"Raden Ayu, apa Raden Ayu masih memikirkan suara yang Raden Ayu dengar?" tanya Widuri yang sibuk mengipasi aku dengan kipas tangan yang terbuat dari anyaman bambu.
Suara tangisan yang kudengar sebelumnya memang aneh. Tidak ada siapapun yang terlihat menangis. Jika diingat lagi, aku jadi merinding dibuatnya.
"Kalian yakin tidak mendengar orang menangis tadi?" tanyaku memastikan.
Laksmi dan Widuri sama-sama menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaanku. Lebih baik aku lupakan saja kejadian tadi, mungkin aku hanya salah dengar.
Ditengah-tengah waktu santai, aku jadi penasaran tentang para tamu Kakang Manunggal. Aku rasa mereka sudah pergi karena tidak lagi terdengar tawa para laki-laki itu yang sedari terdengar jelas.
Lebih baik aku intip saja, lagi pula ada yang ingin aku tanyakan pada Kakang Manunggal soal para punggawa istana yang datang bertamu.
Kulangkahkan kaki keluar dari kamar untuk memastikan keberadaan Kakang Manunggal. Betapa terkejutnya aku saat melihat laki-laki itu ternyata sudah berada di depan kamar. Rasanya jantungku hampir copot karena terkejut
"Kau sudah baikan?" tanyanya terdengar perhatian.
"A-aku sudah lebih baik, Kakang," jawabku.
Suasana sedikit kikuk karena Kakang Manunggal menatapku intens. Tatapannya itu sungguh membius. Aku yakin, inilah salah satu pesonanya.
Tubuh kekarnya makin mendekat padaku. Namun, anehnya saat berusaha mundur, rasanya kakiku sulit digerakan. Alhasil hanya diam yang bisa kulakukan sambil mengatur napas yang tidak karuan karena jantung berdegup kencang.
"Tidurlah, kau akan sehat besok. Ini ada obat juga. Kau bisa minta Laksmi atau Widuri untuk menyeduhnya." Kakang Manunggal memberikan bungkusan dari daun pisang yang kering. Kakang Manunggal melangkah pergi ke kamarnya setelah aku menerima bungkusan itu.
Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan, tapi entah kenapa aku lupa saat berhadapan dengan Kakang Manunggal. Pikiranku seolah kosong dan hanya berfokus padanya. Sudahlah, mungkin memang belum waktu yang tepat untuk bertanya.
Kulangkahkan kaki menuju kamar. Namun, belum sempat masuk aku jadi ragu pada diri sendiri. Jika masuk, kesempatan bertanya pasti akan hilang.
Tidak, aku harus menghilangkan rasa penasaran ini. Jika tidak, aku tidak akan bisa tidur malam ini. Lebih baik berdiri di sini menunggu Kakang Manunggal.
Cukup lama aku menunggu di luar. Namun, belum ada tanda-tanda Kakang Manunggal keluar dari kamar.
Apa lebih baik aku masuk saja? Sepertinya memang ini bukan waktu yang tepat.
Saat akan masuk ke kamar, aku mendengar suara pintu dibuka. Ternyata, Kakang Manunggal keluar dari kamar. Segera aku menghampirinya karena tidak ingin kehilangan kesempatan bertanya.
"Kakang," panggilku lirih pada laki-laki berbaju coklat.
Kakang Manunggal menoleh seraya berjalan ke arahku. Ia menghela napas panjang saat berada tepat di depanku.
Kubalas dengan senyum agar dia tidak marah karena merasa terganggu.
"Ada apa? Harusnya kau istirahat," ucapnya ketus padaku.
Laki-laki ini memang aneh, sebentar romantis, sebentar jutek dan terlihat tidak peduli. Namun, aku akui pesonanya dengan mudah membius.
"Emm, Kakang ... sebenarnya aku ingin tahu lebih banyak soal ...."
"Soal apa?"
"Soal para tamu Kakang tadi. Aku ingin lebih mengenal mereka. Bisakah Kakang menceritakan soal mereka? Siapa sebenarnya mereka, itu maksudku."
Kakang Manunggal mengerutkan dahi seraya mendekatkan wajahnya ke wajahku, bahkan embusan napasnya bisa kurasakan saking dekatnya.
"Kau ini aneh," ucapnya sambil duduk di kursi kayu yang berada tepat di depan kamarnya.
"Aneh bagaimana?"
"Aneh, kau itu kadang keras kepala, kadang ceroboh, kadang pula terlalu ingin tahu dengan suatu hal."
