[Bener, kata David kamu ada kerja kelompok hari ini?]
Baru saja aku akan duduk di meja kantin dengan David dan Adit yang sudah menunggu disana. Tiba-tiba notifikasi pesan dari aplikasi WhatsAppku berbunyi. Dan ternyata, pesan itu dari Shaka. Bagus, cepat sekali David bertindak.
[Iya, aku ada kerja kelompok hari ini. Jadi, kamu gak perlu jemput aku nanti siang ya!]
[Gimana kalau aku jemput kamu setelah pulang dari kerja kelompok?]
[Gak perlu, tugasnya agak banyak. Apalagi harus disetor besok, jadi mungkin sampek sore baru pulang]
[Ya sudah, kalau begitu, kamu hati-hati ya!]
Yes. Akhirnya berhasil membuat Shaka percaya kalau aku akan melakukan kerja kelompok nanti siang. Ternyata, ada untungnya juga ya! Aku mengajak David dan Adit. Dengan adanya mereka, aku bisa terbantu untuk mendapatkan alasan menolak Shaka menjemputku siang nanti. Tak rugilah aku mentraktir mereka hari ini, kerja mereka benar-benar terbukti.
"Eh, Shaka udah percaya, kalau nanti siang kita ada kerja kelompok."
Aku memberi tahu David dan Adit yang tengah menikmati makanannya. Tanpa menghiraukan aku sejak tadi. Kalau sudah ada makanan saja, pasti sampai lupa diri.
"Iya, dong. Siapa dulu aktornya, David!" Sok percaya diri sekali dia, padahal tadi nyalinya sempat menciut.
"Iyaya, emang jago deh kalau udah ada traktiran,"
David dan Adit nyengir, mendengar ucapanku. Aku pun mulai memakan makananku, yang sejak tadi belum tersentuh sama sekali. Karena masih membalas pesan dari Shaka.
***
Bel pun berbunyi, pertanda pergantian jam istirahat sudah usai. Aku meninggalkan David dan Adit yang sedang asik berguyon sejak tadi, tanpa pamit. Langsung saja ku tinggalkan mereka. Makanan sudah ku bayar, jadi tinggal masuk kelas saja.
Aku sampai lupa, kalau aku belum membeli apa-apa untuk dibawa ke rumah Rafka. Akan ku ajak David dan Adit untuk mampir membeli buah nanti, saat akan berangkat ke rumah Rafka.
Jam pelajaran pun dimulai. Hari ini sepertinya akan ada jam kosong, karena sejak tadi tak ada guru yang masuk. Apalagi, tadi aku sempat mendengar kalau para guru, akan mengadakan rapat untuk persiapan Ujian Nasional untuk kelas akhir.
Tak terasa, sudah hampir selesai juga pertukaran pelajar di sekolah ini. Rasanya baru kemarin, aku berada di sekolah ini. Gak taunya, sudah mau usai saja. Dulu, aku sempat menolak untuk ikut pertukaran pelajar, karena akan memisahkan jarak antara aku dan Shaka. Namun, Pak Santoso yang menjadi wali kelasku berkata. Bahwa itu semua sudah keputusan dari pihak sekolah, jadi siswa yang ikut pertukaran pelajar tak bisa membantah. Mau tidak mau, ya tetap harus dijalani.
Aku memilih untuk bermain ponselku, toh sedang tak ada guru. Teman-temanku yang lain banyak yang memilih tidur, tapi aku malas saja jika tidur saat jam kosong seperti ini. Karena setelah bangun dari tidur, penampilan jadi berantakan, belum lagi muka kusut dengan mata merah saat bangun. Membayangkannya saja, sangat ogah.
Ya, aku memang sangat menjga imageku. Apalagi di sekolah ini. Sekolah yang bukan tempat sebenarnya aku belajar, istilahnya hanya menunpang. Begitu pula dengan sekolah di tempatku yang biasa, yaitu Tunas Bangsa. Aku juga sangat menjaga image disana karena ada Shaka, aku tak mau terlihat jelek didepannya bahkan didepan murid lainnya.
Sedang asik bermain ponsel, Adit menghampiriku dan duduk di bangku kosong sebelahku. Tempat duduk yang biasanya ditempati oleh Rafka ataupun Indah, sejak hari dimana Indah disuruh pindah oleh Rafka, dia tak lagi duduk denganku. Mungkin karena takut ditegur lagi oleh Rafka.
