Aku telah siap untuk bertemu Guru Wayujeno. Walau sudah siap, perasaan cemas masih ada, apalagi Widuri mengatakan kalau Guru Wayujeno ini memiliki kekuatan yang tidak biasa.
Aku bahkan menelan ludah beberapa kali karena rasa cemas. Semoga saja tidak ada hal buruk yang akan terjadi.
"Raden Ayu, Guru Hanggarenu meminta Raden Ayu pergi ke ruangannya karena Guru Wayujeno sudah datang," ucap Laksmi sambil menuntunku berdiri.
Langkahku terasa berat, tangan juga gemetar, jantung berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini? Ayolah, Sekar, kau ini mau bertemu orang biasa, bukan presiden.
"Silakan masuk, Raden Ayu," ucap Widuri sambil membukakan pintu ruangan Ayah.
Saat masuk ke ruangan itu, aku mendapati Ayah sedang duduk berdua dengan seorang pria yang mengenakan pakaian serba putih. Rambut dan jenggotnya yang pendek juga putih. Pria itu tampak lebih tua dari Ayah.
"Salam," ucapku seraya berjalan mendekati Ayah dan pria tua itu.
"Duduk, Nak," pinta pria yang duduk bersama Ayah. Kuturuti pintanya dengan duduk di bawah dan tepat dihadapan Ayah dan pria itu.
Tanpa mengucapkan apapun, pria tua itu tersenyum padaku seraya mengelus-elus kepalaku. Sedikit canggung. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang. Apalagi, pria yang duduk di samping Ayah tampak seperti pria tua yang baik.
"Hiduplah bahagia di sini, kau pantas mendapatkan semuanya, Dwika," ucap pria tua itu.
Aku sama sekali tidak mengerti maksudnya. Apa yang kudapat di sini?
Aku menoleh pada Ayah, mencoba mengisyaratkan kebingunganku. Namun, kelihatannya Ayah juga bingung.
"Kau mengenalku, Dwika?" tanya pria tua itu padaku.
"Guru Wayujeno?"
"Benar, kau pandai dalam mengenali seseorang yang baru pertama kau temui," pujinya.
Aku tahu aku pandai, tapi ... tunggu, pertama bertemu? Bukankah Ayah mengatakan Dwika pernah bertemu Guru Wayujeno? Lalu ... kenapa Guru Wayujeno mengatakan ini pertemuan pertama? Beliau seolah tahu bahwa aku bukanlah Dwika Arum yang sesungguhnya.
"Maaf, Kakang. Aku tidak mengerti maksudmu. Ini bukan pertama kali kau bertemu dengan Dwika Arum, tapi kenapa Kakang mengatakan hal itu tadi?" Pertanyaan Ayah pada Guru Wayujeno mewakili pertanyaan dalam hatiku.
Bukannya menjawab, Guru Wayujeno malah tertawa seolah pertanyaan yang diajukan padanya adalah lelucon. Pri tua yang katanya sakti itu menghentikan tawanya saat padangannya kembali fokus padaku.
Seketika aku merasa ada hal yang Guru Wayujeno tahu dariku. Tatapannya lebih fokus dari sebelumnya dan itu membuatku cemas.
"Aku memang baru pertama kali bertemu dengannya, Hanggarenu. Dia datang dari tempat yang jauh untuk menggantikan Dwika Arum." Seketika wajah Ayah menunjukan kebingungan.
Aku sendiri juga terkejut dengan ucapan Guru Wayujeno, hanya saja aku ingat kalau Guru Wayujeno adalah orang sakti, jadi untuk melihat siapa sebenarnya diriku pastilah hal yang mudah.
Benar, kan?
"Kakang, maksudmu apa? Menggantikan Dwika? Lalu siapa yang ada di hadapanku sekarang?" Pertanyaan itu ingin sekali kujawab dengan mulut sendiri, hanya saja hal itu tidak mungkin. Biarlah yang akan terjadi, terjadilah. Mungkin ini saatnya ada orang lain yang tahu siapa sebenarnya diriku ini.
"Dia adalah putrimu," jawab Guru Wayujeno singkat.
Rasa penasaran Ayah terlihat lebih besar, terlihat sekali dari raut wajahnya. Beliau pasti bingung dengan ucapan Guru Wayujeno.
"Dia bukan Dwika, tetapi dia tetaplah putrimu. Yakinlah, bahwa kedatangannya ke sini membawa kebahagian. Dia datang untuk meneruskan hidup Dwika," lanjut Guru Wayujeno.