Ternyata pikiran Kakang Manunggal terhadapku seperti itu. Dia tidak merasa bahwa dirinya juga sama denganku, bahkan lebih parah. Ia seperti punya dua kepribadian. Jika dia hidup di zaman modern, aku yakin dia pasti pengidap DID.
"Maksud Kakang? Kakang tidak suka punya istri sepertiku atau mungkin ... Kakang lebih suka istri pemarah?" Sengaja aku melotot di depannya untuk menunjukan ciri-ciri istri pemarah.
"Memang kau bisa marah?" Pertanyaan Kakang Manunggal seolah ledekan untukku.
Kakang Manunggal sepertinya ingin melihat bagaimana aku marah. Baiklah, akan kutunjukan bagaimana jika aku jadi istri pemarah.
Aku melihat sebuah kendi di dekat pintu kamarku. Kuambil dan akan kubanting agar dia bisa melihat bagaimana kemarahan dariku.
Saat aku akan membanting kendi kecil berwarna coklat yang kupegang, tiba-tiba Kakang Manunggal menghentikanku. Ia memegangi tanganku dan perlahan memintaku untuk melepas kendinya.
Aku seolah terhipnotis padanya, dengan ikhlas memberikan kendi kecil itu pada Kakang Manunggal dan setelahnya aku seolah terpaku saat menatap matanya.
"Kau bisa terluka nanti," ucapnya.
Kakang Manunggal menuntunku untuk duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki. Sekarang, ia menatapku sambil berjongkok di depanku.
Ia memandangiku intens. Rasanya ada bom waktu yang seolah sedang berpacu dalam dadaku. Ingin berteriak, tetapi tidak mungkin.
Perlahan Kakang Manunggal mengelus pelan tanganku. Ia bahkan sempat mencium tanganku dengan lembut.
"Jangan berbuat hal yang bisa menyakitimu," ucapnya seraya tersenyum. "Lagi pula, aku hanya sedang meledekmu, bukan memintamu menjadi istri pemarah. Aku lebih suka kau yang seperti ini," lanjutnya.
"Baiklah, tapi ... Kakang ... aku masih ingin mendengar cerita mengenai para tamu tadi. Aku sungguh penasaran. Lagi pula, akan malu jika aku tidak mengenal mereka dengan baik." Aku berusaha keras membujuk Kakang Manunggal dengan tersenyum padanya.
Kakang Manunggal menghela napas panjang. Aku rasa ia akan mengiyakan permintaanku.
"Baiklah, aku akan ceritakan semuanya, tapi tidak sekarang. Lebih baik kau tidur sekarang. Besok baru akan kuceritakan semuanya, mengerti?" Kakang Manunggal berdiri dan menuntunku berdiri juga.
Ia memintaku untuk masuk ke kamar dan tidur. Kakang Manunggal sangat romantis malam ini. Tidak seperti sebelumnya, perhatiannya sekarang lebih terasa.
"Tidurlah," pintanya sambil menutup pintu kamarku.
Rasanya tidak ingin berpisah. Namun, aku tidak bisa melakukan apapun. Tunggu ... kenapa aku jadi merasakan perasaan seperti ini? Apa aku sudah jatuh cinta padanya?
"Raden Ayu, mari tidur," Laksmi menuntunku ke atas tempat tidur.
Bersiap untuk tidur, aku kembali mengingat senyum dan perlakuan romantis Kakang Manunggal padaku. Aku akui, aku dan dia memang sama-sama aneh. Namun, tatapan dan senyumnya membuatku sulit beralih fokus darinya.
Aku masih merasakan sentuhan lembut tangannya. Ia seorang panglima perang, tetapi tangannya itu halus seolah tidak pernah ada luka pedang atau keris di tangannya.
Sikapnya saat menahanku untuk tidak membanting kendi itu juga membuatku makin mengaguminya. Awalnya aku kira dia laki-laki menyebalkan, tetapi lama kelamaan dia terlihat sebagai laki-laki yang menyebalkan sekaligus romantis.
"Raden Ayu, kenapa Raden Ayu tersenyum sendiri? Apa ada hal yang membuat Raden Ayu tersenyum seperti ini?" Pertanyaan Widuri menyadarkanku dari lamunan.
Aku baru sadar sedari tadi melamun hingga tersenyum sendiri. Sekarang, Laksmi dan Widuri pasti menganggapku gadis yang aneh.
"Minumlah, Raden Ayu." Widuri memberikan air dalam mangkuk emas untuk kuminum.
Ada yang aneh dalam air ini, ada bayangan Kakang Manunggal di dalamnya. Aku pasti sudah gila hingga melihat bayangan suamiku itu dalam mangkuk emas.
Oh, bagaimana caranya menghilangkan sosoknya dalam pikiranku?