia tak sabar ternyata, menanti sebuah jawaban dariku. Sebenarnya aku tidak ingin buru-buru menjawabnya, karena yang terpenting aku ingin menanyakan kesungguhannya terlebih dahulu. Toh, biarlah nanti ku jawab di depan Om Permana pula di saat waktu yang telah di sepakati tadi malam.
"Please, Ka. Jangan gegabah. Pikirkan lagi secara matang, terlalu dini bagi kita untuk menjalani hubungan pertunangan ini. Perjalanan masa depan kita masih sangat panjang, aku masih pengen kuliah dan melakukan hal-hal yang aku suka, jadi bisa gak kalau pertunangan ini di tunda sampai kita benar-benar siap."
Rafka menatapku sendu, seolah mengisyaratkan jika aku terlalu keras dengan pemikiranku dalam persoalan pertunangan ini. Ya, aku hanya tidak ingin terlalu dini menjalani hubungan yang begitu serius apalagi sampai menikah di usia dini. Itulah yang menjadi penyebab mengapa aku sangat takut untuk terlalu jauh melangkah bersama Rafka.
"Kamu gak perlu khawatir, Ra. Papa juga udah bilang kok sama Ayah, meski kita resmi bertunangan nanti. Gak ada halangan untuk kita ngelanjutin kuliah dan melakukan hal-hal yang kita suka. Kamu gak perlu mikir berlebihan dulu, jangan kira aku minta tunangan sama kamu saat ini biar bisa cepat menikah. Nggak, Ra. Kamu salah. Aku hanya ingin ngebuktiin sama kamu, kalau aku bener-bener serius sama kamu. Udah gitu aja."
Benarkah? Aku kira setelah pertunangan ini aku dan Rafka akan segera melangsungkan pernikahan. Kalau begini, aku masih bisa mempertimbangkan keraguanku sendiri. Tapi Shaka ...
"Tapi, Ka. Kamu tau sendiri kan, kalau aku memiliki hubungan ..."
"Ya, aku tahu. Tapi apa kamu mau terus-terusan menjalin hubungan dengan pria yang belum tentu serius sama kamu, bahkan malah jalan sama cewek lain di belakang kamu."
Aku mengernyitkan dahi kala Rafka berkata demikian, apa maksudnya dia berkata seperti itu. Dari mana dia tau kalau Shaka melakukan hal semacam itu di belakangku.
"Jangan asal nuduh, Ka. Aku tau kamu gak suka sama dia tapi..."
"Kalau kamu gak percaya, tuh lihat sendiri di seberang jalan sana,"
Aku menoleh ke arah yang maksud Rafka. Dan benar saja, saat ini dia tengah membonceng seorang wanita dan turun di toko yang bersebelahan dengan Cafe ini. Tega sekali dia melakukan ini padaku, padahal saat ini aku masih mencoba mempertahankan hubungan ini karena rasa sayang dan juga kasihan atas perjuangannya selama ini untukku.
Siapa wanita itu? Apa benar Shaka sudah berbohong selama ini, bahkan saat liburan saja dia tak pernah mengajakku pergi jalan-jalan. Dan sekarang, dia malah... Ah bodohnya kamu Amaira, laki-laki seperti Shaka kamu perjuangkan padahal dia tak lebih dari pria munafik