Terlalu hanyut berbincang dengan Guru Wayujeno, aku baru menyadari telah meninggalkan Raden Banyu Biru. Perasaan bersalah muncul lagi dalam hati. Aku rasa harus lebih baik perbincangan dengan Guru Wayujeno berhenti di sini.
"Guru, aku melupakan sesuatu. Aku harus pergi. Apa Guru tidak ingin masuk dan bergabung dengan yang lain?"
Guru Wayujeno tersenyum sambil menggelengkan kepala menandakan penolakan atas ajakanku. Hal itu membuatku melangkah pergi tanpa bertanya lagi.
Tidak sengaja, aku dan Raden Arya Manunggal berpapasan. Entah mau pergi ke mana dia, hanya saja raut wajahnya menunjukan raut serius.
"Raden, Raden mau ke mana?" tanyaku pada laki-laki yang baru beberapa saat lalu menjadi suamiku itu.
"Kau bertanya pada siapa?"
"Pa-padamu, pada siapa lagi?"
"Dwika, kau sudah jadi istriku. Panggilah aku dengan sebutan 'kakang'," ucap Raden Arya Manunggal tegas.
Salah sebut saja, laki-laki ini tegas padaku. Di mana letak salahku? Bukankah wajar jika aku salah menyebut, apalagi aku dan dia baru beberapa saat menikah. Sulit mengubah kebiasaan.
Dasar laki-laki menyebalkan!
"Ma-maaf, Kakang. Aku ... lupa." Aku meringis di depan Kakang Manunggal yang masih belum hilang raut wajah seriusnya.
Kakang Manunggal pergi tanpa menghiraukanku. Sikapnya ini berbeda sekali dengan sikapnya sepanjang ritual pernikahan. Selain sikapnya yang aneh, aku juga penasaran karena rupanya Kakang Manunggal pergi untuk berbincang dengan Guru Wayujeno.
Dari cara mereka berbincang sepertinya keduanya membahas hal yang serius. Aku penasaran, tetapi tidak mungkin aku menguping. Itu bukan hal yang baik.
Lebih baik aku pergi dan mencari Raden Banyu Biru untuk bicara dengannya. Aku tidak mau perasaan bersalah ini terus menghantui.
Saat masuk ke dalam ruangan orang-orang yang menghadiri ritual pernikahanku, sama sekali tidak ada sosok Raden Banyu yang terlihat.
Di mana dia? Dia pasti mengira diriku adalah orang yang jahat karena tidak meresponnya tadi.
"Raden Ayu Dwika Arum," panggil seseorang dari arah samping.
Kutengok arah samping dan mendapati Raden Banyu Biru yang tersenyum. Raut wajahnya berbeda sekali dengan tadi. Sorot matanya tidak lagi terlihat sedih.
"Kau mencariku?" tanya laki-laki itu saat menghampiriku.
"Aku ...."
"Lupakan, tidak perlu membahas apa-apa lagi. Aku ... harus pergi sekarang karena ada beberapa hal yang harus diurus. Sekali lagi selamat atas pernikahanmu. Jaga dirimu baik-baik." Raden Banyu mengelus kepalaku pelan.
Entah kenapa aku merasa Raden Banyu tetap kecewa walau tersenyumnya tadi. Pernikahanku memang dilakukan secara cepat, jadi aku lupa memberitahu laki-laki itu secara langsung.
***
Seluruh ritual pernikahan telah selesai. Tibalah aku harus pergi dari rumah ini untuk ikut dengan suamiku pulang ke rumahnya.
Entah kenapa tiba-tiba perasaan sedih muncul. Baru beberapa hari aku di sini, mengenal dan mencintai orang-orang di sini, tetapi hari ini aku harus meninggalkan semuanya.
"Hati-hati Raden Arya Manunggal. Aku titipkan putriku padamu. Tolong jaga dia baik-baik," ucap Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Kakang Manunggal.
Aku terharu melihatnya, menjadi Ayah pasti sangat sulit. Setelah kehilangan Dwika Arum yang asli, kini Ayah harus kehilanganku yang menggantikan posisi putri kandungnya.
Tidak lupa aku memberi salam terakhir sebelum pergi. Rasanya tidak ingin pergi. Namun, statusku sekarang adalah istri Raden Arya Manunggal. Jadi, aku harus tinggal bersamanya.
"Ayo naik, Dwika," pinta Kakang Manunggal setelah Bejo--pelayan Kakang Manunggal menyiapkan kuda berwarna coklat.
Kuda yang gagah, warnanya pun cantik, tapi ... aku tidak tahu bagaimana caranya menaiki seekor kuda. Tanganku saja gemetar saat menyentuh badan kuda itu. Maklum, ini kali pertama berhadapan dan menyetuh kuda secara langsung.
"Kakang ... aku ...." Kakang Manunggal tiba-tiba mengangkat dan mendudukanku di atas kuda.
Terkejut dan seolah waktu berhenti seketika. Aku seolah mati rasa dibuatnya. Tatapannya yang fokus padaku ditambah senyum manisnya membuatku tidak bisa berpaling dari wajahnya.
