Belum sempat melangkah, Kakang Manunggal datang menghampiriku. Ia menuntunku untuk berjalan ke arah kumpulan laki-laki yang berbincang dengannya tadi.
Laki-laki ini benar-benar memperlakukan aku dengan lembut. Ia menuntun dengan hati-hati, mungkin agar aku terlihat anggun saat menemui para tamu.
"Salam," ucapku saat menyapa para tamu yang semuanya adalah laki-laki.
Kakang Manunggal menuntunku duduk di sampingnya. Ia tersenyum saat aku memandangnya.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Kakang Manunggal duduk di depan para laki-laki itu. Ia terlihat bahagia, tangannya yang kekar sesekali menggenggam tanganku lembut.
"Istrimu sangat cantik, Manunggal. Dia pantas mendampingi seorang panglima perang sepertimu," ucap seorang laki-laki berkumis dan brewok yang tipis.
"Terima kasih telah memuji istriku." Kakang Manunggal tersenyum lagi padaku. "Dwika, laki-laki ini adalah Adhyaksa Tumapel. Kau bisa panggil Adhyaksa Raganata," lanjut Kakang Manunggal yang kini menatapku.
Kuberi salam padanya, Adhyaksa Tumapel itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya dan memintaku menerima pemberiannya.
Aku sedikit terkejut saat menerima pemberian laki-laki itu. Sebuah kalung yang cantik. Di tengahnya ada batu giok berwarna hijau yang membuat kalung itu makin menawan.
"Aku melihat kalung itu saat berjalan-jalan membeli rempah-rempah untuk pengobatan. Seorang pedagang dari India yang menjualnya. Karena cantik dan aku rasa cocok untuk sosok istri Arya Manunggal, maka aku beli itu sebagai hadiah untukmu."
"Terima kasih atas kemurahan hati Adhyaksa Raganata. Aku akan menjaganya dengan baik."
Kupandangi sekali lagi kalung indah ini. Aku tidak menyangka akan mendapatkan hadiah secantik ini.
Kakang Manunggal memperkenalkanku pada laki-laki lain. Laki-laki itu tampak gagah tanpa kumis seperti yang lain. Ia pun tersenyum padaku sambil mengulurkan tangan dan memintaku menerima pemberiannya.
"Ini hadiah dari kami semua," ucapnya.
Sama seperti sebelumnya, aku terkejut saat membuka sebuah peti kecil yang diberikan laki-laki tadi. Beberapa koin emas dan perak yang terlihat berkilau, ditambah lagi ada giwang dan gelang yang cantik-cantik.
"Yang memberimu hadiah ini adalah Patih Kebo Anengah dan yang duduk di sampingnya itu adalah wakilnya, Panji Angragani," jelas Kakang Manunggal.
Kuberi salam pada keduanya. Perkenalan berlanjut pada laki-laki berikutnya. Semua nama yang Widuri dan Laksmi katakan tepat. Aku rasa orang-orang ini pernah berkunjung ke rumahku, karena itulah Laksmi dan Widuri mengenal mereka.
Masih ada empat orang lain yang belum berkenalan denganku. Namun, mereka mendadak harus pergi.
"Salam," ucap Raden Wijaya yang tiba-tiba masuk.
Pesonanya luar biasa. Ini kali kedua aku bertemu dengannya, tetapi pesonanya masih sama, bahkan aku rasa aura ketampanannya semakin bertambah.
Fokusku pada Raden Wijaya buyar karena Kakang Manunggal tiba-tiba berdeham. Suamiku ini memang pandai mengacaukan suasana.
"Kau beruntung bertemu dengan mereka, Dwika. Ini kesempatan yang langka karena yang diganti dengan yang menggatikan bertemu di satu tempat," ujar Raden Wijaya.
Aku sama sekali tidak mengerti maksudnya. Ia berkata dengan penuh teka-teki. Sama sekali tidak bisa diterima oleh pikiran dangkalku.
Respon yang benar-benar tidak terduga ditunjukan oleh Patih Kebo Anengah dan Panji Angragani. Keduanya berpamitan pergi disusul laki-laki lain dan hanya menyisakan Rakryan Demung Arya Wiraraja yang dikenalkan pada diriku sebagai Adipati Sumenep, Mpu Wirakreti dan Raden Wijaya.
"Kenapa membicarakan soal diganti dan yang menggatikan, Raden Wijaya? Kami di sini berkumpul untuk merayakan kebahagiaan Arya Manunggal." Sang Adipati Sumenep tampak tidak suka dengan sikap Raden Wijaya yang membuat para tamu pergi.
"Maafkan aku, Paman Arya Wiraraja. Aku hanya merasa aneh saja saat melihat kalian di satu tempat."
Aku merasa sedikit pusing karena tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh orang-orang ini. Merek bicara seolah tidak ada aku yang sama sekali tidak mengerti topik pembicaraan.
