Chereads / Love Me Any More / Chapter 22 - Bab 22 (Pov Rafka) Ingin Melamar Amaira

Chapter 22 - Bab 22 (Pov Rafka) Ingin Melamar Amaira

Sudah dua bulam lebih Amaira mengabaikanku, bahkan sejak pertemuan di Mall beberapa minggu lalu, dia tidak pernah lagi mau membalas pesan chatku. Bahkan panggilan biasa ataupun video call juga tidak pernah di angkat olehnya. Aku frustasi dengan keadaan ini, entah mengapa wanita seperti Amaira bisa membuat hidupku berantakan saat dia tidak kunjung bisa ditaklukkan.

Apa yang kurang dariku? Aku tampan dan tak kalah keren dari pacarnya Shaka, aku lebih bisa memberikan apa yang Amaira mau dari pada Shaka. Bahkan aku sudah sering kali memberikan perhatian lebih padanya. Tapi tetap saja, satu pun usahaku tidak ada yang berhasil membuatnya luluh dan menerimaku sebagai pacarnya. Apa aku perlu membuktikannya secara langsung? Dengan cara melamarnya, dengan begitu dia akan percaya kalau aku benar-benar tulus dan sangat mencintainya.

"Pa, aku mau melamar, Amaira." Ucapku pada Papa yang tengah membaca koran di halaman belakang rumah dekat kolam ikan.

Kebetulan hari ini Papa sudah tidak mengurus apapun di Sekolah karena libur panjang sudah tiba. Ujian nasional telah selesai dilaksanakan, tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja. Jadi aku dan Papa bisa bersantai di rumah.

"Kamu gak salah ngomong kan, Ka?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Papa malah berkata demikian.

"Ya, nggaklah, Pa. Aku serius, mau ngelamar Amaira."

Papa meletakkan koran yang ia baca tadi, meminum teh yang disediakan oleh pembantu sebelum memberikan jawabanya padaku.

"Papa sih gak masalah, Ka. Tapi, apakah Amaira mau menerima lamaran laki-laki yang sudah memiliki anak?"

Huh, lagi-lagi Papa menyangkut pautkan pada hal ini. Aku tidak ingin membahasnya. Anak itu bukan hal penting bagiku, hadirnya saja tidak ku harapkan. Jadi untuk apa ku pusingkan persoalan yang hanya akan membuat masa depanku kacau.

"Papa tidak perlu khawatir tentang itu. Bukankah selama ini kita sudah merasahasiakannya dari semua orang, dan belum tentu juga dia adalah anakku, Pa." Ujarku membela diri.

Masa lalu, untuk apa dikaitkan dengan masa sekarang. Yang lalu biarlah berlalu. Semuanya sudah usai, dan aku tidak ingin apa yang terjadi di masa lalu menjadi penghambat kebahagiaanku saat ini maupun nanti.

"Jangan bergitu, Rafka. Kamu tidak bisa terus-terusan melimpahkan kesalahan pada orang lain. Apalagi Rifki sudah lama meninggal, tapi tetap saja kamu tidak mau mengakui anak itu."

"Pa, ayolah! Jangan ungkit masa lalu, aku hanya ingin tenang menjalani hidupku. Jadi tolong, biarkan Rafka bahagia dengan pilihan Rafka. Papa hanya perlu meminta Amaira kepada kedua orang tuanya untuk menjadi tunanganku. Itu saja," Ucapku dengan tegas pada Papa.

Ya, beginilah aku. Bisa dikatakan aku adalah tipikal orang yang keras kepala dan pemaksa. Akan tetapi meski demikian, sisi positifnya aku tidak pernah menyerah dan selalu berusaha mendapatkan apa yang aku inginkan. Termasuk mendapatkan cintanya Amaira. Tidak peduli bagaimana pun caranya. Sebelum janur kuning melengkung, aku masih memiliki kesempatan. Apalagi aku sangat yakin, jika Shaka pacarnya itu tidak mungkin bisa membuktikan cintanya dengan cara melamar Amaira, sedangkan dia dari kalangan menengah ke bawah. Sudah bisa dipastikan kalau aku akan lebih unggul dari pada dirinya.

Papa masih tidak memberikan tanggapan atas permintaanku. Apa susahnya sih meminta anak orang dan merahasiakan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Toh Amaira dan kedua orang tuanya tidak akan pernah tau tentang masa laluku. Asal Papa tidak membeberkannya, tidak mungkin bukan, ada orang tua yang sengaja mengatakan aib anaknya sendiri!

