Chereads / Love Me Any More / Chapter 15 - Bab 15 Ternyata Laura

Chapter 15 - Bab 15 Ternyata Laura

"Keluar dan pergi dari sini. Kalau nggak, aku akan panggil satpam biar kamu diseret paksa keluar dari rumah ini."

Astaga, ternyata perempuan yang ngemis-ngemis pada Rafka dari tadi adalah Laura. Apa dia tidak malu? Sudah diusir tetap saja ngotot gak mau pergi juga. Dimana harga dirinya sebagai seorang perempuan? Aku saja yang mendengar perbincangan mereka sejak tadi, sangat merasa malu sebagai sesama perempuan.

"Nggak mau, Rafka. Aku mau nemenin kamu disini, aku akan ngerawat kamu sampai sembuh. Supaya kamu tau, kalau permintaan maafku benar-benar tulus dan mau memperbaiki semuanya dari awal."

Rafka dan Laura belum menyadari kedatanganku bersama David dan Adit. Saking asiknya mereka berdebat sedari tadi.

Melihat tingkah Laura yang bergelayut pada lengan Rafka, aku semakin percaya, kalau dia benar-benar perempuan tukang rayu. Anehnya, dia sama sekali tak merasa malu atau harga dirinya diinjak-injak. Meski sudah dicaci maki oleh Rafka.

"Lepasin! Murahan banget sih jadi cewek." Rafka menghempas jeratan tangan Laura dilengannya. Tapi. Tetap saja, Laura berusaha menggaet kembali lengan Rafka.

"Ehemm..." Aku menoleh kearah David, untuk apa sih dia berdehem segala. Kan jadi canggung. Apalagi situasinya sedang tidak baik-baik saja. Tapi jika dibiarkan begini, kami hanya akan jadi penonton perdebatan mereka berdua.

"Amaira." Sontak Rafka menoleh kearahku, dan Laura juga mengikuti arah mata Rafka memandang saat ini.

Lebih tepatnya, Laura terlihat tidak senang dengan kedatanganku. Semua itu tampak jelas saat sorot matanya bertatapan denganku. Apalagi kemarin kami sempat terlibat cekcok, gara-gara dia menuduhku telah merebut Rafka darinya. Padahal, aku sama sekali tak memiliki hubungan apa-apa dengan Rafka.

Laura semakin mengencangkan pegangannya pada lengan Rafka. Sontak saja, Rafka menghempas tangan Laura begitu keras. Hingga ia jatuh tersungkur kelantai. Laura menringis kesakitan, aku saja yang melihatnya pasti sangat sakit. Karena Rafka menghempasnya sangat kuat.

Rafka hendak berdiri dan menghampiriku. Namun sebelum ia melakukannya, aku segera menghampirinya. Kemudian, meletekkan buah yang ku bawa diatas meja kecil disamping tempat tidurnya.

"Udah, jangan banyak gerak dulu. Kamu kan lagi sakit." Ucapku pada Rafka, yang tertegun melihat sikapku yang begitu lembut padanya.

"Makasih ya, Ra. Kamu udah ngeluangin waktu jengukin aku kesini, aku seneng kamu disini, Ra." Aku pun mengangguk tersenyum mengiyakan ucapan Rafka.

Akan tetapi, tidak dengan Laura, yang sepertinya sangat marah padaku. Karena perhatian Rafka teralihkan padaku, ia berusaha bangkit dari duduknya. Raut wajahnya sangat jelas kalau saat ini dia sedang kesal, seperti ingin memakanku saja. Semoga saja dia tidak membuat keributan disini.

Jangan sampai om Permana datang, dan mendengar perdebatan yang terjadi. Kalau sampai Laura benar-benar membuat keributan, jika ia tidak merasa malu. Tetap saja, aku yang merasa malu, jika harus cekcok di rumah ini dengannya.

"Heh, lonte. Ngapain sih lo, kesini! Mau caper sama Rafka, iya?"

Astaga, mulut wanita satu ini emang gak bisa dikontrol ya. Asal ceplas-ceplos aja kalau ngomong. Apa dia tak malu sama sekali? Yang caper disini bukan aku, tapi dia. Rafka saja sampai mengusirnya beberapa kali, tetap saja Laura tak mau pergi. Apa memang tubuhnya terbuat dari lem ya? Sampai lengket sekali untuk keluar dari rumah ini. Iya, sih. Ini bukan rumahku, tapi tuan rumah sudah tidak mau menerimanya lagi. Jadi untuk apa dia masih disini.

