Kakang Manunggal masih diam setelah membaca gulungan yang diberikan Arunika tadi. Tampaknya ada yang dipikirkan oleh suamiku itu.
Rasa penasaran makin besar, ingin sekali ikut membaca. Namun, aku tahu batasan. Aku tidak boleh mengganggu Kakang Manunggal saat serius seperti itu.
"Apa isi pesan Prabu Jayakatwang, Raden?" tanya Arunika.
"Ini ... permintaan untuk latihan bersama antara prajurit Gelanggelang dan Singasari. Aku sudah pernah membahas soal ini dengan Raden Wijaya, beliau tidak menginjinkan." Kakang Manunggal menutup gulungan itu dan memerintahkan Bejo mengambilkan alat tulisnya untuk membalas pesan Prabu Jayakatwang.
Kakang menulis dengan alat tulis yang aneh. Ujungnya runcing seperti jarum. Ia menuliskan sesuatu di gulungan bambu tipis yang Bejo bawa.
Ada hal lain yang menjadi fokusku kali ini. Terlihat sekali Arunika memerhatikan Kakang Manunggal. Dari pandangannya seperti ada kekaguman tersendiri terhadap suamiku.
Sambil memerhatikan, sesekali Arunika tersenyum. Sungguh sikapnya itu menunjukan bahwa ia menyukai Kakang Manunggal.
"Ini balasannya." Kakang Manunggal memberikan gulungan bambu itu pada Arunika sambil tersenyum. Senyumnya sangat manis hingga membuatku cemburu.
"Baik, Raden. Tapi ... tolong Raden tidak memberitahu siapapun tentang pertanyaanku soal isi pesan Prabu Jayakatwang. Aku tidak mau beliau mengira aku ingin ikut campur urusannya." Arunika tersenyum membalas senyuman Kakang Manunggal.
Gadis itu seolah tidak merasa bahwa sikapnya terlalu aneh pada suami orang padahal istri orang itu ada di dekatnya.
Aku merasa seperti obat nyamuk di sini. Kakang Manunggal sibuk dengan gulungan bambu yang Arunika bawa, sedangkan Arunika sibuk meminum minuman yang baru dihidangkan oleh Gendhis.
Kakang Manunggal meminta Bejo menyimpan gulungan dari Prabu Jayakatwang. Entah untuk apa disimpan. Namun, saat Bejo membawakan kotak besar kepada Kakang Manunggal, aku yakin pesan itu akan diarsipkan, karena dalam kotak besar aku melihat banyak gulungan serupa.
"Raden, aku harus pamit. Pesan ini harus segera disampaikan," ucap Arunika seraya beranjak pergi. Kakang Manunggal dan aku mengantarkannya keluar.
Setiap langkah, aku masih tidak percaya bisa bertemu dengan gadis yang wajahnya sangat mirip dengan Valery. Entah apa yang sedang disiapkan takdir untukku. Namun, aku berharap takdir baik selalu ada untukku.
Saat melangkah kembali ke rumah, samar-samar aku dengar seseorang memanggil namaku. Namun, sepertinya aku salah dengar.
"Dwika, ada yang memanggilmu," ucap Kakang Manunggal seraya menunjuk ke arah kiriku.
Samar-samar, aku melihat seorang laki-laki berjalan ke arahku dengan gagah.
"Apa itu Raden Banyu Biru?" tanyaku pada Kakang Manunggal untuk memastikan.
"Lihat saja sendiri. Dia mulai dekat," jawabnya Kakang Manunggal ketus seraya masuk ke rumah lebih dahulu.
Lihatlah, laki-laki macam apa yang meninggalkan istrinya seperti ini? Dasar laki-laki aneh!
"Raden Ayu Dwika Arum," sapa laki-laki yang sudah beberapa hari tidak berjumpa denganku.
Hatiku merasa bahagia saat melihat Raden Banyu Biru benar-benar berada tepat di depanku. Aku rindu Dewa dan Raden Banyu mengurangi rindu itu.
"Raden. Bagaimana Raden tahu aku tinggal di sini?" tanyaku yang merasa aneh dengan kehadiran Raden Banyu.
"Suamimu itu panglima perang, punggawa istana mana yang tidak tahu rumahnya, lagi pula aku ini saudaranya. Jadi, bagaimana bisa aku tidak tahu tempat tinggalnya."
Aku terkejut saat mengetahui fakta yang selama ini tidak kuketahui. Rupanya dua laki-laki tampan dalam hidupku ini ternyata saudara.
"Aku ini anak dari paman dan bibinya," jelas Raden Banyu lagi.
"Tapi, kalian tidak terlihat saling kenal saat pernikahanku."
"Aku dan dia memang tidak terlalu dekat," seru Kakang Manunggal yang tiba-tiba keluar. Tatapan matanya tampak tidak ramah pada Raden Banyu. Aneh sekali, padahal keduanya bersaudara.
"Benar, kami tidak terlalu akrab. Lebih baik aku pamit dulu. Ada pertemuan di istana dengan Yang Mulia Raja Kertanegara. Mungkin, aku akan berkunjung nanti dengan ayah dan Arya Sanggeni." Ucapan Raden Banyu membuatku sangat senang. Aku juga sangat merindukan Ayah dan Kakang Sanggeni.