"Baiklah, tapi ingat Rafka. Jika suatu saat terjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan, Papa tidak akan bertanggung jawab pada hubunganmu. Yang jelas Papa hanya menjalankan permintaanmu saja, seterusnya itu urusan kamu."

"Nah, gitu dong, Pa. Ini baru namanya Permana. Dari tadi kek, apa susahnya mengiyakan keinginan anak. Papa tenang saja, Rafka jamin semua yang Papa takutkan itu tidak akan pernah terjadi," tegasku meyakinkan.

Akhirnya Papa mau juga menuruti keinginanku, dengan begini aku tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan cara untuk mendapatkan Amaira, sekarang yang perlu aku fikirkan adalah bagaimana rahasiaku tetap aman dan Amaira maupun kedua orang tuanya tidak tau tentang rahasia itu.

"Lalu kapan rencananya Papa mau ke rumah Amaira?" Tanyaku pada Papa.

"Entahlah, Papa juga gak tau, menurutmu lebih baik kapan? Yang akan menjalani kamu bukan Papa, jadi Papa sih terserah kamu, Ka."

Benar juga ya! Yang akan menjalani hubungan ini aku, jadi aku bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk melamar Amaira. Lebih cepat lebih baik, toh kami sama-sama sudah dewasa dan sebentar lagi akan lulus. Meski aku tidak tau, apakah aku akan lulus atau tidak di ujian nasional ini. Ah sudahlah, itu bukan hal penting untuk difikirkan sekarang.

"Mmm...gimana kalo lusa, Pa. Lebih cepat lebih baik, toh aku dan Amaira sama-sama akan lulus dari SMA. jadi mau tunggu apa lagi!"

"Hah, Lusa?" Ucap Papa yang kembali meminum tehnya. "Kamu yakin mau secepat itu? gak mau nunggu pengumuman lulus terlebih dahulu. Terus, memang kamu yakin lamaran kamu akan diterima oleh kedua orang tuanya Amaira?"

Menunggu pengumuman lulus masih lama, sekitar setengah bulanan. Aku paling malas menunda-nunda sesutau yang bisa dilakukan secepatnya, apalagi sesuatu yang paling aku inginkan. Aku tidak ingin Amaira semakin lama menjalin hubungan dengan Shaka, apalagi yang ku tahu mereka menjalin hubungan sudah cukup lama, sekitar 3 tahunan, itu yang ku dengar dari David dulu ketika mereka masih dalam program pertukaran pelajar.

Soal orang tuanya Amaira mah gampang. Aku yakin mereka tidak akan menolak lamaranku, dari respon mereka saja sudah bisa ditebak, kalau mereka memang menyukaiku, buktinya saat aku berkunjung ke rumah Amaira dulu. Saat mengajaknya menonton dan jalan-jalan, cukup dengan membawakan beberapa makanan saja mereka sudah sangat senang. Apalagi meminta Amaira menjadi tunanganku, aku yakin seyakin-yakinnya kalau mereka tidak akan menolakku.

"Ya nggaklah, Pa. Nunggu kelulusan lama, Rafka mau secepatnya. Untuk kedua orang tuanya Amaira, Papa tenang saja. Aku yakin mereka tidak akan menolak lamaranku," ucapku penuh percaya diri.

"Percaya diri sekali kamu, Ka. Apa tidak sebaiknya kamu katakan dulu pada Amaira, kalau kamu akan melamarnya, setidaknya dia tidak merasa terkejut bila nanti kita datang ke rumahnya dengan niat melamar,"

"Urusan Amaira serahkan saja padaku, Pa. Yang perlu Papa lakukan hanyalah memintanya pada kedua orang tuanya saja. Sudah itu saja, yang lain biar Rafka yang urus nanti."

Papa hanya menggeleng mendengar penuturanku. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman, hati berbunga-bunga dan sebentar lagi keinginanku akan benar-benar tercapai.

Drtt... Drtt...

Baru saja merasakan puncak kesenangan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ku lihat nama pemanggil di layar ponselku, yang ternyata dari lily. Untuk apa dia menghubungiku lagi. Kemarin sudah ku berikan uang padanya, tapi masih saja menghubungiku, tidak ada habisnya dia selalu mengganggu hidupku. Seketika moodku rusak gara-gara dia, ku kira tadi Amaira yang menelvon.