Akhirnya, setelah sekian lama berbincang-bincang dan bergurau dengan Rafka juga papanya tadi. Aku dan teman-temanku bisa pulang juga, mereka juga sempat makan di rumah Rafka. Dan tanpa malu, mereka malah mengiyakan tawaran Om Permana untuk makan siang terlebih dahulu.
Adit dan David mengelus perut mereka yang sudah terisi penuh. Tidak salah sih, jika mereka sampai merasa kekenyangan seperti itu. Makannya saja tadi sampai menghabiskan 3 piring, aku hanya bisa menahan malu saat Rafka dan Om Permana mendengar sendawa mereka berdua. Mereka memang tidak merasa malu, tapi tidak denganku. Apalagi yang mengajak mereka ke rumah Rafka adalah aku.
Baru saja aku melangkah keluar dari rumah megah Rafka, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara yang tidak asing bagiku. Suara yang seringkali bersikap posesif padaku.
"Amaira..." Panggil seseorang dari kejauhan. Aku tersentak dan menoleh kearah asal suara itu.
Dia berjalan menghampiriku, detak jantung ini rasanya semakin kencang. Ketika tau yang memanggilku tadi adalah Shaka, dia sudah berganti pakaian biasa. Tidak memakai seragam Sekolah SMA. Tunas Bangsa. Akan tetapi, yang jadi pertanyaannya adalah untuk apa Shaka disini? Ada keperluan apa dia di Kompleks dekat rumah Rafka? Tidak mungkin dia mengikutiku, kan? Jika memang benar dia mengikutiku, sudah pasti dia tidak akan sempat untuk berganti pakaian.
Aku masih merasa ambigu dengan kehadiran Shaka yang begitu tiba-tiba. Adit dan David pun sempat melongo juga, menandakan mereka juga penasaran dengan keberadaan Shaka yang saat ini berada disatu kompleks yang sama dengan rumah Rafka.
"Kok malah bengong sih, Ra. Kenapa?" Tanya Rafka yang saat ini sudah berhadapan denganku.
"Mmm.... Nggak papa kok, Ka. Cuma kaget aja, kamu kok bisa ada disini, ngapain?"
"Oh itu, aku habis dari rumah sebelah. Buat bersiin kebun dihalamannya. Jadi setiap pulang Sekolah, aku pasti kesini. Setelah nganter kamu pulang. Itung-itung cari uang sendiri, Ra. Dari pada ngandelin gaji Bapak yang gak seberapa. Lumayan juga buat jajan sama beli bensin. Kebetulan yang punya rumah sebelah ini, teman Bapak di Sekolah. Dia udah jadi PNS sejak lama, sebelum Bapak jadi guru di Sekolah itu. Dan lagi, dia lumayan dekat sama Bapak, kebetulan juga dia lagi butuh pekerja gitu buat bersiin pekarangan rumah sama kebun. Jadi ya, aku mengajukan diri buat ngerjain itu semua."
Penjelasan yang sangat detail dan terperinci dari Shaka, membuatku terperangah mendengarnya. Entah kenapa hati ini rasanya makin iba pada Shaka, dia tidak gengsi untuk bekerja sebagai tukang kebun, dan dia juga tidak merasa malu sama sekali saat harus memberitahuku.
Berdosa sekali aku padanya, yang seringkali berbohong dan selalu marah padanya karena terlalu posesif padaku. Ada rasa sesal yang mulai hadir kembali, aku yang selalu merasa menjadi wanita kurang beruntung telah mendapatkan laki-laki seperti Shaka, yang tidak memiliki apa-apa. Tapi kali ini, usahanya untuk mendapatkan uang dengan hasil jerih payahnya sendiri membuatku sadar, jika aku tidak pernah bersyukur memilikinya sebagai pacarku.
"Kamu gak malu, Ka. Kerja begituan?" Tanya Adit yang asal saja dengan pertanyaannya. Tapi yang ditanyakan Adit memang benar, dan semua itu mewakili isi hatiku juga.
"Ya nggaklah, ngapain malu. Aku gak nyuri, aku dapat uang halal dari pekerjaan ini. Meskipun memang terlihat sangat rendahan di mata para siswa seperti kita ini, lagi pula tidak selamanya aku akan mengandalkan orang tuaku terus yang hanya memiliki gaji dari hasil guru honorer. Gak seberapa, bahkan untuk seminggu pun gak cukup."
