Masih terbayang perilaku Kakang Manunggal yang menyentuh hati. Ia meniup tanganku yang ia lukai seolah merasakan rasa bersalah yang dalam.
Sebenarnya dia benar-benar laki-laki aneh. Ia yang kasar padaku sebelumnya, tiba-tiba berbuat lembut penuh perhatian.
"Raden Ayu, ada apa?" tanya Widuri yang sibuk melipat kain-kain baru bawaanku yang belum sempat dirapikan.
"Aku ... merasa ada yang aneh dengan Kakang Manunggal. Dia tiba-tiba kasar, lalu tiba-tiba baik. Membuatku bingung saja."
Widuri mengelus tanganku lembut lalu menciumnya. Ia tersenyum seolah ingin menenangkanku dengan senyumnya itu.
"Mungkin, Raden Ayu dan Raden Arya sama-sama sedang menyesuaikan diri. Pernikahan Raden Ayu dan Raden Arya dilangsungkan secara tiba-tiba, jadi butuh waktu untuk saling memahami," katanya panjang.
Apa yang dikatakan Widuri ada benarnya. Sulit pasti menjalani kehidupan baru secara tiba-tiba. Saat pertama kali hidup sebagai Dwika Arum saja, aku seperti gadis yang kehilangan arah, ketakutan dan mengira semua orang jahat padaku. Mungkin, itu juga yang sedang dialami Kakang Manunggal.
"Bejo, siapkan kuda. Malam ini aku akan pergi ke istana untuk memeriksa beberapa hal." Suara Kakang Manunggal terdengar hingga kamarku.
Kakang Manunggal akan pergi ke istana malam ini. Pasti menyenangkan bisa ikut dengannya, aku bisa melihat bagaimana istana Singasari. Tempat tinggal Sri Maharaja Kertanegara pastilah megah.
Aku beranjak untuk menemui Kakang Manunggal. Betapa terkejutnya aku saat melihat Kakang Manunggal berdiri tepat di depan pintu.
"Dwika, kau ... mau kemana?" tanyanya gugup seolah tidak menyangka dengan kehadiranku.
"Itu ... Kakang, Kakang mau pergi ke istana malam ini?"
Kakang Manunggal mengangguk sambil tersenyum. Aku merasakan tatapan marahnya telah hilang dan berganti dengan tatapan hangat yang ramah.
"Bolehkah aku ikut?" Aku meraih tangan Kakang Manunggal, berusaha merayu agar dapat ijinnya.
"Tidak bisa! Kau pikir kepergianku ke istana adalah untuk main-main?"
Kakang Manunggal mulai membuatku jengkel lagi. Ia lagi-lagi menjadi laki-laki yang menyebalkan. Namun, kali ini aku harus bersabar. Aku harus terus membujuknya agar mengijinkanku ikut.
"Kakang, aku tahu kau pergi ke sana untuk melakukan hal yang penting. Tapi, tolong ijinkan aku ikut. Aku ingin melihat bagaimana megahnya istana Singasari." Aku terus membujuknya bahkan dengan senyuman termanis yang kupunya.
"Baiklah, tapi ingat, saat sampai di istana, jangan pergi tanpa ijinku, kemana pun itu."
Aku menyanggupi permintaan Kakang Manunggal. Permintaannya sederhana dan tidak berat bagiku, jadi langsung saja kuterima.
"Terima kasih, Kakang." Kepeluk Kakang Manunggal dengan erat. Kebahagiaan yang kurasakan tidak bisa kututupi jadi ....
Kulepas pelukan, aku benar-benar tidak menyadari telah bersikap berlebihan pada Kakang Manunggal. Bodohnya kau, Dwika!
Karena merasa malu telah memeluk Kakang Manunggal, aku mundur perlahan dan langsung menutup pintu kamar. Jantungku berdebar kencang. Sepertinya ada yang akan meledak dalam diriku saking senangnya sekaligus malu.
Kira-kira, apa yang dipikirkan Kakang Manunggal dengan sikap lancangku tadi. Apa mungkin ... ia akan menganggapku murahan?
Suara pintu diketuk membuatku terkejut, apalagi aku masih berdiri di belakang pintu.
"Raden Ayu, ini Gendhis," ucap seseorang dari luar kamar.
Kubuka pintu perlahan untuk memastikan bahwa benar-benar Gendhis yang mengetuk pintu.
"Gendhis, ada apa?" tanyaku pada pelayan muda itu sambil memeriksa keadaan sekitar. Syukurlah Kakang Manunggal tidak terlihat batang hidungnya. Aku masih malu jika mengingat kejadian yang baru saja terjadi tadi.
"Saya bawakan alat tulis untuk Raden Ayu. Raden Arya mengatakan, alat tulis ini harus ada di kamar Raden Ayu," jawab gadis itu seraya memberikan kotak panjang berwarna coklat.
Kuterima barang yang dibawa Gendhis sambil menariknya masuk ke kamar. Ada hal yang ingin kutanyakan padanya mengenai Arunika. Aku benar-benar masih penasaran dengan sosok gadis yang wajahnya sangat mirip dengan Valery itu.
