Aku dan Rafka bercanda gurau, begitu pula dengan David dan Adit yang sesekali ikut menimbrung pembicaraan kami. Membicarakan soal mata pelajaran Matematika yang sangat membosankan, namun karena gurunya tampan jadi tidak merasa mengantuk sama sekali. Rafka tetlihat kesal saat aku menceritakan hal itu, mungkin dia merasa tersaingi saat ku bilang guru yang mengajar matematika di Nusa Bangsa itu lumayan tampan.
Kami beralih pada mata pelajaran fisika, yang dipegang oleh Pak Tono. Seorang guru senior yang menurutku usianya belum cukup tua, namun masih menjomblo alias tidak memiliki istri. Penampilannya sangat Cupu dan sedikit jorok menurutku, setiap kali mengajar selalu saja mengorek hidung ataupun telinganya didepan para siswa. Bukannya mau mecela guru, tapi itulah kenyataannya. Selain mata pelajarannya yang membosankan dan ditambah dengan tingkah Pak Tono yang seperti itu, membuatku jadi malas untuk mendengarkan penjelasannya.
"Tapi dia baik loh, Ra. Gak pelit sama nilai, terus dia itu salah satu guru yang gak pernah ngasih kita ulangan harian. Beda lagi nih, sama guru matematika itu. Tampan sih emang, tapi sering ngasih ujian dadakan." Ujar Rafka yang lebih memilih pelajaran fisika karena orangnya memang baik.
Ya, aku akui yang dikatakan Rafka memang benar adanya. Tapi setidaknya penampilannya itu menggambarkan kalau dia benar-benar guru yang profesional dan peduli dengan penampilan, tidak seperti pak Tono.
"Iya bener kata Rafka, aku juga setuju. Lebih baik Pak Tono dari pada Pak Reza, biarlah penampilannya begitu. Yang penting aku padanya." Lagi-lagi Adit juga menyukai Pak Tono ketimbang Pak Reza yang mengajar matematika.
Tidak heran juga sih, mereka sama-sama laki-laki yang tidak akan terpengaruh oleh ketampanan guru siapa pun itu. Coba kalau gurunya cewek, sudah pasti lebih memilih yang cantik bukan!
"Gak, pokoknya aku tetep gak suka sama Pak Tono. Kalian lebih milih Pak Tono, karena kalian juga cowok. Gak mungkin punya ketertarikan sama yang tampan kayak Pak Reza. Yang jelas aku tetap sukanya Pak Reza."
"Oo jadi gitu, kamu lebih suka sama Pak Reza. Ok, aku akan ubah penampilanku sama seperti Pak Reza, biar kamu gak nolak aku lagi."
Hah? Enggak gitu juga kali, meski pun benar aku mengukai style Pak Reza, tetap saja hanya sebatas suka penampilannya. Bukan menyukai orangnya dengan perasaan, lagi pula mana mungkin aku mau dengan Pak Reza. Usianya pasti agak jauh dariku, dan pastinya dia tidak mungkin jomblo. Orang setampan dia pasti sudah memiliki pacar atau pujaan hati.
"Hahahaha..." David dan Adit serentak menertawakan Rafka secara bersamaan.
Saking asiknya bercerita, kami sampai tidak mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar Rafka. Om Permana masuk dan membuyarkan perbincangan diantara kami.
"Loh, kok banyak tamu. Teman-teman Rafka ya?" Tanya Om Permana saat sudah masuk ke dalam kamar Rafka.
"Iya, Om. Jenguk Rafka, soalnya gak masuk sekolah hari ini," jawab Adit yang sepertinya terlihat malu-malu didepan Om Permana.
Aku mengalihkan pandangan pada seseorang yang berada dibelakang Om Permana, begitu pula dengan teman-temanku dan juga Rafka. Dia adalah Laura, bukannya Pak Yanto sudah membawa dia pergi tadi, kenapa masih kembali lagi? Bener-bener gak ada kapoknya ini anak. Tapi yang ku heran, bagaimana bisa dia masuk bersama Om Permana?
"Oh begitu. Oya ini juga temen kamu kan, Ka. Tadi Papa lihat dia berdiri didepan pintu gerbang. Karena seragam sekolahnya sama dengan kamu, jadi Papa nanya. Ternyata benar katanya dia temen kamu. Ya sudah, Papa ajak masuk sekalian."
