Chapter 13 - Pisah Kamar

Aku disambut dua pelayan laki-laki dan tiga pelayan perempuan yang terus menunduk begitu aku dan Kakang Manunggal sampai di rumah suamiku itu.

"Gendhis, bawa Raden Ayu ke kamarnya," ucap Kakang Manunggal.

Aku mengikuti pelayan bernama Gendhis. Pelayan itu masih muda, ia terlihat lebih cocok jadi adikku dibanding pelayan di sini.

Langkahku terhenti saat Gendhis membukakan pintu sebuah kamar. Kuintip sebentar, ruangannya sedikit gelap, hanya terlihat dua lilin yang menyinari.

"Raden Ayu, ini kamar Raden Ayu. Kami sudah membersihkannya untuk Raden Ayu," ucap Gendhis yang terus menunduk. Ia terlihat tidak berani menatapku.

"Laksmi, Widuri, kalian masuk. Periksa dulu," perintahku pada dua pelayan setiaku yang sedari tadi berjalan di belakangku.

Sementara Laksmi dan Widuri memeriksa kamarnya. Aku ingin memulai perbincangan dengan pelayan muda bernama Gendhis itu.

"Kau masih muda, kenapa jadi pelayan di sini?" tanyaku.

"Raden Arya Manunggal bermurah hati, saya diperbolehkan jadi pelayan di sini, Raden Ayu. Bisa tinggal dan makan di sini saja sudah cukup. Saya tidak punya orang tua." Gedhis terus menunduk di depanku.

Kuputuskan untuk berjongkok di depannya dan memerhatikan pandangan Gedhis yang mengarah ke bawah. Kulakukan karena aku gemas melihat gadis ini yang terus menunduk seolah aku ini menakutkan.

"Bisakah bicara dengan menatapku, Gendhis?" tanyaku dengan posisi masih berjongkok di depan gadis muda itu. "Jika kau tidak mau menatapku, maka aku akan terus seperti ini. Tapi ... apa kau tahu betapa sulitnya berjongkok, aku bisa pingsan karena jarit yang kukenakan sangat kencang," lanjutku

"Ba-baik, Raden Ayu." Gendhis mulai berani menatap saat aku berdiri.

Aku tersenyum padanya sambil terus menatapnya. Gadis ini cantik, tetapi karena dia berstatus pelayan, ia harus menutupi kecantikannya.

"Lain kali, jika aku sedang bicara denganmu, jangan terus menunduk, sesekali kau harus menatapku. Mengerti?"

Gendhis mengangguk dan kembali menundukan kepala. Aku rasa sulit mengubahnya karena itu sudah jadi adat dan kebiasaan para pelayan.

Saat aku akan masuk ke kamar, kulihat Raden Arya Manunggal masuk ke kamar lain yang tepat berada di samping kamarku. Entah kenapa dia masuk ke sana, tetapi hal itu mengundang rasa penasaran.

"Gendhis, kamar siapa itu? Kenapa Kakang Manunggal masuk ke sana?" tanyaku pada pelayan muda itu.

"Itu kamar Raden Arya Manunggal," jawab Gendhis singkat.

"Kamarnya?"

"Benar, Raden Ayu di kamar ini dan Raden Arya Manunggal di kamar itu?" jelas Gendhis.

Aku sendiri tidak habis pikir. Aku dan Kakang Manunggal telah menikah, lalu kenapa dia memilih kamar yang berbeda? Memangnya kenapa?

Apa aku tidak cantik? Apa aku tidak aduhai hingga ia tidak tertarik padaku? Atau ... sudahlah Dwika, apa yang sedang kau pikirkan? Hilangkan pikiran itu, hilangkan.

"Raden Ayu, mari masuk. Kamarnya benar-benar sudah siap," pinta Laksmi seraya menuntunku masuk ke kamar.

Saat masuk, aku merasakan ada aroma melati di sini. Wangi sekali, hal itu membuatku penasaran dari mana asal wangi ini.

Kucari ke meja rias, tetapi tidak ada. Kucari di sudut-sudut ruangan pun tidak ada. Dari mana kiranya asal wangi ini?

"Laksmi, Widuri, apa kalian mencium aroma bunga melati?" tanyaku pada dua pelayan yang sedang sibuk membereskan barang-barang bawaanku.

"Aroma melati? Saya menciumnya, Raden Ayu, tapi tidak tahu dari mana asalnya," jawab Widuri.

"Aku juga sudah memeriksa tetapi tidak ada," imbuh Laksmi.

Dua pelayanku tidak tahu dari mana asal aroma melati ini. Lalu, dari mana asalnya?

Kuputuskan untuk tidak menghiraukan wangi melati yang sangat kuat ini. Lebih baik, aku istirahat agar esok bisa bangun dengan keadaan segar.