"Gendhis, aku ingin bertanya sesuatu padamu." Kuminta Gendhis duduk dan menjawab pertanyaanku dengan jujur. "Gendhis, kau ini sudah lama bekerja di rumah ini, kan? Itu artinya kau mengenal Arunika. Siapa dia sebenarnya?" lanjutku bertanya.
Awalnya, Gendhis diam. Sepertinya ada yang sedang dia sembunyikan dariku. Ia diam dan terlihat kikuk di depanku.
"Gendhis ...." Aku masih memanggilnya lirih agar pelayan muda itu tidak takut padaku.
"Raden Ayu ... sebenarnya ... Raden Arya dan Raden Ayu Arunika memiliki hubungan," jelasnya takut dengan kepala menunduk.
"Hubungan? Maksudnya? Mereka gebetan?"
Entah apa yang salah dengan pertanyaanku, Laksmi dan Widuri yang juga ada dalam kamar terlihat kebingungan senada dengan Gendhis.
"Gebetan itu apa maksudnya, Raden Ayu?" tanya Laksmi.
Lagi-lagi aku baru menyadari bahasaku yang tidak dimengerti oleh orang-orang ini. Mulutku ini memang tidak bisa diajak berkompromi. Maklum saja, aku terbiasa bicara dengan bahasa gaul.
"Tidak perlu dipedulikan. Bahasaku memang kadang aneh. Jadi ... anggap saja angin lewat." Aku meringis untuk menghilangkan kebingungan mereka. "Coba jelaskan, Gendhis," lanjutku fokus pada pelayan muda itu.
"Raden Arya Manunggal dan Raden Ayu Arunika, sebenarnya telah dijodohkan oleh mendiang Guru Asmonoto, ayah Raden Arya Manunggal. Namun, saat beliau meninggal. Guru Wayujeno membatalkan perjodohan itu dan menjodohkan Raden Arya Manunggal dengan Raden Ayu," jelasnya panjang.
Kenapa kisahnya seperti sinetron?
Kakang Manunggal dijodohkan dengan Arunika, tetapi berakhir dengan menikahiku. Benar-benar seperti sinetron.
Dalam kehidupan ini, mungkin akulah sang protagonis dan Arunika adalah antagonisnya. Di masa depan pun sama. Dia gadis jahat. Mungkin itulah yang membuat takdir menjauhkan Kakang Manunggal darinya.
"Jadi, apa Kakang Manunggal punya perasaan padanya? Maksudku, mungkin Kakang Manunggal mencintainya." Kucoba mengulik lagi tentang gadis itu dari Gendhis.
"Saya tidak tahu, Raden Ayu. Yang saya tahu, Raden Arya tidak terlalu mempedulikan perjodohannya. Raden lebih memilih berlatih dengan para prajurit."
Dari yang Gendhis ceritakan, aku merasa kalau takdir memang menakdirkan diriku untuk Kakang Manunggal. Buktinya, Kakang Manunggal tidak sedingin yang diceritakan Gendhis.
"Baiklah, kau boleh pergi. Laksmi, Widuri, bantu aku bersiap untuk pergi ke istana. Aku tidak mau kelihatan buruk saat keluar karena itu bisa merusak reputasi suamiku sebagai panglima perang."
Gendhis keluar dari kamar sedangkan Laksmi dan Widuri mulai melakukan perintahku. Keduanya sibuk memilihkan kain yang cocok untukku. Tingkah keduanya yang tidak mau kalah saat memilih mengundang gelak tawa.
"Yang ini lebih bagus, Widuri." Laksmi menunjukan jarit berwarna merah dengan motif bung-bunga yang cantik
"Tidak! Aku kan sudah mengatakannya, jarit hijau ini yang lebih bagus."
Pertengkaran mereka terus terjadi. Di sini, aku hanya duduk sebagai penonton. Keduanya benar-benar bak pelawak yang terus membuatku tertawa. Jadi, kubiarkan saja mereka bertengkaran.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Telinga sebelah kananku merasa sakit. Entah apa penyebabnya. Namun, sakit sekali rasanya.
"Raden Ayu! Ada apa? Raden Ayu kenapa?"
Bunyi yang kudengar seperti bunyi peluit yang keras dan sangat menyakitkan telinga. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
***
Suara tangis seseorang terdengar lagi. Kucoba cari dari mana asal suara itu. Melangkah keluar kamar dengan perasaan takut bercampur dengan rasa penasaran. Namun, tidak mendapati sosok siapapun di luar.
Udara terasa dingin. Tiba-tiba langit menjadi mendung, padahal beberapa saat sebelumnya matahari masih bersinar cerah. Secepat mendung datang, secepat itulah hujan turun dengan tiba-tiba.
Rintik hujan membasahi tubuhku. Alunan rinai hujan terdengar bersamaan dengan suara tangis seseorang. Suara itu muncul lagi dan membuatku merinding.
Siapa sebenarnya sosok itu? Kenapa dia terus menghantuiku?