"Apa kau merasa pusing, Dwika?" tanya Kakang Manunggal seolah dia tahu aku merasa pusing.
"Iya, Kakang. Aku rasa karena semalam tidur tidak nyenyak."
"Baiklah, aku tuntun kau masuk ya? Biar para tamu menikmati makanannya dulu."
Kakang Manunggal berpamitan pada para tamu lalu menuntunku masuk ke kamar. Laki-laki ini menuntunku untuk beristirahat di atas tempat tidur.
"Laksmi, Widuri, jaga Raden Ayu kalian," perintah Kakang Manunggal seraya keluar dari kamarku.
Lega rasanya terhindar dari percakapan yang tidak bisa kupahami. Jika terus ada di sana, mungkin aku benar-benar akan merasakan pusing yang luar biasa.
"Apa Raden Ayu sudah tidak pusing?" tanya Widuri saat aku mencoba mengintip Kakang Manunggal yang telah pergi dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat.
"Sebenarnya ... aku tidak terlalu merasakan pusing. Hanya saja ... aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan dengan kata "ganti dan yang menggantikan"," jelasku seraya duduk kembali di atas tempat tidur.
Widuri dan Laksmi saling tatap. Biasanya jika keduanya sudah seperti itu, itu artinya mereka sedang merasakan kebingungan yang sama.
Tiba-tiba suara Gedhis memanggil terdengar, dengan sigap Laksmi beranjak untuk membukakan pintu untuk gadis pelayan itu. Tidak berselang lama, Laksmi kembali dengan hadiah-hadiah yang kuterima tadi. Aku memang lupa membawanya.
"Simpan saja, Laksmi," perintahku pada Laksmi.
Aku kembali memikirkan soal pembicaraan tadi. Memang pusing saat mendengarnya, tetapi rasa penasaran membuatku terus memikirkannya.
"Ganti dan yang menggantikan ... apa maksudnya?" Aku berpikir keras, tetapi hasilnya nihil. Aku tetap tidak mengerti.
"Raden Ayu ... Raden Ayu kenapa? Apa ini masalah ganti dan yang menggantikan?" tanya Widuri yang duduk mendekat padaku.
"Benar, aku tidak mengerti maksudnya."
Laksmi ikut bergabung dengan perbincanganku dan Widuri. Ia tiba-tiba membisikan sesuatu pada Widuri dan hal itu membuatku penasaran.
"Raden Ayu, Laksmi mengatakan padaku, bahwa ia pernah mendengar soal beberapa punggawa istana yang digantikan karena menentang ide Raja," ucap Widuri.
Menentang ide Raja? Soal apa?
Aku harus lebih keras mengingat bacaan yang pernah kubaca soal Singasari. Masalah ini harusnya juga ada dalam buku itu.
Sebuah kata tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. "Pamalayu", ya ... aku ingat soal Pamalayu. Pasti ide yang ditentang oleh para punggawa istana yang dipecat adalah ekspedisi Pamalayu.
"Apa ide itu adalah ide soal ekspedisi Pamalayu? Perjalanan yang bertujuan untuk menyatukan beberapa wilayah dibawah kepemimpinan Singasari?" tanyaku memastikan.
Bukannya menjawab, Laksmi dan Widuri kembali saling tatap. Mereka tampak bingung dengan yang aku ucapkan.
"Kami tidak tahu soal yang lain, Raden Ayu. Yang kami tahu hanya pergantian jabatan saja. Soal yang lain kami tidak tahu," jelas Laksmi ditambah anggukan dari Widuri.
Aku juga yang salah, tidak seharusnya memastikan hal itu pada Laksmi dan Widuri, mereka hanya pelayan. Soal pergantian pun aku rasa keduanya hanya sekilas mendengarnya.
Hal seperti ini baiknya aku tanyakan pada Kakang Manunggal nanti. Dia pasti tahu lebih jelas.
"Baiklah, kalian per-" Kuhentikan ucapan karena merasa ada yang aneh. Suara aneh tiba-tiba terdengar di telinga. Suaranya kurang jelas, seperti seseorang yang menangis, tetapi tidak terdengar jelas.
"Apa kalian dengar sesuatu?" tanyaku pada dua pelayan setiaku.
"Tidak, Raden Ayu. Tidak ada suara apa-apa."
Mungkin semua ini karena rasa pusing yang kurasakan. Walau tidak terlalu, tetapi tetap saja tidak nyaman.
Saat akan beristirahat, saura tangisan itu kembali terdengar, kali ini cukup jelas. Aku beranjak dari tempat tidur untuk memastikan suara itu. Namun, sama sekali tidak ada apa-apa dan tidak ada siapapun di luar.
Lalu ... suara tangisan siapa itu? Kenapa rumah ini jadi mendadak membuatku ngeri? Apa itu suara hantu?