Aku masih syok dengan kedatangan Rafka dan Om Permana tadi. Tak bisa ku cerna begitu saja niat Rafka untuk bertunangan denganku, apa lagi di waktu yang menurutku masih terlalu dini.
"Ayah sama Ibu gak bisa gini loh, asal menyetujui saja lamaran dari Om Permana. Kalau begini apa gunanya Ayah sama Ibu minta pendapat Amaira, toh kalian sudah bilang setuju, Amaira malu, Yah. Sama Om Permana, gimana nantinya kalau dia sampai merasa di tipu oleh keluarga kita jika pada akhirnya Amaira menolak lamarannya," gumamku kesal.
Ayah dan Ibu saling memandang satu sama lain, menatapku penuh heran karena berkata demikian. Apa mereka mengira hubunganku sedekat itu, hingga mereka menyetujui permintaan Rafka untuk bertunangan denganku. Selama ini secara terang-terangan aku dan Shaka menjalin hubungan, bahkan sudah bertahun-tahun lamanya. Jadi tidak bisakah mereka berfikir jika aku menjalin hubungan yang serius dengan Shaka, buka. Rafka.
Jujur saja, saat ini aku sangat bingung. Bagaimana caranya bersikap pada Rafka, ada rasa bersalah kala Ibu dan Ayah yang tiba-tiba menyetujui keinginannya tanpa menanyakan persetujuanku terlebih dahulu.
"Ra, kami hanya ingin kamu memiliki calon suami yang baik dan memiliki masa depan yang baik pula. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya hidup menderita, termasuk kami. Kamu lihat Rafka, meski dia tidak menjalin hubungan bertahun-tahun dengan kamu, tapi dia bisa membuktikan jika perasaan cintanya pada kamu itu tidak main-main,"
"Laki-laki itu di lihat dari dua hal, ucapannya serta sifat tanggung jawabnya. Kalau kamu terus berusaha bertahan dengan Shaka, apa kamu yakin dia bisa membuktikan rasa cintanya itu seperti Rafka? Coba kamu pikir baik-baik,"
Aku merasa tertampar dengan perkataan Ayah, sejak tadi aku bersih keras menyalahkan kedua orang tuaku. Tapi mendengar ucapan Ayah tadi, aku merasa ada benarnya juga. Tapi...
Kenapa aku jadi goyah seperti ini? Bukankah aku sudah memutuskan untuk fokus pada Shaka, sejak tau dia bekerja begitu keras untuk hidupnya. Karena dengan dia bekerja seperti itu, membuktikan bahwa dia adalah salah satu pria yang bertanggung jawab pula atas hidupnya, bukan hanya bisa mengandalkan uang yang di berikan oleh bapaknya.
"Benar itu, Nak. Ayah sama Ibu gak pengen kamu hidup sebatang kara jika terus-terusan melanjutkan hubunganmu dengan Shaka. Bapaknya saja hanya sebagai guru honorer, Ra. Bagaimana mana nanti Shaka akan menghidupi kamu jika dia saja tidak memiliki jaminan hidupnya akan jauh lebih baik dari nasib bapaknya itu,"
Lagi-lagi Ibu juga memperkuat argumen dari Ayah. Aku tau selama ini mereka tidak menyukai hubunganku dengan Shaka sebab drajatnya lebih rendah dari keluargaku. Namun tidak bisa dengan cara seperti ini juga memutuskan hubunganku dengan Shaka, jika memang suatu saat kami tidak di takdirkan untuk berjodoh, pasti pada akhirnya akan berpisah juga, kan!
"Bu, tolonglah. Ubah persepsi Ibu yang seperti itu, jangan lihat orang dari latar belakang keluarganya, Bu. Kita kan gak tau bagaimana nasib Shaka di masa depan, bisa saja dia akan menjadi orang yang sukses nanti. Dan bisa pula Rafka yang anak dari seorang PNS, berbalik tidak menjadi apa-apa nantinya."
