Kupastikan lagi wajah itu, dia benar-benar Dewa. Bagaimana pria itu ada di sini?
Kembali aku mengingat kejadian itu, kejadian yang membuatku sakit hati. Jika aku tidak memergoki Dewa dan Valery selingkuh, mungkin aku tidak akan punya pemikiran untuk bunuh diri setelah kepergian Ayah.
Wajahnya membuatku kesal hingga rasanya ingin menamparnya. Tunggu ... kenapa tidak? Di masa depan aku belum sempat menamparnya, mungkin inilah waktu yang tepat untuk memberi pelajaran pada laki-laki tidak setia itu.
Kuberjalan ke arah Dewa dengan rasa amarah yang sudah memuncak. Tanganku sudah tidak sabar untuk menamparnya.
"Dwika!" teriak Kakang Sanggeni saat aku mendaratkan tamparan di pipi Dewa. Aku tidak peduli apa-apa lagi, setidaknya aku puas telah menampar laki-laki yang telah jahat padaku.
Dewa menatapku dengan tatapan aneh, dia terus menatap hingga membuatku tidak bisa berkata apa-apa.
"Dwika! Apa yang kau lakukan pada Raden Banyu Biru?" tanya Kakang Sanggeni.
"Dia ini De-" Aku menghentikan ucapan karena Kakang Sanggeni.
Raden Banyu Biru? Tapi ... aku yakin laki-laki yang berada di depanku adalah Dewa. Aku tidak mungkin salah orang. Aku tidak mungkin salah mengenali pria yang pernah menyakiti hatiku.
"Dwika! Kenapa diam? Kakang bertanya padamu."
Aku tidak tahu harus merespon apa soal pertanyaan Kakang Sanggeni. Kujelaskan tentang Dewa juga tidak akan mengerti. Namun, rasanya ada sesuatu yang aneh. Tatapan pria yang baru saja kutampar ini tampak berbeda dari Dewa. Pria ini menatapku seolah-olah dia tidak mengenalku. Mungkin benar bahwa dia bukan Dewa.
"Raden Arya Sanggeni, tidak perlu marah-marah pada Raden Ayu Dwika Arum. Aku memaklumi apa yang dia lakukan. Mungkin, pikirannya masih kacau setelah hidup kembali." Pria itu tampak tidak memiliki rasa amarah, padahal baru saja tamparan mendarat di pipinya.
Mendengar kata-kata pembelaannya, aku jadi merasa bersalah. Dia mendapatkan tamparan dariku tetapi ia tetap membela dan mencoba memaklumi apa yang kulakukan.
"Ma-maafkan aku, Raden ... Banyu Biru. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti, aku kira kau orang lain." Permintaan maaf yang kulontarkan membuat senyum di wajah Raden Banyu Biru muncul. Ia menatap dengan tatapan intens hingga membuat jantungku berdebar kencang.
"Aku tidak apa-apa, Raden Ayu. Jangan merasa bersalah, aku yakin kau melakukannya tidak sengaja." Kata-kata Raden Banyu Biru membuatku tambah lega, setidaknya pria yang berdiri di depanku ini tidak marah atau tersinggung dengan perlakuanku sebelumnya.
"Sekali lagi, maafkan aku, Raden. Aku pamit." Belum sempat melangkah, Raden Banyu Biru meraih tanganku, sontak aku memintanya melepaskan genggaman tangannya padaku. Selain tidak pantas, aku juga merasa tidak nyaman.
"Maaf, Raden Ayu. Aku tidak bermaksud menyinggungmu," kata Raden Banyu biru sambil melepas genggaman tangannya padaku.
Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Apa mungkin karen Raden Banyu Biru sangat mirip dengan Dewa atau ada pemicu lain.
"Tono, ambilkan hadiah yang sudah kusiapkam untuk Raden Ayu Dwika Arum," perintah Raden Banyu Biru pada pelayan laki-laki bertubuh kurus dan tinggi yang sejak tadi menemaninya berbincang dengan Kakang Sanggeni.
Sekarang laki-laki itu malah memberikan hadiah padaku. Rasa bersalahku semakin besar karena hadiah yang akan dia berikan.
Di tengah penantian kembalinya Tono dengan hadiah, tiba-tiba kedua pelayanku datang dengan napas yang memburu. Sepertinya mereka berlarian untuk mencari keberadaanku yang menghilang dari mereka.
"Raden Ayu. Ularnya tidak ada, tapi ... Kenapa Raden Ayu di sini?" tanya Laksmi dengan lirih.
"Menghilangkan rasa penasaran," jawabku dengan lirih juga.
Tidak butuh waktu lama, Toni datang dengan membawa satu kotak peti kecil berwarna coklat. Pelayan laki-laku itu memberikannya pada Raden Banyu Biru dengan hati-hati.
"Raden Ayu Dwika Arum, aku datang ke sini awalnya untuk melihat jasadmu. Namun, di tengah perjalanan aku mendapat kabar bahwa kau hidup kembali dan itu membuatku bahagia. Anggap saja ini adalah hadiah pertama yang kuberikan. Nanti jika aku berkunjung lagi ke sini, aku akan bawakan hadiah lain untukmu." Ucapan panjangnya membuatku tersenyum.