Tatapanku dan Kakang Manunggal berhenti saat Ayah berdeham dengan keras diikuti bisikan-bisikan lirih dari beberapa orang.
"Pergilah, hari mulai gelap. Tidak baik melakukan perjalanan larut malam. Jika pergi sekarang, kalian akan lebih cepat sampai," ucap Ayah.
"Baik, Ayah. Kami pergi." Kakang Manunggal naik ke atas kuda. Ia duduk tepat di belakangku dan bersiap untuk memulai perjalanan
Saat kuda mulai bergerak maju, aku sempat melihat ke arah belakang. Kulihat mereka semua tersenyum, tetapi mata mereka berkaca-kaca. Sedih jadinya, tetapi aku harus memulai ini semua tanpa mereka.
"Mereka akan baik-baik saja," bisik suamiku.
Dia bicara seperti itu seolah tahu apa yang aku rasakan. Walau sedih masih terasa, tetapi aku merasa lega, setidaknya Kakang Manunggal perhatian padaku.
Hari mulai gelap, rombonganku dan Kakang Manunggal memasuki jalanan sepi. Kiri dan kanan hanya ada pepohonan. Tiba-tiba terdengar suara aneh dan seperti ada yang bergerak di balik sebuah pohon di sebelah kiri. Aku jadi merinding dibuatnya, apa itu hantu? Atau orang jahat?
"Bejo, coba kau periksa ada apa di balik pohon itu," perintah Kakang Manunggal pada pelayan setianya itu.
Perintah Kakang Manunggal memunculkan sebuah ide menarik untukku.
"Bejo! Berhenti!" tegasku pada pelayan laki-laki itu. "Kenapa harus Bejo? Kenapa ... tidak Kakang saja yang memeriksa. Kakang di sini untuk melindungiku, kan?" lanjutku.
Aku ingin tahu seberapa beraninya laki-laki yang kini telah menjadi suamiku itu. Dia tampak gagah, tetapi aku tidak tahu seberapa beraninya dia demi melindungiku.
Ya, aku tahu dia seorang kesatria, hebat dan tangguh. Namun, aku perlu pembuktian kali ini.
Kakang Manunggal terdiam, sementara Bejo masih terpaku. Tiba-tiba tanpa mengatakan apapun, Kakang Manunggal turun dari kuda dan meminta Bejo kembali ke sisi kuda untuk menjagaku sedangkan dia berjalan ke arah pohon sumber suara aneh yang mengganggu perjalanan.
Seseorang tiba-tiba muncul dari balik pohon dan menodongkan sebuah golok yang terlihat tajam pada Kakang Manunggal.
"Bejo, ban-bantu Kakang Manunggal, cepat!" Aku mulai merasa cemas, takut golok itu digunakan untuk melukai suamiku.
"Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri," ucap Kakang Manunggal menolak bantuan dari Bejo--saat pelayan itu perlahan mendekatinya.
Aku yang duduk di atas kuda merasakan cemas, tetapi Kakang Manunggal malah terlihat santai walau golok itu sangat dekat dengan lehernya.
"Serahkan semua harta benda kalian!" bentak laki-laki yang menodongkan golok di depan Kakang Manunggal.
"Baik, tapi ... apa kau tahu siapa diriku?"
"Aku tidak peduli!"
"Aku perkenalkan diri, hanya untuk informasi saja. Setelahnya kau bisa ambil semua barang yang ada."
Lihatlah, Kakang Manunggal malah mengenalkan diri dan bukan melawan perampok itu. Astaga, suami macam apa dia?
"Namaku Arya Manunggal, panglima perang Singasari," ucap Kakang Manunggal.
Sebuah hal yang tidak terduga terjadi. Perlahan-lahan, perampok itu menurunkan golok yang ia todongkan pada suamiku. Perampok itu memohon ampunan sambil menangis.
"Raden ... ma-maafkan aku," ucap perampok itu seiring isak tangisnya.
"Tidak apa-apa, aku tahu kenapa kau merampok. Bejo, berikan aku sekantung koin emas."
Menuruti perintah Kakang Manunggal, Bejo mencari-cari benda itu di dalam kantung hitam besar yang ada di kudaku. Pelayan setia Kakang Manunggal itu bergegas menghampiri suamiku setelah menemukan benda yang dimaksud.
"Ini, belilah sesuatu untuk keluargamu. Jangan jadi perampok, kasihan anakmu nanti." Kakang Manunggal terdengar bak orang tua yang sedang menasihati seorang anak.
Setelah mendapatkan kantung berisi koin emas, perampok itu bergegas pergi. Kepergian laki-laki itu seiring dengan rasa lega yang aku rasakan. Kupikir akan ada kejadian thriller tadi.
"Kau bangga padaku?" tanya Kakang Manunggal saat naik ke atas kuda.
"Maksudnya?"
"Ya ... harusnya kau bangga pada suamimu ini. Aku ini bukan laki-laki pengecut, jadi jangan coba-coba menguji keberanianku."
Mulai dia menyombongkan diri. Bagaimana bisa aku terjebak dengan laki-laki ini, tetapi ... dia ... tidak terlalu buruk.