Semua orang tampak bahagia dengan pernikahanku. Tidak terkecuali Raden Arya Manunggal yang sesekali kulihat tersenyum tulus. Laki-laki itu sungguh luar biasa, senyumnya yang manis dengan wajah tampan bak Arjuna, tubuhnya yang tampak atletis dan wibawanya yang gagah menambah kekaguman dalam hati.
"Selamat untukmu, Raden Ayu Dwika Arum," ucap seseorang dari arah belakang.
Kualihkan pandang pada orang yang mengucapkan selamat dan ... aku tidak menyangka bahwa orang itu adalah Raden Banyu Biru. Tatapan laki-laki itu tidak seperti biasanya.
Entah ini benar atau tidak tapi kurasa ada sesuatu yang membuatnya kecewa. Sorot matanya bahkan membuatku sedih. Perlahan, laki-laki itu melangkah mendekatiku.
"Selamat atas pernikahanmu," ucap Raden Banyu Biru. Suaranya gemetar, tidak seperti biasanya. Ia menatapku dengan intens, tanpa kata bahkan senyum pun saja tidak ia tunjukan.
Kenapa hatiku tiba-tiba merasa bersalah karena sikap Raden Banyu Biru yang seperti ini? Apa dia seperti ini karena pernikahanku?
Belum sempat merespon ucapan selamat dari Raden Banyu Biru, fokusku teralih pada seorang laki-laki yang masuk ke ruangan di mana semua orang sedang menikmati makanan yang telah disiapkan.
Laki-laki itu datang dengan dua orang laki-laki lain yang berjalan di belakangnya. Sosoknya gagah dengan rambut pendek sebahu, kumis tipis dan berjenggot pendek. Laki-laki itu disambut hangat oleh Ayah dan Kakang Sanggeni.
"Terima kasih sudah datang, Prabu Jayakatwang," ucap Kakang Sanggeni menyambut laki-laki itu.
Aku terpaku mendengar ucapan Kakang Sanggeni. Tidak pernah terpikir olehku bisa bertemu bupati Gelanggelang itu. Rupanya, dia juga tidak kalah gagah dari gambar-gambar yang ada di buku sejarah.
Prabu Jayakatwang berjalan ke arahku dengan senyum. Kakiku sedikit gemetar. Wajar, kan jika aku merasa gerogi. Bagaimana tidak gerogi, aku tidak pernah membayangkan bisa bertemu tokoh dalam sejarah seperti ini dan tiba-tiba satu persatu tokoh dalam sejarah mulai muncul di hidupku.
"Aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya, Dwika Arum. Rupanya apa yang orang-orang lain katakan tentangmu benar. Kau cantik, senyummu juga manis. Kau cocok bersanding dengan Arya Manunggal," ucap Prabu Jayakatwang di depanku.
"Terima kasih, Prabu." Aku berusaha terlihat tetap anggun agar orang lain tidak merasa diriku aneh karena gerogi bertemu Prabu Jayakatwang.
Prabu Jayakatwang meminta sesuatu dari salah satu laki-laki yang berdiri di belakangnya. Aku rasa dua laki-laki itu adalah pelayan Prabu Jayakatwang.
Rupanya sebuah kotak adalah benda yang diminta Prabu Jayakatwang. Benda itu langsung diberikan padaku oleh bupati Gelanggelang itu.
"Ini apa, Prabu Jayakatwang?" tanyaku lirih karena sedikit terkejut dengan benda yang ada dalam kotak saat membukanya.
"Itu adalah lempengan koin emas sekaligus beberapa perhiasan untukmu. Itu hadiah pernikahan dariku."
Ini kali pertama aku melihat kilauan koin emas sebanyak ini. Jika terkena sinar matahari pastilah pantulannya akan lebih menyilaukan.
"Te-terima kasih atas hadiahnya, Prabu." Kututup kotak pemberian Prabu Jayakatwang.
Laki-laki itu hanya mengangguk dan tersenyum. Padangannya tidak fokus lagi padaku kali ini. Prabu Jayakatwang seperti sedang mencari seseorang.
Jika dipikir lagi, sejak tadi tidak ada sambutan hangat dari Raden Arya Manunggal pada Prabu Jayakatwang. Saat bupati Gelanggelang itu memberikan hadiah padaku, Raden Arya Manunggal bahkan tidak berterima kasih seperti yang kulakukan. Ia hanya duduk di samping beberapa tamu sambil minum.
"Di mana Guru Wayujeno? Kenapa aku tidak melihatnya?" tanya Prabu Jayakatwang yang pandangnya masih memerhatikan sekeliling.
"Aku di sini, Prabu Jayakatwang!" seru Guru Wayujeno yang tiba-tiba datang. Sejak menikahkan aku dan Raden Arya Manunggal, Guru Wayujeno memang tidak terlihat batang hidungnya.
