Dunia terasa hampa bagiku kali ini. Mungkin, bagi kebanyakan orang pernikahan adalah hal yang membahagiakan, tetapi bagiku ini hal yang membuat dilema.
Bagaimana tidak? Aku baru beberapa hari berada di tempat ini, tetapi sudah dihadapkan dengan persoalan pernikahan, bahkan aku tidak tahu siapa pria yang akan menikah denganku.
Kudengar langkah kaki mendekati, suara ini pasti berasal dari Laksmi karena Widuri sedang menemani Mbakyu Roro Ageng membuat obat-obatan yang akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
"Raden Ayu, Raden Ayu kenapa? Kenapa diam seperti itu? Apa Raden Ayu sakit?" tanya Laksmi sambil melipat beberapa kain jarit yang ia bawa.
Aku menghela napas panjang, ingin sekali kujelaskan kegundahan hati ini. Namun, apa Laksmi bisa membantuku atau setidaknya memberitahu siapa calon suamiku itu?
"Emm ... Laksmi, bolehkah ... aku bertanya padamu?" Aku berdiri dan berjalan menghampiri Laksmi yang duduk di dekat lilin yang menerangi ruangan ini. "Laksmi, apa kau tahu siapa yang akan menikah denganku?" lanjutku bertanya.
Laksmi terdiam, kali ini dia terlihat seperti patung, bahkan ia sama sekali tidak berkedip walau terus menatapku. Sikapnya yang seperti itu membuatku bingung.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar dan membuat Laksmi bergegas membukakan pintu. Rupanya Widuri yang datang dengan membawa nampan berisi satu mangkuk emas yang entah apa isinya, tetapi Widuri sangat hati-hati dalam membawa benda itu masuk ke kamar.
"Raden Ayu, ini lulur yang dibuat oleh Raden Ayu Roro Ageng. Aku diminta memakaikannya pada Raden Ayu." Widuri meletakan mangkuk emas berisi adonan lulur berwarna kuning itu tepat di sampingku.
"Sekarang?"
"Iya, Raden Ayu kan akan segera menikah. Jadi, Raden Ayu harus lebih sering memakai lulur."
Laksmi dan Widuri mulai memgoleskan lulur di tubuhku, keduanya melakukan hal itu dengan teliti, bahkan sela-sela jari pun mereka perhatikan.
Semua orang tampaknya antusias dengan pernikahan ini, bahkan Mbakyu Roro Ageng juga memerhatikan penampilanku yang akan segera menjadi pengantin, tapi ... apa Dwika suka dengan rencana ini. Apa dia tahu soal rencana pernikahannya?
"Laksmi, Widuri, boleh aku tanya?" Pertanyaanku membuat keduanya berhenti mengoleskan lulur di tubuhku. "Apa kalian tahu siapa yang akan menikah denganku? Tapi ... kalian jangan heran dengan pertanyaanku ya, ingat aku ini lupa beberapa hal setelah hidup kembali," lanjutku dengan senyum.
"Oh ... Raden Ayu juga lupa siapa calon suami Raden Ayu?" tanya Laksmi seraya kembali mengoleskan lulur buatan Mbakyu Roro Ageng.
"Benar sekali, aku lupa bagaimana rupa calon suamiku. Apakah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?"
"Belum pernah, Raden Ayu. Selama ini Raden Ayu dan calon suami belum pernah bertemu. Tapi, tahukah Raden Ayu, semua wanita di Singasari pasti iri dengan Raden Ayu yang akan segera menikah dengan laki-laki yang menjadi laki-laki idaman karena ketampanan dan kegagahannya." Laksmi menjelaskan sambil tersenyum seolah sedang membayangkan sesuatu.
Jika dia laki-laki seperti yang dijelaskan Laksmi, itu artinya tidak ada salahnya menerima pernikahan ini. Lagi pula, jika aku menolak, takutnya akan mengubah hidup Dwika Arum ke arah yang buruk.
"Widuri, menurutmu yang dikatakan Laksmi benar?" tanyaku mencari dukungan atas penjelasan Laksmi sebelumnya.
Widuri mengangguk, ia terus tersenyum sambil terus mengoleskan lulur ke tanganku. Aku tidak mengerti apa yang dibayangkan Widuri hingga terus tersenyum seperti itu.
"Hei, kenapa tersenyum seperti itu? Sekarang coba katakan kenapa kau setuju dengan Laksmi. Aku harus mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan." Aku masih menunggu jawaban Widuri yang masih terus tersenyum seperti itu.
Aku jadi penasaran seperti apa sosok calon suamiku itu. Apa dia benar-benar tampan seperti yang dikatakan Laksmi? Lalu, apa benar dia menjadi idaman banyak wanita di Singasari?
"Raden Ayu, Raden Ayu tidak perlu bimbang. Calon suami Raden Ayu adalah Raden Arya Manunggal. Putra mendiang penasihat kerajaan Singasari," jelas Widuri panjang.
Arya Manunggal? Namanya terdengar gagah. Apa sosoknya juga segagah namanya?
"Raden Arya Manunggal adalah salah satu panglima perang kerajaan, Raden Ayu. Calon suami Raden Ayu berada di bawah kepemimpinan panglima perang utama yaitu Raden Wijaya," lanjut Widuri.
