"Lihat tuh, cowok yang selama ini mati-matian kamu perjuangkan. Apa masih pantas cowok kayak dia kamu pertahanin, Ra?" Perkataan Rafka berhasil menamparku dengan kenyataan yang ku lihat saat ini.
Dia benar, aku memang bodoh sudah begitu dalam memperjuangkan hubunganku dengan Shaka, padahal orang yang di perjuangkan saat ini sangat jelas berkhianat di belakangku. Selama ini Shaka tak pernah mengajakku jalan satu kali pun, bahkan mengantarku membeli sesuatu juga tak pernah. Dan saat ini aku melihat dia membawa wanita ke toko aksesoris di seberang sana.
Aku tak tau harus berkata apa lagi, karena semua ucapan Rafka benar. Aku bodoh telah mempercayai laki-laki seperti Shaka, aku bodoh sudah bertahan dengannya begitu lama. Dia sama sekali tak bisa membuktikan janjinya padaku, sedangkan pria yang ada diahadapanku saat ini, dengan kesungguhannya membuktikan kalau dia benar-benar menyanyangiku meski selama ini tak menjalin hubungan apa pun denganku kecuali pertemanan.
Aku tersenyum simpul saat mengingat ucapan Rafka barusan, "Kamu bener, Ka. Aku bodoh karena terlalu percaya sama dia. Bertahun-tahun menjalin hubungan yang ku kira dia beneran serius nyatanya tak sesuai dengan yang ku fikirikan. Aku bersyukur bisa mengetahuinya saat ini. Jika tidak, aku gak tau gimana nasibku ke depannya yang akan tetap ngotot mertahanin dia,"
Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, itu yang saat ini terbesit dalam pikiranku. Aku tidak ingin terus-terusan bersama Shaka yang jelas-jelas berkhianat di belakangku. Aku harus membuat keputusan atas lamaran Rafka, Ibu dan Ayah juga setuju. Sedangkan Rafka dan Om Permana juga tidak terlalu terburu-buru untuk melangsungkan sebuah pernikahan setelah pertunangan ini terjadi.
Ya, mungkin cara ini bisa membuatku lebih cepat melupakan Shaka, pria yang selama ini berhasil membuatku percaya dengan semua janji manisnya yang faktanya sangat busuk. Lebih busuk dari sebuah bangkai.
"Lalu, sekarang gimana? Kamu masih ragu nerima lamaranku, hanya karena alasan kamu menjalin hubungan dengan Shaka?"
Niatku mengajak Rafka memang untuk membicarakan hal ini, namun bukan untuk menerima lamarannya, melainkan menundanya. Tapi setelah melihat Shaka tadi, aku jadi semakin yakin untuk menerima lamaran ini bahkan bukan karena kemauan Ayah dan Ibu. Melainkan kemauanku sendiri.
"Aku..."
Drtt...drtt...
Ingin menjawab pertanyaan Rafka, tiba-tiba ponselku berdering. Ku rogoh ponsel yang sedari tadi ada dalam tasku, dan ternyata ada satu panggilan masuk dari Shaka. Aku tersenyum simpul kala tau dia masih berani menghubungiku saat tengah bersama wanita lain. Brengsek, dia benar-benar laki-laki mata keranjang yang pernah ku temui.
Sudah mencari kesenangan dengan wanita lain, dan masih ingin menjalin hubungan denganku. Jangan mimpi aku tidak akan menerimanya lagi.
"Siapa, Ra. Kenapa gak diangkat?"
Di angkat tidak ya? Rasanya masih sangat kesal dan kecewa, tapi jika tidak diangkat dia akan terus-menerus melakukan panggilan berulang kali padaku. Ya, karena aku tahu sifat Shaka, dia tipe pria yang suka memaksa. Seperti halnya dengan beberapa bulan yang lalu saat aku pergi menonton film bersama Rafka, tidak ada hentinya dia mengirim spam chat juga panggilan video padaku. Hingga pada akhirnya terjadi percekcokan antara aku dan Shaka.
"Dari Shaka. Males ngangkat, males ngomong sama dia. Tapi kalau gak diangkat dia bakalan maksa terus."
"Udah matiin aja, jangan hiraukan cowok brengsek kayak dia lagi, buang-buang waktu kamu aja, Ra. Inget, dia udah ngehianatin kamu loh!"
Ya, memang benar. Lebih baik diabaikan saja dari pada di tanggapi. Laki-laki seperti dia tak pantas untuk di kasihani lagi. Wajahnya saja yang pandai memelas, dan mulutnya pandai berucap manis. Tapi nyatanya penuh dengan kebohongan.
