Chapter 17 - Cayaraja

Hari belum terlalu terang, tetapi ayam jantan sudah berkokok, aku sudah merasakan dinginnya air. Sengaja memang, aku ingin mandi lebih awal agar bisa mendengarkan cerita Kakang Manunggal sesuai janjinya semalam.

Ternyata hidup di zaman ini tidak terlalu buruk, bahkan cenderung lebih baik, udaranya masih sangat asri. Sensasi mandi seperti ini sangat sulit dilakukan di zaman modern.

"Raden! Jangan masuk! Raden Ayu ada di dalam," ucap seseorang dari luar bilik mandi. Aku rasa itu suara Laksmi.

"Maaf, ma-maaf. Aku lupa kalau aku sudah menikah. Aku akan kembali setelah Dwika selesai."

Kupercepat ritual mandi agar Kakang Manunggal bisa mandi. Lagi pula tidak baik mandi lama-lama. Bisa masuk angin nanti karena airnya sangat dingin.

"Laksmi, Widuri. Ada apa? Apa tadi suara Kakang Manunggal?" tanyaku pada dua pelayan yang sedari tadi menungguku di luar bilik mandi.

"Benar, Raden Ayu. Raden Arya Manunggal hampir saja membuka kain bilik mandi. Untung saja kami melihatnya," jawab Widuri.

"Memang kenapa jika dia membuka kain biliknya? Bukankah dia suamiku?" Sengaja kukatakan itu pada keduanya. Aku ingin lihat apa reaksi Laksmi dan Widuri.

Kedua pelayanku menepuk dahi mereka masing-masing setelah beberapa saat terdiam. Keduanya pun meringis di depanku.

"Benar juga, Raden Ayu kan istri Raden Arya Manunggal." Ucapan Widuri membuatku tertawa.

Kedua pelayanku ini memang lucu. Mereka polos dan spontan. Jika mereka tidak ada di sampingku, mungkin ... aku tidak bisa melewati kehidupan di sini. Kehidupan aneh yang mengharuskan aku hidup di tubuh gadis lain dan menikah secara tiba-tiba dengan laki-laki yang tidak kukenal.

"Sudahlah, ayo bantu aku bersiap. Aku ingin cepat-cepat menemui Kakang Manunggal."

Aku bak seorang putri. Laksmi dan Widuri yang membantuku berpakaian, menyisir rambut, merias wajah dan tentunya menyiapkan semua hal yang diperlukan untukku. Jika ada lomba pelayan terbaik, aku rasa Laksmi dan Widuri akan jadi pemenangnya.

Setelah selesai bersiap, aku menunggu Kakang Manunggal di depan kamarnya. Aku belum melihatnya keluar dari kamar jadi kuputuskan untuk duduk di tempat ini.

Angin sepoi membuat kantuk datang. Aku rasa udara seperti ini cocok sekali jika tidur. Namun, aku tidak bisa tidur lagi. Aku tidak mau kesempatan yang diberikan oleh Kakang Manunggal terlewat.

Suara pintu dibuka, aku menoleh ke arah kanan. Benar saja, Kakang Manunggal keluar dari kamarnya. Semerbak wangi melati langsung menusuk hidung saat laki-laki gagah dan tampan itu keluar dan menghampiriku.

"Sedari tadi kau di sini?" tanyanya penuh wibawa.

"Tentu, Kakang menjanjikan sesuatu padaku semalam. Jadi, sengaja aku menunggu Kakang di sini."

Kursi kayu berada tepat di sampingku menjadi tempatnya untuk duduk. Ia menatapku dan tersenyum. Wangi melati makin terasa saat tangannya meraih tanganku.

"Apa kau benar-benar tidak terluka karena hal semalam?" tanyanya sambil memeriksa telapak tanganku.

Kekhawatiran laki-laki ini berlebih. Namun, entah kenapa aku suka mendengarnya. Terasa sekali kalau dia laki-laki yang sempurna karena perhatiannya.

"Tidak apa-apa, Kakang. Aku tidak terluka. Sekarang, tolong tepati janjimu."

Kakang Manunggal menghela napas panjang. Ia tidak lagi memerhatikan telapak tanganku yang jelas-jelas mulus tanpa luka.

"Baiklah, kita mulai dari mana?" tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Perilakunya itu sempat membuatku terkejut. Namun, aku tidak mau terlihat canggung di depannya. Jadi, sengaja kudorong tubuhnya agar sedikit menjauh dariku.

"Kakang, jangan bercanda. Aku sudah tidak sabar mendengar ceritamu." Jika bukan karena penasaran, aku tidak akan merengek seperti anak kecil di depannya.

"Baiklah, aku akan mulai bercerita soal Mpu Raganata. Beliau adalah orang kepercayaan Raja Wisnuwardhana, ayah Yang Mulia Kertanegara. Beliau menempati posisi Rakryan Patih, posisi itu tertinggi kedua setelah Raja. Namun, saat Yang Mulia Kertanegara naik tahta, beliau diturunkan jabatannya menjadi Adhyaksa Tumapel," jelas Kakang Manunggal.