"Aku merindukanmu, kau tidak merindukanku, Guru Wayujeno?" tanya Prabu Jayakatwang seraya tersenyum.
Ada hal aneh yang kurasakan, meski Guru Wayujeno tersenyum saat bertemu laki-laki yang diangkat sebagai bupati Gelanggelang oleh Sri Maharaja Kertanegara itu, tetapi sepertinya ada hal yang tidak disukai oleh Guru Wayujeno pada Prabu Jayakatwang. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang ada yang tidak disukai oleh Guru Wayujeno dari laki-laki yang beberapa saat lali memberiku hadiah.
"Sebuah kehormatan dirindui oleh sang Prabu," ucap Guru Wayujeno.
"Aku tidak bisa berlama-lama, ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Sri Maharaja. Aku merasa lega bertemu denganmu, Guru Wayujeno. Sekarang aku harus pergi." Prabu Jayakatwang pergi walaupun baru saja sebentar berbincang.
Seperti penyambutan sebelumnya, Ayah dan Kakang Sanggeni mengantarkan Prabu Jayakatwang keluar. Seiring pergi bupati Gelanggelang itu, Guru Wayujeno berjalan menjauhi orang-orang lain yang sedang menikmati makanan mereka.
Aku mengikuti langkah Guru Wayujeno yang berhenti di bawah pohon besar yang tidak jauh dari dapur. Beliau duduk bawah pohon itu seraya menatap langit.
"Guru," sapaku seraya menghampiri laki-laki tua itu. "Boleh aku duduk di dekat Guru?" lanjutku.
"Tentu, duduklah, Nak."
Aku duduk di samping Guru Wayujeno tepat di bawah pohon. Sesaat, aku ikut menikmati pemandangan langit yang indah. Berwarna biru dilengkapi awan-awan putih berbagai bentuk.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Nak?" tanya Guru Wayujeno.
Kakang seperguruan Ayah ini memang luar biasa. Aku belum sempat mengatakan tujuanku mengikuti, beliau sudah tahu tujuannya.
"Aku ... ingin bertanya, kenapa Guru seperti tidak menyukai Prabu Jayakatwang?" Aku berharap Guru Wayujeno tidak merasa aku ingin ikut campur urusannya.
"Kau pasti tahu alasannya, pasti ada kisahnya kan di tempat asalmu."
Aku mencoba memahami apa yang dikatakan Guru Wayujeno. Aku memang sempat membaca banyak hal soal Singasari, tetapi untuk mengingatnya perlu waktu.
Aku ingat sekarang, Prabu Jayakatwang adalah orang jahat. Dia adalah ....
"Ya, kau benar, Dwika," ucap Guru Wayujeno yang seolah tahu apa yang sedang kukatakan dalam hati.
"Gu-Guru tahu yang sedang kupikirkan dan kurasakan dalam hati?"
Guru Wayujeno tersenyum seraya mengangguk. Laki-laki tua itu kembali memandang langit. Ia fokus dan sesekali memejamkan mata.
"Jika Guru Wayujeno tahu soal itu, kenapa Guru tidak memberitahu yang lain?" tanyaku karena penasaran.
Coba bayangkan, saat tahu sesuatu bukankah lebih baik mengatakannya, agar hal buruk bisa dicegah.
Guru Wayujeno menatapku, ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Jika aku mengatakan, maka apa yang ada di masa depan pasti berubah. Biarlah apa yang terjadi akan terjadi, karena semua sudah diberikan jalan."
Apa yang dikatakan Guru Wayujeno memang benar. Jika di masa sekarang berubah, maka di masa depan kisah pun berubah.
"Politik apapun akan mengorbankan nyawa. Karena itulah aku tidak suka memikirkan tentang politik kerajaan." Guru Wayujeno tiba-tiba mengatakan hal yang tidak terduga.
"Maksud Guru?"
"Siasat dan pengkhianatan adalah hal yang wajar di politik. Saling menjatuhkan, saling memanipulasi hingga akhirnya salah satu akan kalah. Namun, akan ada kekalahan bagi pengkhianat nantinya."
Aku hanya diam, sambil terus mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Guru Wayujeno.
Jika dipikir lagi politik dan pengkianat memang saling berhubungan. Entah di masa lalu atau masa depan, karena keduanya seolah saudara yang sulit diputus tali hubungannya.
"Dwika, mulai hari ini, kau harus menjadi kekutan bagi Arya Manunggal. Dia lah yang akan membantu Raden Wijaya apapun yang terjadi. Anakku itu membutuhkanmu sebagai orang yang paling mengerti dirinya. Jangan biarkan orang lain menjatuhkanny dengan cara apapun." Nasihat Guru Wayujeno sama dengan nasihat Ibu semalam.
Aku akan ingat semua nasihat itu. Akan kucatat dalam pikiran dan tidak akan kulupakan.