"Jaga ucapan kamu, Laura. Yang lonte itu, kamu. Bukan Amaira, gak ngaca apa? Udah jalan sama om-om, masih aja ngomong lonte sama orang. Sadar diri dong." Belum sempat aku membela diri, Rafka sudah terlebih dahulu membelaku didepan Laura. Rasain tuh, emang enak.

"Kamu jangan tertipu sama dia, Rafka. Didepan kamu saja dia sok kalem dan sok jual mahal. Kalau dibelakang mah, kelakuannya pasti lebih parah dari pada aku. Bisa aja kan! Dia udah bolong, alias gak perawan."

Wih parah, kali ini aku tak bisa sabar lagi menghadapi nenek lampir satu ini. Kata-katanya benar-benar kelewatan, ngatain orang seenaknya saja. Bahkan menuduh tanpa bukti apapun.

"Yang bolong itu elo, bukan gue nenek lampir. Yang jadi simpenan om-om kan elo, bukan gue. Kalau punya mulut tuh dijaga, disekolahin kalau perlu. Biar gak asal nyerocos aja taunya."

"Hah, liat sendiri, Ka. Dia aja bisa ngelawan kata-kataku, sangat jelas kalau kelakuannya pasti lebih buruk dari aku."

Dia fikir, cuma dia aja yang bisa ngomong sesuka hati. Tidak mungkin aku hanya diam saja, saat dia mengataiku sudah tak perawan lagi. Enak saja dia bilang aku tidak perawan, selama pacaran dengan Shaka saja, aku belum pernah tuh, melakukan hal bodoh dengan memberikan kehormatanku pada Shaka, ciuman saja tidak pernah. Apalagi sampai melakukan dosa seperti yang dia katakan tadi. Geram sekali aku sama Laura ini, andai tidak didepan Rafka, sudah ku tabok tuh mulut, biar berhenti nyerocos kayak mercon.

"Lah, gimana gak ngelawan. Kalau dicaci maki sama cewek yang emang jelas-jelas jadi lonte, tapi malah nuduh orang lain yang lonte. Gue aja yang cowok enek banget sama omongan lo, Mak Lampir."

Kali ini bukan aku saja yang angkat bicara, tapi David juga membelaku. Syukurlah, punya temen yang peduli dan mau belain temennya, yang dari tadi gak ada habisnya dicaci maki.

"Eh, diem ya lo. Gue gak ada urusan sama lo, muka aja pas-pasan. Sok-sokan jadi pahlawan kesiangan, tapi emang ya! Murid dari sekolah yang sama emang gak ada bedanya sih. Sama-sama bad attitude."

"Lama-lama ngelunjak ni cewek ya! Andai Lo bukan cewek, udah gue gampar lo."

Aku, David dan Rafka fokus pada perdebatan antara David dan Laura. Kenapa malah mereka yang cekcok? Padahal tadi Laura sangat antusias dengan caci makiannya padaku. Tapi memang dia sangat keterlaluan sih, ngomong kayak gak direm sama sekali. Sampek bawa-bawa sekolah lagi. Ini jelas sudah sangat keterlaluan.

"Huh, pengecut. Jangan kira, karena gue cewek, gue bakalan takut sama lo. Cowok bobrok, dan miskin, udah gitu tampang mirip genderwo kayak lo tuh emang beraninya cuma sama cewek doang."

"Wah, bener-bener nih si Mak Lampir. Harus gue kasih pelajaran ya lo, biar kapok."

David melangkah hendak menghampiri Laura. Untungnya Adit segera sigap menahan David yang sangat emosi mendengar kata-kata Laura. Ucapannya benar-benar tidak terkontrol, berani sekali dia ngomong seperti itu didepan cowok.

"Udah, Vid. Sabar, jangan didengerin. Cewek kayak dia emang gak bisa ditanggepin omongannya. Jangan gegabah." Adit terlihat memegang bahu David, agar tak melanjutkan aksinya.

"Naik pitam gue, sama omongan Mak Lampir kayak dia, gak dikontrol sama sekali tau gak! Bikin telinga panas aja."

Yah, memang. Aku saja yang mendengarnya bisa-bisa kena darah tinggi. Apalagi David, yang dicaci habis-habisan sama Laura. Laura melipat kedua tangannya didada. Memperlihatkan kesongongan yang hakiki, bahkan dia tak berniat untuk minta maaf sama sekali padaku maupun David. Terbuat dari apa pikiran dan hatinya? Hingga sangat sombong seperti itu.