Chereads / Love Me Any More / Chapter 24 - Bab 24 Meminang Amaira

Chapter 24 - Bab 24 Meminang Amaira

Malam ini tepat dimana aku dan Papa akan meminang Amaira pada kedua orang tuanya. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi, sebelum pada akhirnya aku menyesal jika melihat Amaira bersanding dengan pria lain selain aku. Aku tidak perduli sama sekali jika saat ini ia tetap menjalin hubungan dengan Shaka, yang jelas aku harus lebih dulu meminta Amaira menjadi istriku sebelum si Shaka itu.

Urusan dengan Lily sudah selesai, awas saja dia jika tetap mengabaikan peringatan dariku. Apalagi jika nanti orang tua Amaira benar-benar akan menerima lamaranku. Tidak ada yang boleh tau tentang Lily maupun Alex, terutama Amaira beserta keluarganya. Sudah bertahun-tahun aku berusaha untuk merahasiakan tentang mereka berdua dari siapa pun. Bahkan para kerabat yang lain serta keluarga besar juga tidak ada yang tau tentang mereka.

"Kamu yakin mau meminang Amaira malam ini juga, Rafka?" Tanya Papa padaku yang sejak tadi sudah berdiri di ambang pintu sambil melihatku yang tengah bersiap-siap.

"Yakin dong, Pa." Ujarku sambil membenarkan kerah kemeja yang ku pakai, "Papa bisa lihat sendiri, kan! Rafka sudah sangat siap saat ini, untuk apa ragu. Rafka yakin keluarga Amaira tidak mungkin menolak pinangan Rafka," sambungku dengan penuh percaya diri.

Untuk apa ragu, jika mereka saja sudah pernah menyambutku dengan penuh kehangatan. Aku yakin, itu semua pertanda jika mereka menyukaiku dan senang karena melihat Amaira bisa dekat pria seperti aku. Jadi, aku tidak mau membuang-buang waktu dengan berfikir jika mereka tidak akan merestui hubungan kami.

"Hmmm ... Rafka, Rafka. Tapi ingat ya, Papa gak mau tanggung jawab, misal nanti mereka tau kalau kamu itu..."

"Stop, Pa. Berapa kali sih, Rafka harus bilang sama Papa agar tidak mengingat-ingat tentang itu. Papa gak mau lihat Rafka bahagia dengan pilihan Rafka ya!" Tekanku pada Papa.

Belum sempat Papa menyelesaikan ucapannya, tapi aku sudah menyanggahnya terlebih dahulu. Sebab aku tau, pasti Papa akan mengingatkan tentang Lily dan Alex meski sudah berulang kali ku katakan tidak perlu menghiraukan mereka berdua.

Yang terpenting saat ini adalah hubunganku dan Amaira bukan mereka berdua. Aku bosan dengan sikap Papa yang terus-terusan memojokkanku, seperti tidak pernah muda saja. Ambisi anak muda itu seperti sebuah darah yang masih hangat, jadi apapun inginnya pasti akan selalu berusaha untuk terpenuhi.

***

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya sampai juga pada tempat tujuan, yaitu rumah Amaira. Entah kenapa setelah menapakkan kaki di depan rumah Amaira, aku jadi merasa gugup dan gerogi. Padahal tadi saat di rumah biasa saja, bahkan yang ada hanyalah rasa senang karena akan segera mendapatkan apa yang selama ini ku inginkan.

"Assalamualaikum," ucap Papa saat berada di depan pintu rumah Amaira.

Aku berdiri di belakang Papa, karena tidak mungkin aku yang mendahului Papa untuk mengutarakan niat kedatangan kami malam ini. Dan lagi, aku seperti tidak sanggup berhadapan langsung dengan orang tua Amaira saking gugupnya. Apa memang begini ya, rasanya bertemu dengan calon mertua.

"Waalaikumsalam," jawab Ayah Amaira yang membukakan pintu, "lho, Rafka. Ayo! Silahkan masuk," sambungnya lagi, ia terlihat kaget saat melihatku berpakaian rapi dan datang bersama Papa.

Kedatanganku kali ini memang tidak mengabari siapa pun termasuk Amaira, sebab aku berencana untuk memberikan kejutan untuknya. Kejutan yang mungkin tidak pernah ia duga sebelumnya.