Antusias Shaka benar-benar menggugah hatiku. Andai aku tau sejak lama, sudah pasti aku tidak akan menyusahkan dia terus. Mengantar jemputku sekolah bukanlah hal yang mudah dan bisa dia lakukan semaunya, semua itu butuh uang. Biaya bensin yang dikeluarkan tidak sedikit, serta tenaga yang dibutuhkan juga membutuhkan kesabaran extra. Karena jarak tempuh yang tidaklah dekat dengan sekolah, apalagi saat ini aku sedang menjalani pertukaran pelajar yang mengakibatkan Shaka harus bolak-balik kesana kemari demi aku. Bahkan ditambah lagi dengan motor bapaknya yang dijual, hingga ia pun harus mengantar bapaknya terlebih dahulu, baru setelah itu mejemputku.
Untung saja pagi tadi aku sudah menyuruh Shaka untuk tidak lagi mengantar dan menjemputku besok, dengan begini aku bisa sedikit mengurangi bebannya.
"Kamu sendiri ngapain disini, Ra? Apa kerja kelompoknya baru selesai? Terus, ini rumah siapa?" Pertanyaan Shaka benar-benar komplit. Aku sampai lupa, jika aku dan yang lainnya masih berada di depan rumah Rafka.
Aku menggigit bibir bawahku, mencari alasan apa yang akan ku berikan pada Shaka. Meski siang tadi aku sudah sepakat dengan David dan Adit untuk mengatakan pada Shaka, jika kami akan melakukan kerja kelompok setelah pulang sekolah. Tapi tidak mungkin juga aku mengatakan kalau kerja kelompok itu dilakukan di rumah Rafka, sebab Shaka sangat tidak menyukai bila aku dekat dengan Rafka.
"Kok gak dijawab sih, Ra. Ini juga sudah sore banget loh! Apa mau ku antar pulang sekalian, kerjaanku juga sudah beres."
"Mmm...iya, aku kerja kelompoknya disini sama Adit dan David. Ini rumahnya..." Aku melirik ke arah Davida dan Adit seolah meminta persetujuan mereka, harus ku jawab apa pertanyaan Shaka tadi.
"Rumahnya Raf..." David mencubit lengan Adit dengan keras hingga ia meringis seperti menahan sakit.
"Rumahnya Indah, Ka. Dia teman satu bangkunya Amaira, jadi tadi sepulang Sekolah kami sepakat untuk mengerjakan tugas kelompok disini." Tutur David menjelaskan apa yang Shaka tanyakan tadi.
Untung saja David mengerti kode dariku. Jika tidak, Adit sudah berhasil memberi tahukan kalau disini rumah Rafka. Memang dasar tidak peka itu anak, diberi kode malah hampir keceplosan.
"Oh gitu, ya udah ayok, Ra. Aku antar kamu pulang sekarang. Sebelum kemaleman," ajak Shaka padaku.
"Gak usah, Ka. Aku sama David aja, lagi pula tadi berangkatnya juga sama dia." Tolakku secara halus.
Aku tidak ingin menjadi beban lagi untuk Shaka, dia sudah berjuang banyak hal untuk hidupnya. Dan selama ini aku selalu saja mengeluh saat hubunganku tidak sama dengan yang lain. Weekend jalan-jalan, dibelikan ini itu sama pacar, tanpa tau keadaan Shaka yang seperti ini. Menjadi tukang kebun di salah satu rumah teman bapaknya, pekerjaan yang menurutku tidak cocok sama sekali dengan status Shaka sebagai seorang siswa.
"Udah, sama aku aja. Mulai besok aku kan udah gak nganter jemput kamu, anggap aja ini yang terakhir."
Aku menimbang-nimbang permintaan Shaka yang masih kukuh untuk mengantarku pulang. Perkataan Shaka ada benarnya juga, momen-momen saat di jalan berboncengan dengan Shaka akan menjadi hal yang paling ku rindukan kedepannya. Walaupun aku dan dia masih tetap berada dalam satu sekolah yang sama. Toh sebentar lagi pertukaran pelajar akan segera berakhir.
"Ya udah deh," ujarku ku pada Shaka. "Vid, aku pulangnya sama Shaka ya! Kalian berdua hati-hati jangan ngebut-ngebut kayak tadi." Pesanku yang menyindir kelakuan David di jalan yang kadang membuat jantung mau copot saja.
"Hehehe Oke, Ra. Tenang aja, udah pengalaman kok."
Shaka mengambil motornya dari rumah sebelah dan menghampiriku lagi, saat aku ingin naik ke atas motor Shaka ada suara seseorang yang memanggilku lagi.
"Amaira..." aku pun menoleh pada asal suara tadi.
Oh tidak, itu Rafka yang memanggil. Aku harus segera pergi dari sini segera, David dan Adit juga mendengar panggilan dari Rafka, tapi sepertinya Shaka tidak mendengarnya.
"Siapa, Ra? Kayaknya ada yang manggil kamu deh!"
Hah, jadi Shaka juga mendengarnya. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Kalau sampai Shaka tau, aku sudah membohonginya, pasti dia akan marah besar dan sakit hati karena telah ku bohongi.