"Amaira, cepat ganti baju. Dan ikut Ibu keluar," ujar Ibu padaku.
Untuk apa ganti baju, memang di luar ada siapa? Sampai aku harus mengganti baju segala. Padahal aku tengah asyik menonton drama korea kesukaanku, mengganggu saja. Lagi pula siapa sih tamu yang datang, tidak biasanya Ibu menyuruhku untuk bergabung dengan mereka.
"Untuk apa, Bu? Pakai mini dress gini aja ya, lagian cuma di rumah." Pintaku pada Ibu.
"Jangan, Ra. Di luar ada Rafka sama Papanya. Kalau cuma pakek mini dress begitu, malu. Kamu ini anak gadis loh, harus sopan depan tamu."
Hah? Rafka dan Om Permana ada di luar. Untuk apa mereka kemari, dan lagi kenapa Rafka tidak mengabari terlebih dahulu jika ingin berkunjung, malam-malam seperti ini pula. Atau jangan-jangan...
Ah, tidak mungkin. Dugaanku pasti salah, Rafka tidak akan berbuat senekat itu. Selama beberapa bulan terakhir aku sudah menjauh darinya, dan memutuskan untuk fokus pada hubunganku dan Shaka serta urusan kuliahku yang sebentar lagi akan di buka pendaftaran.
"Kok malah bengong sih, Ayok! Kamu sudah di tunggu sama Ayah dan Rafka juga papanya."
"Mereka ngapain ke sini, Bu. Ini kan sudah malam, ada perlu apa?"
"Nanti kamu juga tau, sekarang cepat ganti baju dulu sana. Jangan lama-lama, Ibu mau menemani Ayahmu dulu,"
Kenapa Ibu tidak beritahu saja sih, kalau begini aku jadi semakin penasaran dengan kedatangan mereka kemari. Lebih baik aku segera ke sana, agar rasa penasaranku bisa segera terjawab.
Aku pun melangkah menuju lemari mengambil sepasang baju dan rok selutut untuk ku pakai. Setelah itu, aku akan memenuhi permintaan Ibu untuk menemui Rafka dan juga Om Permana. Aku harap semoga pradugaku pada Rafka tidak benar, semoga saja dia ke sini hanya dengan tujuan silaturahmi saja.
***
Om Permana terlihat berbincang dengan Ayah sambil sesekali tertawa bersama, begitu pula dengan Rafka yang hanya bisa senyum-senyum menanggapi perbincangan antara Ayah dan Om Permana. Dengan langkah ragu, aku mulai berjalan mendekat ke arah mereka saat ini.
"Malam, Om. Hai, Ka" ujarku kala sudah bergabung dengan mereka.
Keduanya melihat ke arahku. Canggung, itu yang aku rasakan saat ini. Sejak memutuskan untuk menghindari Rafka, aku jadi salah tingkah saat harus berhadapan dengannya. Mungkin hal ini karena saking lamanya kami tidak berkomnuikasi, lain halnya dengan Rafka yang sejak tadi tetap tersenyum melihtaku.
"Malam juga, Amaira. Kamu apa kabar?"
"Baik, Om. Kalau Om sendiri?
"Baik juga," ujarnya. "Kamu kenapa tidak pernah main ke rumah Om lagi? Ada yang tiap hari pengen ketemu kamu loh, Ra!" Sambung Om Permana yang berhasil menggodaku.
"Hehe iya, Om. Amaira fokus sama ujian nasional kemarin, Om. Setelah libur, Amaira juga males kemana-mana. Jadi ya, di rumah saja selama liburan."
Hening, tidak ada yang bersuara lagi setelah itu. Baik kedua orang tuaku maupun Om Permana, sebenarnya kedatangan mereka kemari untuk apa, sih? Kenapa tidak ada satu pun yang mau menjelaskannya padaku. Sampai kapan harus berdiam diri seperti ini.
"Mmm ... Om sama Rafka tumben ya, bertamu ke sini malam-malam gini, apa ada sesuatu yang ingin di sampaikan sama Amaira?" Tanyaku memecah keheningan yang terjadi.
