Udara dingin yang aku rasakan tiba-tiba berubah menjadi hangat. Samar-samar aku mendengar tangisan. Siapa yang menangis? Apa aku sudah mati?
"Raden Ayu," ucap seseorang sambil menangis. Aku tidak bisa membuka mata, dada terasa sesak seperti ditindih ribuan bantal.
Tangisan-tangisan itu makin terdengar jelas. Siapa mereka? Kenapa menangis? Apa aku benar-benar sudah mati?
Kucoba membuka mata walau dada terasa semakin sesak. Aku ingat jatuh ke sungai, apa karena itu aku tidak bisa membuka mata? Tidak! Aku harus coba.
Perlahan aku membuka mata seiring napas yang semakin terengah-engah seperti baru saja berlari maraton. Tiba-tiba suara teriakan terdengar dan ada pula yang mengatakan "Raden Ayu hidup lagi!" Seketika teriakan lain ikut terdengar.
Siapa mereka? Di mana aku? Bukankah harusnya aku ada di sungai?
Kulihat sekeliling, beberapa pria yang tidak kukenal terus memandangiku seperti aku ini alien bagi mereka. Beberapa wanita juga melakukan hal yang sama. Kenapa mereka melihatku seperti itu?
"Ra-Raden Ayu hidup lagi! Raden Ayu hidup lagi! Laksmi cepat beritahu Raden Ayu Roro Ageng," ucap seorang wanita bertubuh langsing pada wanita bertubuh gemuk yang langsung pergi.
Perlahan wanita bertubuh langsing itu duduk di dekatku. Tangannya gemetaran dan seperti ingin menyentuh wajahku. Namun, aku menghindarinya. Tidak akan kubiarkan dia karena aku tidak mengenalnya. Apalagi wanita itu terlihat aneh dari pakaiannya.
Lihatlah dia, ia menggunakan kemban dan kain jarit berwarna coklat. Caranya berpakaian seperti orang-orang zaman kerajaan yang pernah kulihat di sinetron kolosal. Beberapa wanita lain yang memandangiku aneh juga mengenakan pakaian yang serupa. Para pria bertelanjang dada dan hanya kain yang dibentuk seperti celana yang mereka pakai. Kenapa orang-orang ini terlihat aneh?
Udara terasa dingin seperti menusuk bagian pundakku. Aku mengusap-usap bagian pundak agar terasa lebih hangat.
Tunggu ... kenapa aku juga hanya memakai kemban dan kain jarit warna merah. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku berpakaian seperti ini?
"Dwika! Kau hidup lagi adikku," ucap seorang wanita cantik yang tiba-tiba datang dan langsung memelukku. Pelukan erat wanita itu lakukan. Ia terus menangis sambil terus memelukku. Siapa sebenarnya wanita ini? Dan ... siapa Dwika? Kenapa wanita ini memanggilku dengan nama Dwika?
Wanita itu mengusap pipiku dan seketika tersenyum seolah aku adalah sumber kebahagiaannya saat ini.
"Ayah, Ibu dan Kakang Sanggeni pasti bahagia melihatmu hidup kembali, Dwika." Wanita cantik itu kembali memelukku erat. "Laksmi, ambilkan kain untuk menutupi pundak Dwika, cepat!" lanjutnya sambil merapikan rambut panjangku yang mungkin saja berantakan.
Aku tidak tahu harus bicara apa sekarang. Aku tidak tahu tempat apa ini dan kenapa aku bisa berada di sini.
"Raden Ayu, ini kainnya," wanita bertubuh gemuk itu memberikan kain panjang berwarna merah muda dan selanjutnya kain itu dipakaikan padaku untuk menutupi pundak karena aku hanya menggunakan kemban.
"Widuri, Laksmi, bawa Dwika ke kamarnya dan yang lain kembali bekerja. Raden Ayu tidak perlu dijaga lagi." Perintah wanita itu langsung dituruti oleh orang-orang aneh itu.
Siapa sebenarnya dia? Cantik, anggun dengan kemban berwarna ungu senada dengan kain jarit yang dipakai, rambutnya digelung rapi dan ada hiasan yang terlihat seperti emas dan menghiasai gelungan rambut wanita itu. Dia tampak seperti putri bangsawan di zaman kolosal. Sebenarnya tempat apa ini? Kenapa aku bertemu orang-orang aneh ini?