Aku pun menolak panggilan dari Shaka. Meletakkan ponselku kembali ke dalam tas. Selang beberapa detik, dering ponsel terdengar kembali. Begitu seterusnya, lebih baik pulang saja. Toh urusanku dengan Rafka sudah selesai.
"Pulang yuk, Ka. Males lama-lama disini." Ujarku mengajak Rafka pulang, aku muak melihat Shaka dan wanita itu bersama. Terlihat dari sini Shaka masih tampak sibuk dengan ponselnya karena menghubungiku.
Cemburu, jelas aku merasakannya. Siapa yang tak cemburu bila kekasih yang selama ini bersanding selama beberapa tahun tiba-tiba asik bersama wanita lain. Tapi yang lebih ku rasakan saat ini bukanlah cemburu, melainkan marah dan kecewa.
"Loh, terus gimana? Kamu kan belum jawab pertanyaanku, Ra? Masak udah mau pulang."
Oh, iya. Aku sampai lupa dengan tujuanku bertemu Rafka. Sempat ingin menjawab, malah ada panggilan masuk yang membuyarkan keinginan untuk menyampaikan keputusanku pada Rafka.
Sekarang sudah tidak mood untuk membicarakan tentang lamaran Rafka, lebih baik ku sampaikan saja nanti sesuai waktu yang sudah di sepakati. Lagi pula meski di sampaikan sekarang, Om Permana dan Rafka harus kembali juga ke rumahku untuk menerima kepastian di depan Ayah dan Ibu pula.
"Mmm ... Gini aja aku akan menjawab lamaran kamu di waktu yang sudah di sepakati, Ka. Di depan kamu juga Om Permana, gak papa ya?" Semoga saja Rafka bisa mengerti.
"Ya udah deh, tapi aku harap kamu gak ngecewain aku sama Papa ya, Ra."
Aku mengangguk mengiyakan keinginan Rafka. Untuk apa mengecewakan orang yang sudah benar-benar serius dan berusaha meyakinkan perasaannya untukku. Benar kata Ayah, Rafka adalah pilihan terbaik saat ini dari pada Shaka yang hanya bisa memberikan janji palsu.
"Kamu gak mau jalan-jalan dulu? Belanja atau apa kek?"
Sungguh beruntung aku bertemu dengan laki-laki seperti Rafka, mungkin ini memang cara tuhan menunjukkan siapa yang terbaik untukku. Dan siapa yang tak pantas ku perjuangkan.
"Gak usah, Ka. Kapan-kapan saja. Aku mau pulang aja sekarang."
Sebenarnya ada keinginan untuk menghilangkan rasa jenuh, tapi aku masih ingin menenangkan diri sejenak di rumah. Dari pada harus jalan-jalan, ini sudah terlalu siang. Dan malas saja jika harus jalan-jalan di waktu panas seperti ini, meski sudah memakai mobil bukan motor seperti punya Shaka. Huh, rasanya sangat kesal jika mengingat tentang dia.
***
Setelah dari Cafe aku pun meminta Rafka untuk mengantarku pulang, dia awalnya mengajakku untuk mampir ke rumahnya seperti dulu. Namun ku tolak, tak mau bertemu Om Permana terlebih dahulu agar tak di tanya soal lamaran terlebih dahulu. Biarlah ini menjadi kejutan nanti saat waktunya sudah tiba.
Terdengar suara ponsel berbunyi. Dan itu adalah milik Rafka, terpancar keraguan untuk mengangkat panggilan masuk di ponselnya. Melihat Rafka yang demikian, pikiran buruk mulai menghantui. Tidak mungkin kan, jika Rafka ternyata membohongiku juga?
"Siapa, Ka. Kenapa gak diangkat saja? Siapa tau penting." Agar semuanya jelas, aku pun memancing Rafka untuk mengangkatnya. Jika tetap Rafka abaikan, maka dugaanku mungkin saja benar.
Rafka tampak tegang dan tak menjawab pertanyaanku, namun dia langsung mengangkat panggilan itu.
"Ya, Hallo."
"Iya, tenang aja. Pasti gue tepati. Gak usah khawatir."
"Iyaya, udah dulu. Gue lagi nyetir."
Selesai berbicara dengan orang yang menelvon tadi, Rafka langsung mematikan panggilan tersebut dan menoleh ke arahku.
"Mmm ... Temen kelas, Ra. Ngabarin soal pelulusan."
Aku hanya mengangguk. Ternyata dugaanku salah, mungkin karena kelakuan Shaka aku jadi lebih negatif thinking sekarang. Terutama pada Rafka, harusnya aku percaya padanya. Toh sebentar lagi aku akan menerima lamarannya.