"Lalu ... Dwika? Di mana putriku itu, Kakang?"
"Dia ... telah pergi ke tempat yang jauh. Dia tidak akan pernah kembali."
Mendengar jawaban Guru Wayujeno, aku merasakan kesedihan Ayah. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan dan bagaimana rasanya ditinggal orang yang disayang. Sakit dan kesedihan itu sulit berlalu.
Aku mendekati Ayah, meraih tangannya dan menciumnya lembut. Aku merasa tangan Ayah hangat seperti tangan Ayah kandungku. Rasanya rindu ini sedikit terobati.
"Ayah ... mungkin aku bukanlah Dwika Arum, tapi ... aku tetap putri Ayah. Di masa lalu, masa kini atau masa depan, aku tetaplah putri Ayah." Aku berharap kata-kata ini bisa membuat Ayah sedikit merasa lega dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan karena Dwika Arum yang sesungguhnya telah pergi jauh.
Tanpa kata, Ayah mengelus pipiku sambil tersenyum. Lega rasanya saat Ayah tersenyum seperti itu, walau masih terlihat sedih, setidaknya senyum itu mengurangi berat beban yang ditanggung seorang Ayah atas rindu pada putrinya yang telah pergi untuk selamanya.
"Kakang, jika dia bukan Dwika, siapa dia dan dari mana asalnya?" tanya Ayah yang kembali fokus pada Guru Wayujeno.
"Rahasia ... itu adalah rahasia takdir. Kita tidak tahu dari mana asalnya dan kita tidak perlu mencaritahu apapun. Sekarang, hiduplah dengan baik seperti sebelum kau mengetahui bahwa Dwika Arum telah meninggal."
Ayah kembali menatapku. Tatapannya itu tampak seperti tatapan Ayah kandungku setiap kali merasa bersalah padaku. Oh, perasaan apa ini? Aku merindukan Ayah. Bolehkah aku memeluknya sekarang?
Ayah mengelus pelan kepalaku. Sambil tersenyum, pria itu meneteskan air mata. Aku tidak tahu air mata kebahagian atau kesedihan itu yang pasti beliau terus tersenyum.
"Takdir kalian saling terpaut, jadi ... jagalah rahasia ini sampai kapanpun, kalian mengerti?" Guru Wayujeno mewanti-wanti agar rahasia tidak didengar siapapun lagi.
"Baik, Kakang. Aku akan jaga rahasia ini. Jika kau sudah mewanti-wanti, maka aku akan terus ingat hal itu."
"Baiklah, selain rahasia ini, tujuan kedatanganku ke sini adalah untuk memintamu mempercepat pernikahan Dwika. Hal itu adalah hal yang baik jadi harus disegerakan."
Aku terpaku mendengar ucapan Guru Wayujeno. Aku menggelengkan kepala, mencoba mengembalikan fokus karena bisa jadi apa yang kudengar tadi salah karena aku sendiri tidak fokus. Namun, ternyata aku benar-benar fokus dengan pertemuan ini. Benarkah aku harus menikah secepat ini?
"Baik, Kakang. Aku akan segera melanjutkan rencana pernikahan Dwika. Kau sendiri ... sudah menyiapkan calonnya, kan?"
Guru Wayujeno mengangguk sambil tersenyum dan tatapannya mengarah padaku. Tatapannya seolah pisau tajam yang membuatku sakit karena harus menghadapi soal pernikahan.
Baru beberapa hari aku di sini, mereka sudah mempersiapkan pengantin untukku. Ya ampun, harus kuterima atau tolak rencana ini nantinya?
"Dwika, kau kenapa? Kenapa diam? Kau tidak mau bertanya siapa calon pengantinmu?" Pertanyaan Guru Wayujeno membuatku kembali fokus dengan pria tua itu.
Bagaimana aku bertanya? Mendengar rencana pernikahan saja sudah membuatku terkejut.
"Guru ... aku ... tidak tahu harus bertanya apa, jadi ... aku hanya diam dan mendengar pembicaraan Guru dan Ayah." Aku tidak bisa menolak secara langsung walau sebenarnya aku tidak mau menikah secepat ini, karena hidup ini bukan hidupku melainkah hidup Dwika Arum.
"Percayalah padaku, aku telah menyiapkan pengantin pria yang baik untukmu. Dia akan jadi pelindung saat kau pergi dari rumah ini untuk membangun keluarga. "
Perkataan Guru Wayujeno terdengar meyakinkan, tapi tetap saja aku tidak tahu seperti apa pria itu dan aku belum yakin apa dia benar-benar baik untukku.