"Kamu tau gak, alamat Rafka, Ra? Jangan hanya rencana saja, pas jalan nanti malah gak tau dimana tempatnya." Adit memecah keheningan yang sejak tadi terjadi, karena kebayakan siswa tidur dan aku hanya memainkan ponselku.
"Taulah, gak mungkin aku ngajak, kalau belum gak tau alamat rumahnya Rafka."
"Emang kamu pernah kesana?"
"Pernah, beberapa hari lalu. Rafka ngajak aku jalan, dan mampir ke rumahnya. Terus, kenalan deh sama papanya."
"Nah lho, udah pernah diajak jalan, masak iya cuma temenan. Udahlah, Ra. Ngaku aja, kalau kalian ini emang pacaran. Kenapa sih, harus bohong segala."
Aku menghel nafas panjang, dan meletakkan ponsel dalam tas. Jika sudah berbicara soal Rafka, maka aku harus menjelaskannya secara terperinci pada Adit. Aku tak mau dianggap pacaran terus olehnya maupun David, meski saat ini hanya Adit saja yang menghampiriku.
"Gak pacaran, Adit. Weekend kemarin, Rafka ngajak nonton. Dari pada bosen di rumah terus, mending iyain aja ajakan Rafka. Toh, gak ada ruginya, kan! Kamu tau kan, Rafka itu tipikal cowok yang royal. Terus setelah nonton, dia ngajak aku buat mampir ke rumahnya. Ya udah, sekalian kenalan sama Papanya. Gitu ceritanya."
"Royal si cuma sama cewek yang disuka, Ra. Lagian kenapa sih, gak diterima aja tu si Rafka jadi pacar kamu. Kan lumayan punya cowok tajir."
"Nggaklah, gak mungkin aku ngehianatin Shaka. Kasian dia. Selama ini, dia udah banyak berjuang. Bahkan rela maksa bapaknya buat beli motor, supaya bisa antar jemput aku."
"Itu sih, gak ngaruh. Kalau ada yang lebih baik, kenapa nggak. Kalau aku jadi kamu, mending milih Rafka aja. Udah kaya, baik, royal lagi. Cinta butuh modal, Ra. Bukan cuma berjuang doang. Emang kamu mau, hidup cuma makan cinta."
Nambah satu lagi, salah satu teman yang mengatakan hal yang sama. Dan juga lebih mendukung hubunganku dengan Rafka, mereka semua malah membuatku semakin bingung. Aku hanya tidak ingin menjadi cewek penghianat, apalagi tukang selingkuh. Aku selalu menghindari hal itu, dan aku paling tak suka berbuat perilaku amoral yang dapat mencoreng nama baikku.
"Ya, nggak begitu juga sih, tapi alasan apa aku mutusin Shaka. Meski dia tak punya apa-apa, tapi dia tulus selama ini sama aku. Setia dan tak pernah main wanita dibelakangku. Itu membuktikan, kalau Shaka juga patut diperjuangkan. Mungkin saat ini, ekonomi Shaka memang dibawah, karena bapaknya hanya seorang guru honorer. Tapi, kita gak tau suatu saat, seperti apa takdir dia."Adit tak menyambung lagi pernyataanku, dia hanya menggelengkan kepala, lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
Rafka memang baik, royal dan tajir. Tapi untuk memutuskan hubungan dengan Shaka, tak mungkin hanya dengan alasan itu. Sama saja dengan aku menghianatinya, kecuali memang aku sudah tidak cocok dengan Shaka, maka aku juga tak segan untuk memutuskan hubungan ini. Aku juga tak mau hanya hidup dengan cinta, memang cinta bisa buat kenyang? Jelas tidak, menjadi wanita harus realistis. Bukan karena matre, atau mata duitan.
Aku akan memutuskan Shaka, jika suatu saat sikap atau sifatnya sudah tak cocok denganku. Saat ini, mungkin dia hanya bergantung pada orang tuanya. Hingga terlihat tak bisa dibanggakan sama sekali, tapi jika suatu saat dia mau berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik dari orang tuanya, kenapa tidak? Jelas aku akan mendukungnya hingga dapat membuktikan, kalau dia bisa sukses dan layak menjalin serta meneruskan hubungan denganku.