Kulepas tusuk konde yang dipakaikan Ibu untuk menghias rambutku. Rasanya lega bisa melepas benda itu.

"Yah, jatuh." Kuambil tusuk konde yang tanpa sengaja terlepas dari genggaman.

Saat mengambil benda itu, aku merasakan aroma melati yang sangat kuat dari kolong tempat tidur. Kusingkirkan kain emas yang menutupi tempar tidur untuk menghilangkan rasa penasaran dari mana asal aroma melati itu.

Betapa terkejutnya aku saat melihat tumpukan bunga melati dalam mangkuk emas yang cukup besar. Rupanya dari sinilah asal wangi melati yang sedari tadi kucari.

"Ini dia, kalian cari di mana? Kenapa keberadaan benda ini tidak kalian ketahui?" tanyaku sambil menunjukan tumpukan bunga melati yang kutemukan.

Kedua pelayanku hanya meringis dan saling menatap satu sama lain. Itu membuktikan kalu keduanya memang tidak mencari dengan teliti.

Aku rasa benda ini harus ditanyakan pada Kakang Manunggal. Tidak mungkin jika para pelayan di rumah ini menaruh bunga-bunga melati tanpa perintah. Kuputuskan untuk keluar dan menemui Kakang Manunggal untuk meminta penjelasan tentang melati-melati ini.

Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, aku melihat Kakang Manunggal sedang duduk di depan kamarnya. Namun, aku merasa ragu mendekat padanya karena ia sedang memegang sebuah keris.

Keris itu terlihat tajam, dan tatapan Kakang Manunggal sedikit menakutkan saat menatap keris itu. Aku rasa ini bukan waktu yang tepat bertanya, lebih baik aku masuk ke kamar lagi.

"Mau kemana, Dwika?" tanya Kakang Manunggal tiba-tiba.

Aduh, kenapa dia harus tahu kalau aku di sini? Bagaimana ini? Dia terlihat menakutkan dengan kerisnya.

"Mau pergi? Bukankah kau ingin menemuiku?" Kakang Manunggal menghampiriku dengan wajah yang serius.

Keris yang ia pegang membuatku merinding hingga menelan ludahku sendiri.

"A-aku ... aku hanya ingin tanya sesuatu. Ke-kenapa kamar kita berbeda? Maksudku, kenapa kita pisah kamar?" Rasa khawatir membuatku bertanya hal yang harusnya kutanyakan besok.

"Kamar? Memang kenapa? Kau ingin tidur denganku?" Tatapan Kakang Manunggal ditambah senyum tipisnya seolah menggodaku.

Jantungku berdebar kencang, rasanya ingin lari dari sini. Tatapannya itu membuatku sulit mengalihkan pandangan darinya.

"Tidak, bukan itu. Maksudku ... apa alasannya. Apa kau tidak tertarik padaku atau ada perempuan lain yang kau cinta?" Perasaanku makin kacau saat Kakang Manunggal semakin mendekat.

"Perempuan lain? Maksudmu?"

"Jika ... kau punya ... perempuan lain, aku akan pergi dari hidupmu. A-aku akan pulang dan memberitahu Ayah. Aku tidak mau membuat hidupmu buruk karena tidak bisa bersama perempuan yang kau cintai."

Kakang Manunggal tiba-tiba tertawa. Entah apa yang membuatnya tertawa seperti itu. Memang pertanyaanku salah?

"Kakang! Aku bertanya, apa kau punya perempuan lain? Jika iya tidak apa-apa. Aku akan mengalah." Rasa kesalku bertambah karena Kakang Manunggal tidak menjawab pertanyaan yang kuajukan dan ia lebih memilih masuk ke kamarnya.

Sabar, Dwika. Kau harus sabar, dia memang laki-laki yang menyebalkan. Jadi, kau harus bersabar dengan ekstra.

Tiba-tiba Kakang Manunggal keluar dari kamarnya lagi. Ia tersenyum sangat manis di depanku hingga aku seolah terhipnotis olehnya.

"Bunga-bunga melati itu adalah simbol kemurnianmu dan simbol kemurnian cinta dariku untukmu," ucap Kakang Manunggal seraya masuk ke kamarnya lagi.

"Kakang, maksud Kakang Manunggal apa?" tanyaku walau tidak mendapat jawaban apapun dari suamiku itu.

Kemurnian cinta? Apa maksudnya dia mencintaiku? Benarkah ini? Lalu, kenapa dia menyiapkan kamar untukku dan bukannya menyuruhku masuk ke kamarnya?

Jantungku berdegup kencang lagi. Kakang Manunggal sudah ke kamarnya, tetapi pesonanya masih saja membuatku terpaku di sini.

Kucium wangi tumpukan melati di mangkuk emas ini. Aromanya kuat, wangi sekali. Aku tidak habis pikir, Kakang Manunggal itu kan panglima perang, lalu bagaimana dia tahu soal arti bunga melati?