"Aku tunggu kedatanganmu, Raden Banyu Biru." Kuraih tangannya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Kakang Manunggal berdeham seraya masuk kembali ke rumah. Sikapnya itu membuat Raden Banyu buru-buru pamit. Entah kenapa dengan situasi ini. Namun, aku merasa ada yang aneh dengan sikap Kakang Manunggal.
"Kakang, apa sebenarnya yang membuatmu sejutek itu dengan saudaramu sendiri?" tanyaku.
Bukannya menjawab, Kakang Manunggal malah berjalan menghampiriku dengan tatapan anehnya.
Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?
"Ju-ju apa tadi?" tanyanya saat berada tepat di depanku.
Itulah kata-kata yang salah. Bagaimana bisa aku bertanya dengan kata-kata "jutek" mana mungkin dia tahu artinya. Bodohnya kau, Dwika!"
"Itu ... maksudku, aku bertanya mengapa kau tidak ramah pada saudaramu sendiri. Dia datang dengan ramah, tapi kau seolah menolak kedatangannya," protes kuulangi lagi.
"Bukan urusanmu," jawabnya seraya meninggalkan aku.
Aku tidak bisa diam saja saat tidak mendapat jawaban atas pertanyaanku, jadi aku mengejar Kakang Manunggal yang pergi ke arah kamarnya.
"Kakang! Jawab dulu pertanyaanku." Aku sedikit keras pada Kakang Manunggal kali ini.
Ia berhenti dan menoleh ke arahku. Tatapannya menunjukan amarah dalam diri. Tiba-tiba Kakang Manunggal meraih tanganku. Ia meremasnya kuat hingga aku merasa kesakitan.
"Kakang, lepaskan. Sakit, kau menyakitiku." Aku berusaha melepaskan genggaman tangannya yang erat hingga menyakitiku.
"Kau tahu mengapa aku marah dan menyakiti tanganmu ini? Tanganmu bersalah karena menyetuh tangan laki-laki lain." Kakang Manunggal benar-benar terlihat marah.
Ini kali pertama aku melihat amarah dalam dirinya. Sebelumnya, tidak ada hal yang bisa membuatnya seperti ini. Apa dia begitu membenci Raden Banyu Biru?
"Kau marah karena sikapku pada Raden Banyu? Lalu, senyummu pada Arunika bagaimana? Apa boleh seorang laki-laki yang memiliki istri tersenyum seperti itu pada gadis lain?"
"Laki-laki dan perempuan itu berbeda." Kakang Manunggal melepas genggaman tangannya padaku seraya masuk ke kamarnya.
Aku merasakan perih, bahkan tanganku memerah saking kuatnya Kakang Manunggal meremas tanganku tadi. Ini kali pertama dia sangat marah padaku. Namun, aku juga tidak mau dia merendahkan aku dengan bersikap manis pada gadis lain.
"Raden Ayu! Raden Ayu kenapa?" tanya Laksmi yang datang dan langsung memeriksa tanganku.
"Aku tidak apa-apa. Aku mau istirahat saja. Tolong bantu aku, Laksmi."
Kulangkahkan kaki menuju kamar. Perasaan sedih, marah, dan cemburu jadi satu setelah Kakang Manunggal mempermasalahkan sikapku pada Raden Banyu Biru.
Apa yang salah? Lagi pula Raden Banyu adalah teman bagiku. Dia laki-laki yang baik. Lalu, apa yang membuat Kakang juga begitu membenci Raden Banyu?
"Raden Ayu, mari saya kompres agar tidak terasa perih." Laksmi menempelkan kain merah yang direndam dengan air hangat. "Apa yang sebenarnya terjadi, Raden Ayu. Bagaimana bisa seperti ini?" lanjutnya bertanya.
"Hanya salah paham. Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Jangan khawatir." Kuelus tangan Laksmi karena ia terlihat sedih dari matanya yang berkaca-kaca sambil terus mengompres tanganku.
Tiba-tiba suara pintu diketuk, suara Kakang Manunggal terdengar. Ia bertanya tentang keberadaanku.
"Katakan padanya aku sedang tidur," perintahku lirih pada Laksmi.
Laksmi beranjak untuk membukakan pintu sedangkan aku bersiap untuk pura-pura tertidur. Aku tidak mau berdebat lagi dengan Kakang Manunggal.
"Di mana Raden Ayumu?" tanya Kakang Manunggal.
"Raden Ayu sedang tidur, Raden."
"Pergilah, Laksmi. Aku ingin bicara dengan Raden Ayumu."
Aku mendengar langkah mendekat. Sepertinya Kakang Manunggal yang mendekat setelah ia meminta Laksmi pergi.
Aku merasa seseorang menyentuh tanganku yang sakit. Perlahan dielus dan ditiup dengan pelan.
"Maafkan aku, Dwika. Aku bersalah," ucap Kakang Manunggal. Suaranya bisa kukenali bahkan saat aku menutup mata.
Jantungku berdebar dengan cepat karena sikapnya. Sebenarnya apa yang membuatku seperti ini?