Kembali lagi, ia menatapku intens. Jantungku berdegup kencang karena tatapannya itu. Jika dia terus seperti ini, aku bisa pingsan di sini.

"Kakang, tolong lanjutkan," protesku.

"Baiklah, tenang saja Aku akan lanjutkan. Yang kedua ada Paman Arya Wiraraja, beliau adalah Rakryan Demung saat masa pemerintahan Raja Wisnuwardhana. Namun, saat Yang Mulia Kertanegara naik tahta, beliau dinaikan jabatannya menjadi Adipati Sumenep. Sayangnya, dia harus jauh dari Singasari. Beliau juga pandai dalam hal meramal sehingga ramalannya banyak dipakai oleh Raja." Penjelasan Kakang Manunggal sangat detail.

Aku bisa membayangkan bagaimana pekerjaan Paman Arya Wiraraja. Namun, ada hal yang mengganjal dalam pikiranku. Sempat aku mengingat soal pemberontakan bernama "Cayaraja" tapi Kakang Manunggal belum menjelaskannya.

"Cayaraja, aku pernah mendengar soal itu. Apa Kakang tahu soal itu?" tanyaku yang sudah kadung penasaran.

"Itu kisah yang kelam karena penurunan posisi Mpu Raganata," jawabnya seraya beranjak dari kursinya. Ia tampak menatap bawah, entah apa yang sedang dipikirkan.

Kuhampiri seraya meminta penjelasan lebih mengenai pertanyaan yang kutanyakan sebelumnya.

"Kalana Bhayangkara adalah prajurit yang berada di bawah pimpinanku dan Raden Wijaya. Kami kecolongan saat sebagian prajurit memberontak atas keputusan Yang Mulia Kertanegara menurunkan Mpu Raganata menjadi Adhyaksa Tumapel. Tapi, untunglah semua bisa diatasi dengan cepat."

Dari ceritanya saja, aku merasa bangga menjadi istri laki-laki ini. Dia orang yang luar biasa. Aku sama sekali tidak pernah berpikir bisa menikah dengan Kakang Manunggal.

Di tengah-tengah perbincangan, Bejo tiba-tiba datang dan memberitahu seseorang ingin menemui Kakang Manunggal. Sempat merasa kesal karena Kakang Manunggal harus berhenti bercerita. Namun, aku memutuskan untuk melihat tamu Kakang Manunggal.

Kakang Manunggal duduk di ruang pertemuan, sepertinya ia terlihat antusias menanti tamunya masuk. Siapa kiranya sang tamu? Apa mungkin punggawa istana?

"Dwika, kemarilah," pinta Kakang saat melihatku yang sengaja memerhatikannya dari jauh.

Kuturuti pintanya dan duduk di sampingnya. Aku sedikit merasa gugup, mungkin saja aku akan bertemu orang-orang dalam sejarah lagi.

Terkejut yang aku rasakan saat melihat seorang gadis berambut panjang tergerai dan mengenakan bunga melati dirambutnya sebagi hiasan.

Gadis itu sangat mirip dengan Valery-gadis yang telah merebut Dewa dariku. Kebetulan macam apa ini hingga aku harus bertemu gadis itu.

"Selamat datang, Arunika," sapa Kakang Manunggal pada gadis yang sangat mirip dengan Valery.

"Salam, Raden," balasnya.

Kakiku terasa sedikit lemas. Namun, kucoba bertahan untuk mengenal gadis bernama Arunika itu walau wajahnya mengingatkan aku pada Valery.

"Salam, Raden Ayu Dwika Arum. Senang bisa melihatmu secara langsung. Orang-orang membicarakan soal kecantikanmu yang bak dewi dari kayangan. Ternyata ... semua itu benar. Kau sangat ayu." Ia menyapaku dengan senyum.

Kubalas senyumnya, tapi ... aku merasa dia berbeda dengan Valery. Walau wajah mereka mirip, tetapi sepertinya gadis ini baik.

"Tidak perlu memanggilku Raden Ayu. Panggil saja Dwika Arum." Aku mencoba akrab dengannya. Namun, entah bisa atau tidak.

"Baiklah, kau juga boleh panggil aku Arunika."

Setelah perkenalan, Arunika memberikan gulungan kecil dari bambu berwarna coklat pada Kakang Manunggal.

Gulungan itu menarik rasa penasaranku. Kira-kira apa isinya?

"Raden, aku diutus langsung oleh Prabu Jayakatwang. Mohon dibaca dengan baik dan berikan balasannya." Ucapan Arunika sungguh menambah rasa penasaran.

Kakang Manunggal terlihat sangat teliti saat membacanya. Ia tampak meresapi tiap kata.

Apa kiranya pesan Prabu Jayakatwang yang dibawa oleh Arunika?