"Mari, Raden Ayu, kami bantu." Wanita yang sedari tadi dipanggil Laksmi mulai mendekati. Namun, aku menepis bantuannya.
Aku berdiri dari kotak kayu yang besar dan panjang tempatku berbaring tadi. Aku tisak akan membiarkan mereka menyentuhku. Lebih baik pergi sekarang. Aku harus cari jalan keluar dari tempat yang terlihat kuno ini.
"Raden Ayu!" teriak mereka semua saat aku berhasil lari dari mereka. Aku tidak tahu harus keluar lewat mana. Di mana pintunya?
"Raden Ayu!" Mereka masih mengejarku. Lewat mana ini? Aku tidak mau di sini. Ada cahaya dari arah kanan, di sana pasti ada pintu. Ya, aku harus lari ke sana sebelum mereka menyusulku.
Saat sampai di depan pintu, aku tidak sengaja menabrak seseorang yang mungkin akan masuk lewat pintu itu. "Ma-maaf ...." Aku terpaku saat melihat orang yang kutabrak adalah Ayah. Orang yang wajahnya mirip sekali dengan Ayah.
"Dwika, kau ... hidup kembali, Nak." Pria itu langsung memelukku erat. "Nyai! Nyai! Cepatlah, Dwika masih hidup," lanjutnya saat melepas pelukannya padaku lalu menatapku intens.
Apa ini Ayah? Tapi ... pakaiannya juga aneh. Seperti para pria yang sebelumnya kulihat, hanya saja bedanya Ayah memakai pakaian berwarna coklat keemasan serta kain panjang warna putih yang dipakai di leher tanpa dililit.
Tiba-tiba datang seorang wanita yang sangat mirip dengan Ibu. Wanita itu langsung memelukku erat, tangisannya terdengar seperti tangisan bahagia.
"Dwika, ini benar-benar dirimu, Nak? Putri ibu?" Wanita itu menatapku dengan air mata.
Jantungku berdegup kencang saat melihat kedua orang tuaku berdiri tepat di hadapanku. Apa mereka benar-benar orang tuaku?
Tidak! Tunggu ... mungkin mereka memiliki wajah yang sangat mirip dengan kedua orang tuaku, tetapi mereka bukanlah orang tuaku. Kedua orang yang paling aku cintai sudah meninggal, jadi mereka bukanlah orang tuaku. Siapa mereka?
"Dwika, ada apa, Nak?" tanya wanita yang tadi memeluk saat melihatku melangkah mundur menjauhi mereka. "Nak, kemari, peluk ibu lagi," lanjutnya seraya melangkah maju mendekatiku.
"Raden Ayu!" teriak dua wanita yang sedari tadi mengejarku. Mereka terlihat terengah-engah.
"Berhenti! Jangan mendekat! Aku tidak kenal kalian. Jangan ganggu, Aku ingin pulang." Aku mulai merasa tertekan. Kemana aku harus pergi?
"Laksmi, Widuri, bawa Raden Ayu kalian ke kamar. Dia pasti butuh istirahat setelah kejadian ini," perintah pria paruh baya yang sangat mirip dengan Ayahku.
Tiba-tiba dua wanita yang sedari tadi mengejarkan menarik paksa diriku untuk ikut dengan mereka. Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenagaku tidak bisa mengalahkan dua wanita ini.
"Tolong lepaskan aku." Aku terus memohon pada keduanya. Namun, usahaku sia-sia. Mereka tidak menyakiti, tetapi rasa takut membuatku membayangkan hal-hal yang buruk.
Aku dibawa ke kamar yang terlihat gelap dan kuno. Salah satu dari mereka membuka pintu dan menuntunku masuk ke dalamnya.
"Raden Ayu, Raden Ayu istirahat saja dulu. Tunggu di sini, biar kami ambilkan air untuk membasuh kaki Raden Ayu," ucap wanita bertubuh gemuk sambil menuntunku untuk duduk di sebuah kursi yang tidak jauh dari pintu masuk ruangan ini.