Laki-laki yang berada di depanku ini sangat baik. Ia ramah dan tidak mudah tersinggung. Namun, satu kekurangannya, wajahnya sangat mirip dengan Dewa dan aku benci itu.
Dewa memang kekasihku, bahkan aku sangat mencintainya. Namun, satu kesalahannya bersama Valery membuatku sulit melupakan rasa sakit itu. Ditambah lagi perselingkuhan Dewa dan Valery kupergoki satu hari setelah pemakaman Ayah.
"Apa yang kau pikirkan, Raden Ayu Dwika Arum? Kenapa melamun?" tanya Raden Banyu Biru padaku.
"Ah, tidak apa-apa. Terima kasih atas hadiah yang kau bawa, Raden. Aku sudah ditunggu Ayah, jadi ... aku pamit dulu. Sekali lagi aku minta maaf atas ... tamparan tadi." Kulangkahkan kaki pergi dari hadapan Raden Banyu Biru dan Kakang Sanggeni sebelum masalah jadi panjang karena raut wajah Kakang Sanggeni kali ini tidak ramah.
Seiring dengan langkahku menuju kamar, wajah Raden Banyu Biru terus terbayang dalam pikiran. Senyumnya sangat hangat seperti senyum Dewa saat aku belum mengetahui perselingkuhannya dengan Valery.
Jika dipikir lagi, permintaan maafku belum cukup, apalagi tamparanku bukan hanya keras tetapi juga membuatnya malu. Kira-kira, apa yang bisa mengurangi rasa bersalahku selain permintaan maaf tadi?
"Raden Ayu, mari hadiahnya biar kusimpan dulu. Raden Ayu harus segera menemui Guru Hanggarenu." Widuri mengulurkan tangannya. Kuberikan kotak peti pemberian Raden Banyu Biru pada Widuri.
Pikiranku masih saja berfokus pada laki-laki itu. Sepertinya rasa bersalah ini benar-benar dalam.
"Laksmi, Widuri, aku tidak sengaja menampar Raden Banyu Biru tadi." Kedua pelayan itu terlihat terkejut dengan pengakuanku. "Tapi ... sebenarnya itu sengaja, hanya saja aku salah orang. Aku kira dia laki-laki yang pernah jahat padaku," lanjutku.
Laksmi dan Widuri makin menunjukan wajah terkejut mereka. Tiba-tiba keduanya meraih tanganku dan membolak balikan telapak tanganku bak kertas kosong yang perlu mereka periksa.
"Ihh, apa yang kalian lakukan? Ada apa dengan tanganku?" Nada ucapanku sedikit keras karena respon Widuri dan Laksmi tidak sesuai ekspektasiku yang mengira mereka akan memberikan solusi atas permasalahanku.
"Kami takut tangan Raden Ayu terluka," jawab Laksmi sambil menundukan kepalanya. Widuri pun melakukan hal yang sama.
"Aku menampar pipi Raden Banyu Biru, bukan menampar benda tajam yang bisa melukai tanganku. Jangan terlalu berlebihan. Kalian ini terlalu mempermasalahkan hal kecil."
Tiba-tiba keduanya menangis sambil tertunduk. Aku jadi merasa bersalah pada dua pelayan yang selalu menemaniku itu. Aku rasa kata-kata yang kuucapkan terlalu kasar.
"Hei, kenapa kalian menangis? Aku terlalu kasar, ya? Widuri, Laksmi, jangan menangis." Kuusap air mata di pipi Widuri dan Laksmi.
"Ra-Raden Ayu, ma-maafkan kami ... kami hanya tidak mau Raden Ayu terluka." Widuri tertunduk, ia sama sekali tidak mau menatapku, ia hanya menciumi tanganku dan menunjukan rasa sayangnya.
Makin iba rasanya saat mendengar ucapan Widuri barusan. Mereka terlihat sangat menyayangiku, bahkan hal kecil pun mereka perhatikan agar aku tidak terluka.
"Sudah, jangan menangis. Aku yang harusnya minta maaf karena kasar pada kalian. Maafkan aku, ya?" Kupeluk dua wanita yang selalu ada di sampingku. Pelukan hangat mereka membuatku sedikit tenang dan tidak terlalu memikitkan soal kejadian dengan Raden Banyu Biru tadi.
Di tengah pelukan, aku baru sadar harus pergi menemui Ayah. Aku bergegas merapikan pakaian dan mengusap air mata yang keluar karena kejadian haru yang baru saja terjadi.
Laksmi dan Widuri menuntuku ke arah sebuah ruangan yang tidak jauh dari kamar. Saat masuk, aku mendapati Ayah dan Ibu yang tengah duduk berdampingan, serta Kakang Sanggeni yang didampingi Mbak Yu Roro Ageng.
"Duduklah, Nak," perintah Ayah seraya tersenyum padaku.
Kenapa semuanya berkumpul di sini? Ada apa? Kenapa hatiku jadi cemas?