"Sudah, Amaira. Jangan membantah apa kata orang tua. Pokoknya Ayah gak mau tau, kamu harus tetap menerima lamaran dari Rafka dan menyudahi hubungan dengan si Shaka itu. Apa kamu pikir selama ini kamu bisa hidup dengan mewah hanya karena Ayah dan Ibu saling mencintai? Tidak, Amaira. Kamu salah besar, kami harus berjuang keras demi bisa memberikan hidup yang baik untukmu, Nak." Gumam Ayah dengan sedikit nada tinggi.
Aku tertegun kala Ayah berkata demikian, rasa bersalah menyelimuti saat aku mencoba membantah semua ungkapan mereka. Selama ini, aku memang hidup dengan baik bahkan sangat baik dari pada kedua sahabatku itu. Ayah dan Ibu selalu memanjakanku, membelikan aku barang mewah sesuia keinginanku meski pada dasarnya aku tidak berasal dari keluarga kaya seperti Rafka. Bapak yang hanya menjadi mandor proyek, serta Ibu yang menjual barang dagangan di toko kelontong.
"Demi memberikan semua itu, Ayah dan Ibu harus rela mati-matian hanya demi kamu, Ra. Anak kami satu-satunya, dan Ayah sangat tidak rela jika nanti kamu memilih Shaka sebagai suamimu, kamu malah akan kekurangan materi, tidak seperti yang kami berikan setiap saat padamu. Apa yang Ayah lakukan hanya demi kebaikan kamu di masa depan."
Air mata menetes seketika, ingat setiap kali Ayah dan Ibu selalu membelikan aku barang-barang bagus tanpa melihat harga. Mereka selalu tersenyum bahagia ketika aku tertawa dengan riang gembira saat mendapatkan barang-barang itu dari mereka. Sungguh, aku salah atas sikapku tadi, aku yang egois kali ini. Demi seorang Shaka aku sampai lupa akan baktiku pada Ayah dan Ibu.
'Maafkan aku, Shaka. Mungkin setelah ini kamu akan menelan kekecewaan atas apa yang kita jalani selama ini,' gumamku dalam hati.
Ayah beranjak hadapanku dan Ibu setelah menumpahkan semua isi hatinya yang paling dalam untukku.
"Pikirkan baik-baik omongan Ayah tadi, Nak. Jangan anggap kami ini hanya memikirkan diri kami sendiri, cinta tidak selamanya bisa membuat orang bertahan hidup. Kamu harus hidup lebih baik dari kami, bagaimana pun caranya. Jangan hanya memandang cinta, kamu bisa yakin akan nasib seseorang bisa berubah." Papar Ibu sambil mengelus rambutku perlahan.
Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Yang ada di pikirku hanyalah Ayah dan Ibu saat ini, jika memang mereka merasa Rafka adalah pilihan terbaik untukku. Maka aku pun tidak bisa menolaknya, karena aku tau mereka pasti menginginkan yang terbaik untukku.
***
Apa yang harus ku lakukan setelah ini? Menghubungi Shaka saja rasanya sudah tidak sanggup. Pengumuman kelulusan juga masih lama, sedangkan waktu yang ku minta pada Om Permana hanya dua hari. Sebab Om Permana bilang, jika aku menerima lamaran Rafka. Maka pesta pertunangan ini akan di lakukan dalam beberapa hari kemudian, dan jika aku menolak. Aku dan Rafka berjanji untuk tidak saling bermusuhan, tetap melakukan komunikasi serta silaturahim yang baik seperti sebelumnya.
Baru beberapa saat mata ini ingin terlelap tiba-tiba dering handphone berhasil mengagetkan ku. Dengan terpaksa aku membuka mata dan menatap nama pada layar handphone ku itu, satu panggilan masuk dari Rafka. Mau apa lagi dia? Ini sudah malam dan aku sangat malas untuk berbicara apa pun malam ini, apalagi membahas persoalan tadi. Aku masih butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku. Jadi, biarlah ku abaikan dulu Rafka saat ini. Setelah pikiran agak tenang, besok akan ku hubungi dia lagi untuk ku ajak bertemu dan membahas masalah lamaran itu.