"Jangan lupa kainnya, Laksmi," celetuk wanita bertubuh langsing yang berjalan ke arah cermin yang letaknya tidak jauh dari ranjang.
Aku mencoba untuk tetap tenang walau rasanya sangat sulit. Sejauh ini tidak ada yang menyakitiku, mungkin mereka memang orang-orang yang baik. Aku akan bersikap baik selama mereka juga baik.
Sekar ... tenanglah, tarik napas dalam lalu buang perlahan.
"Raden Ayu, kita pindah saja ke depan cermin, ya? Jadi, Raden Ayu bisa melihat wajah cantik Raden Ayu sendiri lagi." Wanita bertubuh kurus tadi menuntuku untuk duduk di kotak kayu besar yang diletakan di depan cermin.
Sambil menatap cermin, kebingungan terus hadir dalam pikiran. Aku adalah Sekar, tetapi kenapa mereka memanggilku dengan Nama Dwika? Siapa sebenarnya Dwika?
"Dwika!" panggil seorang pria dari luar kamar. Beberapa kali ketukan pintu terdengar dan itu membuat wanita bertubuh langsing yang berdiri di dekatku bergegas berlari, mungkin untuk membuka pintu.
Wanita bertubuh gemuk kembali menghampiriku dengan baskom yang aku rasa terbuat dari kuningan. Dia meletakan baskom itu di bawah lalu memintaku untuk memasukan kakiku ke baskom itu. Awalnya aku tidak mau, apalagi wanita bertubuh gemuk itu terlihat jauh lebih tua dariku, itu tidak sopan namanya. Namun, ia tetap memaksaku melakukannya.
Dengan lembut, wanita itu membasuh kedua kakiku dengan kain yang halus. Perlakuannya memperlihatkan kalau dia benar-benar sayang padaku.
"Terima kasih," ucapku pada wanita yang sedang membasuh kakiku itu.
Ia menatapku lalu tersenyum dan melanjutkan apa yang ia kerjakan. Aku tidak mengerti siapa dua wanita yang sedari tadi ada di dekatku, mereka terlihat sangat memerhatikan dan menyayangiku.
"Dwika!" Tiba-tiba pria yang baru masuk memeluk erat hingga aku sulit bernapas. Aku menepuk pundak pria itu sebagai tanda kalau aku sulit bernapas karena pelukannya.
Pria yang berpakaian bak kesatria dalam film kolosal dengan kain berwarna kemasan yang diikatkan ke kepala--meringis setelah melepas pelukannya dariku. Aku melihat matanya sembab, seperti menangis sebelumnya.
"Dwika, kakang senang kau hidup lagi. Sepanjang jalan dari Gelanggelang, kakang terus berharap kalau kabar kematianmu adalah kabar burung." Pria itu kembali memelukku erat, anehnya rasa nyaman menghampiriku. Mungkin, aku mulai terbiasa dengan orang-orang aneh ini. Namun, rasa penasaran tetap ada, di mana sebenarnya aku ini?
Tunggu ... aku rasa ada kata-kata yang terlewat. Gelanggelang? Sepertinya aku pernah mendengarnya, tetapi di mana?
"Kabar kematianmu sampai di telinga kakang sebelum kakang sempat bertemu dengan Prabu Jayakatwang. Jadi, kakang tidak sempat membicarakan hal yang penting," ucap pria itu sambil terus memandangiku.
Prabu Jayakatwang? Aku yakin pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Kakang Sanggeni, biarkan Dwika istirahat. Mari keluar," ajak wanita yang jika tidak salah namanya adalah Roro Ageng. Ya, aku masih ingat tadi wanita itu dipanggil Roro Ageng.
Keduanya pergi meninggalkan kamar ini, sedangkan aku masih dalam kebingungan. Aku pernah mendengar Gelanggelang dan Jayakatwang, tetapi di mana? Ayolah, Dwika! Coba ingat kembali. Jika kau ingat, pasti akan terkuak dimana dirimu sebenarnya.
Tunggu ... Jayakatwang bupati Gelanggelang. Ah, ya, aku ingat pernah menyebut namanya saat membaca sejarah Singasari. Ini artinya aku berada di ... Singasari? Benarkah ini?