Ya ampun, jadi begitu ceritanya. Sungguh Laura adalah orang yang paling menyebalkan yang pernah ku temui. Keras kepala, tidak punya malu, dan suka memaksa. Terbuat dari apa sih pikiran sama hatinya. Bisa-bisanya dia masih berdiri didepan rumah Rafka, kenapa tidak pulang saja. Sudah jelas tadi Rafka bilanth, tidak ingin melihat dia menginjakkan kaki di rumah ini lagi.
"Papa ngapain sih ngajak dia masuk. Dia udah Rafka usir, Pa. Dia cuma buat keributan disini. Rafka susah-susah ngeluarin dia dari rumah ini, eh Papa malah bawa balik lagi."
Om Permana mengerutkan dahi mendengar perkataan Rafka. Dia pasti merasa aneh karena Rafka bersikap seperti itu pada Laura, aku dan teman-teman tidak berani menimpali ucapan Rafka barusan. Kami hanya tamu disini, sama halnya dengan Laura. Jadi lebih baik diam saja, biarlah Rafka yang menjelaskan semuanya pada Om Permana.
"Rafka, please. Jangan permalukan aku didepan Papa kamu. Niatku baik disini, tapi kamu malah ngusir aku dan gak mau nerima aku disini."
"Aku gak pernah merasa mempermalukan kamu, Laura. Kamu sendiri yang gak tau malu masih kembali kesini. Sudah buat keributan, malah balik lagi. Bener-bener gak punya malu sama sekali ya kamu!"
"Yang buat keributan itu mereka, Rafka. Bukan aku, mereka yang gak tau malu nyamperin kamu kesini, dengan alasan mau jenguk kamu. Gak taunya pasti ada maksud lain."
Lah, kenapa malah aku dan teman-temanku yang disalahkan. Dari tadi kami baik-baik saja, sebelum dia datang kembali. Yang buat ribut juga dia, dengan tidak ada hentinya mengoceh dan mencaci kami. Aku dan teman-temanku malah dituduh yang tidak-tidak oleh si mak lampir ini.
"Sudah-sudah, kenapa jadi ribut begini? Sebenarnya ada apa Rafka? Kenapa kamu usir dia, bukankah kalian teman?"
"Iya, Om. Kami memang teman, tapi lebih dari hanya sekedar teman. Saya pacarnya Rafka, Om." Jelas Laura dengan penuh percaya diri.
Astaga, aku tidak tau mau berkata apa lagi tentang Laura. Percaya diri sekali dia mengenalkan diri pada Om Permana dengan sebutan pacar. Padahal jelas-jelas dia dan Rafka sudah putus sejak satu bulan lalu.
"Eh jangan ngaku-ngaku ya! Gak sudi aku punya pacar simpenan om-om kayak kamu. Jadi orang jangan terlalu percaya diri deh,"
Raut wajah Laura menegang saat mendengar ungkapan Rafka yang mengatakan secara terang-terangan kalau Laura adalah simpanan Om-om. Aku dan yang lainnya menyunggingkan senyum simpul pada Laura yang terlihat kesal. Habisanya jadi orang malah punya tingkat percaya diri tinggi banget sih. Kalau sudah begini, apa dia tidak merasa malu karena sekarang papanya Rafka tau kalau Laura bukan wanita baik-baik.
"Simpanan Om-om, maksudnya gimana sih, Ka?" Ujar Om Permana yang mulai penasaran dengan cerita yang sesungguhnya.
Rafka meraih handphone yang ada disampingnya. Mencari sesuatu yang sepertinya ingin ia tunjukan pada Om Permana, agar tau dengan jelas apa yang dimaksudnya tadi.
"Ini, Papa lihat sendiri. Dia itu bukan perempuan baik-baik, Pa. Dari tadi dia cuma bikit ribut aja disini, ngehina temen-temen Rafka, dan malah nuduh yang enggak-enggak sama mereka. Padahal yang ada maunya itu dia, Pa. Mungkin Om yang biasa nyewa dia udah bosen, makanya gak punya pendapatan lagi. Jadi mau deketin Rafka lagi." Tutur Rafka pada Om Permana yang masih fokus memandangi foto Laura dan pria yang bersamanya difoto itu.