Karena sejak tadi ku lihat Ibu dan Ayah hanya saling memandang sama satu sama lain saat aku melihat ke arah mereka, sedangkan Rafka hanya tersenyum dan menunggu pembicaraan di mulai. Om Permana seperti melemparkan kode kepada kedua orang tuaku untuk mengatakan niat mereka kemari. Jadi, mau tidak mau aku yang harus bertanya terlebih dahulu.
"Alangkah lebih baikya, Pak Mulyono saja yang menjelaskan pada Amaira tentang maksud kedatangan kami, Pak. Lagi pula saya juga sudah mengatakannya secara langsung tadi kepada Bapak, bukan!" Ucap Om Permana pada Ayah.
Ku alihkan pandangan pada Ayah yang sejak tadi seperti bingung menyampaikannya, sampai-sampai Om Permana yang harus memberi kode terlebih dahulu.
"Jadi begini, Ra. Pak Permana ini bermaksud untuk meminang kamu untuk dijadikan calon istri untuk Rafka, Ayah dan ibumu sangat setuju dengan niat dari Pak Permana ini, akan tetapi mereka juga butuh jawaban dari kamu. Karena yang akan menjalani hubungan ini adalah kamu dan Rafka."
Apa? Jadi apa yang kupikirkan sejak tadi, itu benar! Tidak, aku tidak bisa menerima semua ini. Terlalu cepat bagiku, meski kedua orang tuaku menyetujui hubunganku dengan Rafka. Yang jelas mereka tau kalau aku menjalin hubungan dengan Shaka selama ini.
Bagaimana mungkin Ayah dan Ibu bisa memberikan restu begitu saja padaku dan Rafka tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Jika begini keadaannya, aku yang malu kepada Om Permana meski benar kedua orang tuaku masih menunggu jawaban dariku. Tapi ... Ah bagaimana caranya aku menolak Rafka, dan bagaimana aku menyampaikan apa yang ingin ku katakan ini pada Om Permana?
"Bagaimana, Amaira? Apa kamu mau sama anak Om ini, dari kemarin dia ngebet banget loh, minta Om buat cepet-cepet lamar kamu?"
Aduh, apalagi ini. Kenapa juga Rafka nekat melakukan hal semacam ini? Dan kenapa dia tidak mengatakannya terlebih dahulu padaku? Dia egois, dia hanya memikirkan perasaannya sendiri. Lagi pula kemarin aku lihat Rafka bersama seorang wanita dan membawa anak pula, tapi tidak mungkin juga sih jika wanita itu adalah pacar baru Rafka. Mana mungkin Rafka mau dengan wanita yang sudah memiliki anak, dengan Laura yang pernah jadi simpanan Om-om saja dia tidak mau.
"Mmm... Amaira butuh waktu, Om. Ini semua terlalu cepat untuk Amaira, dan lagi Amaira harus bicara terlebih dahulu dengan Rafka dan juga kedua orang tua Amaira. Om gak masalah kan, kalau Amaira tidak menjawabnya sekarang?" Tuturku pada Om Permana. Semoga saja dia bisa mengerti, aku hanya tidak ingin membuat dia malu di depan kedua orang tuaku jika saja aku menolak lamaran yang dia ajukan tadi.
Om Permana adalah orang terhormat bagiku bahkan untuk kedua orang tuaku pula. jadi untuk menolaknya, aku harus mencari alasan yang tepat hingga ia tidak merasa di rendahkan oleh sikpaku yang menolak keinginan anaknya itu.
"Ya sudah, jika begitu. Kalian bicarakan saja nanti bagaimana enaknya, karena Om hanya sebagai perantara anak Om saja. Jujur saja, Om sangat berharap kamu dan Rafka memang benar-benar bisa segera bersatu, Amaira. Melihat bagaimana kalian selama ini, membuat Om yakin jika wanita yang pantas mendampingi Rafka memang kamu."
Mendengar ucapan Om Permana yang demikian, aku jadi merasa bersalah. Harusnya aku tidak perlu dekat dengan Rafka dulu, agar dia tidak berfikir bahwa aku adalah wanita yang Rafka sukai. Kali ini penyesalan datang kala apa yang dikatakan Rafka benar-benar dia lakukan. Aku tidak menyangka, ternyata Rafka tidak main-main dengan kata-katanya selama ini.