Aku dan Papa masuk mengikuti langkah ayahnya Amaira dari belakang. Sampai di dalam, Ibu sedang menonton televisi sambil mengupas bawang. Ruang tamu dan ruang keluarga di rumah Amaira memang berdampingan, dan hanya dibatasi oleh sofa dan kursi, jadi bisa terlihat jelas si pemilik rumah sedang apa. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ibu Amaira saat ini. Sama halnya dengan Ayah Amaira, dia juga kaget saat melihat kedatanganku dan Papa. Ia bangkit menuju ke dalam ruangan, yang mungkin itu adalah kamar yang di tempati Ayah dan Ibu

"Mari, Pak. Silahkan duduk." Ujar Ayah Amaira padaku dan Papa.

Tidak mau terlalu gugup, aku duduk di dekat Papa dengan tetap memperhatikan jarak. Agar terlihat tidak terlalu menempel pada Papa, apalagi aku seorang laki-laki yang tetap harus kelihatan gantle di depan calon mertua.

***

Hening, tidak ada pembicaraan antara orang tuaku dan Amaira. Kenapa Papa belum menyampaikan niatnya kedatangannya sih? Aku ingin segera tau jawaban dari kedua calon mertuaku ini. Lagi pula Ibu sudah bergabung dengan Ayah Amaira sejak tadi, bahkan Ibu juga menyajikan minuman untuk kami. Apa Papa masih saja ragu untuk meminang Amaira untukku?

"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Karena kedatangan kami yang secara tiba-tiba dan tidak mengabari terlebih dahulu," akhirnya Papa buka suara juga setelah sekian lama aku menunggu, tapi kenapa tidak langsung utarakan juga dengan niat kedatangan kemari agar tidak mengulur waktu terlalu lama. Agar orang tua Amaira juga segera tau maksud kedatangan kami kesini.

"Maksud kedatangan kami saat ini, ingin menyampaikan maksud baik kami, Pak, Bu. Yaitu anak saya ..." Papa menoleh ke arahku yang menunduk menyembunyikan rasa gugupku sedari tadi. "Anak saya Rafka ingin meminang anak Ibu untuk di jadikan calon istri, Pak." Sambung Papa melannjutkan perkataannya yang sempat terjeda.

Ekspresi keduanya tidak bisa ku tebak sama sekali. Mungkin saking kagetnya mereka karena secara tiba-tiba aku datang untuk meminta Amaira menjadi calon istriku.

"Mmm... Apa tidak terlalu dini ya, Pak. Apalagi mereka belum mendapatkan pengumuman kelulusan dari sekolah." Ujar Ibu Amaira yang kini juga ikut bersuara.

Semoga saja Papa bisa memberikan alasan yang tepat untuk persoalan satu ini. Aku tidak mau, hanya karena pengumuman kelulusan yang belum di dapatkan, mereka malah menolak lamaranku pada Amaira.

"Saya rasa tidak, Pak, Bu. Lagi pula ini hanya sebagai bentuk pengikat saja agar mereka berdua bisa menjalin hubungan yang serius, dan juga mereka berdua tetap bisa melanjutkan pendidikan mereka jika mau. Saya tidak akan memaksa untuk cepat menikahkan mereka berdua, selama keduanya belum mau." Ucap Papa dengan bijak.

"Good job, Pa. Ini yang ku harapkan dari Papa jika kedua orang tua Amaira merasa ragu untuk menerima lamaranku saat ini," batinku dalam hati

Kedua orang tua Amira saling menatap satu sama lain. Seperti menimbang-nimbang apa yang telah Papa katakan tadi, antara percaya dan tidak jika saat ini aku datang untuk meminta anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki.

"Kami merasa sangat terhormat sekali dengan niat baik yang Bapak sampaikan tadi, dan bahkan kami dengan senang hati menyambut niat baik ini, Pak. Akan tetapi alangkah lebih baiknya jika Amaira juga memutuskan apakah dia mau bertunangan dengan Rafka," ujar Ayah Amaira pada Papa.

Restu dari kedua orang tua Amaira sudah ku dapatkan, tinggal bagaimana respon Amaira terhadap lamaran ini. Aku yakin sedikit banyak Amaira pasti memiliki rasa yang sama denganku, meski dalam beberapa bulan terakhir dia sering menghindari komunikasi denganku.