Raden Wijaya? Sepertinya aku pernah membaca namanya saat mendalami peran sebagai Ken Dedes. Tunggu ... Raden Wijaya adalah menantu Sri Maharaja Prabu Kertanegara. Ya, aku ingat soal itu.
Jika dilihat dari nama dan pekerjaannya, calon suamiku itu terdengar seperti bodyguard yang siap menjaga seperti dalam novel-novel cinta. Tapi ... jika dia adalah panglima perang, bisakah dia bersikap romantis padaku? Aku tidak yakin sepenuhnya.
***
"Raden Ayu, ini ada hadiah dari Raden Banyu Biru. Raden Arya Sanggeni yang membawakannya." Widuri memberikanku sebuah kotak berwarna emas.
Aku tidak menyangka Raden Banyu Biru akan memberikan hadiah lagi. Aku kira hadiah sebelumnya adalah hadiah pertama dan terakhir darinya.
Perhatian kecil Raden Banyu Biru mengingatkan aku pada Dewa. Bagaimana keadaan dia di sana? Jujur aku merindukannya. Walau rasa sakit hati masih ada dan terlalu sulit untuk hilang, tetapi cintaku padanya juga besar.
"Lalu ... di mana Raden Banyu Biru? Apa dia sudah pergi?"
"Belum, Raden Ayu. Raden Banyu Biru masih di luar, sedang berbincang dengan Raden Arya Sanggeni."
Aku bergegas memghampiri pria yang memberikan hadiah padaku. Aku ingin berterima kasis atas semua perlakuan baiknya. Dia selalu baik, walau di awal pertemuan aku menamparnya.
Saat sampai di tempat biasa Kakang Sanggeni berbincang dengan para tamunya, aku sama sekali tidak melihat sosok Raden Banyu Biru, bahkan Kakang Sanggeni pun tidak ada. Mungkinkah Raden Banyu sudah pulang?
Sia-sia aku mencarinya, padahal ingin sekali aku mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang sangat mirip dengan Dewa itu. Mungkin, hari ini bukan hari keberuntunganku bertemu dengannya.
"Dwika, srdang apa berdiri di situ?" Kedatangan Mbakyu Roro Ageng seeikit mengejutkan. Aku kira tidak ada siapapun di sini.
"Aku ... hanya mencari Raden Banyu Biru. Raden Banyu memberikanku hadiah, jadi ... aku ingin berterima kasih. Tapi sepertinya Raden Banyu sudah pulang."
"Dwika, dengarkan Mbakyu, kau ini akan segera menikah dan calin suamimu itu bukan Raden Banyu. Ingat itu ya." Mbakyu Roro Ageng tersenyum seraya pergi meninggalkan aku.
Apa maksud Mbakyu Roro Ageng? Aku sama sekali tidak mengerti. Memang salah jika ingin berterima kasih pada Raden Banyu atas pemberiannya?
Entah kenapa ada perasaan kecewa saat tidak bisa bertemu dengan laki-laki yang pernah kutampar itu. Apa mungkin ... hatiku menganggap dia adalah Dewa? Jujur aku dulit melupakan Dewa walau dia telah menyakiti hatiku.
***
Malam ini terasa dingin, aku memandang langit yang dipenuhi bintang. Bintang-bintang itu seolah meblnyapaku dengan sinar mereka. Indah sekali, rasanya tidak ingin berhenti memandang mereka.
"Raden Ayu, mari tidur. Besok calon suami Raden Ayu akan datang," ucap Widuri yang langsung membuatku fokus pada pelayanku yang bertubuh kurus itu.
"Dia ... akan datang?"
Widuri menfangguk seraya tersenyum. Tiba-tiba aku merasa jantungku berdebar kencang seiring dengan embusan angin yang terasa dingin di kulit.
"Raden Ayu, apa Raden Ayu merasa kedinginan? Aku akan tutup jendelanya. Silakan Raden Ayu beriatirahat. Kami akan tidur di luar kamar Raden Ayu." Laksmi berjalan ke arah jendela kayu untuk menutupnya.
Saat kedua pelatan itu akan oergi, aku memaksa mereka untuk menceritakan soal Raden Arya Manunggal. Awalnya mereka menolak. Namun, saat kubujuk lagi mereka mau mencerirakan seperti apa sosok calon suamiku itu. Lagi pyla jika aku tidak memaksa, kemungkinan besar aku tidak b7sa tidur karena rasa penasaran ini.
"Raden Ayu, ini sudah malam. Lebih baik Raden Ayu betistirahat saja." Dari kata-kata Widuri aku rasa mereka berdua ingin oergi tanpa menceritakan soal Raden Arya Manunggal.
"Tidak! Aku tidak akan tidur sebelum kalian menceritakan lebih banyak lagi soal Raden Arya Manunggal. Lagi pula aku tidak akan mengijinkan kalian keluar dari kamar ini." Aku menatap keduanya tanpa kata. Aku bermaksud untuk membuat mereka takut dengan tatapanku, tetapi rasanya mereja sama sekali tidak takut denfan tatapanku. Mereka malah asyik diam dan saling menatap satu sama lain.
Tatapanku sia-sia, apa kiranya yang bisa membuat Laksmi dan Widuri bercerira? Apa yang harus kulakukan?
Ide nakal tiba-tiba muncul saat aku melihat kain jarit yang berda di tempat tidurku. Kuambil kain jarit itu lalu kubisikan sebuah kalimat yang akan membuat Widuri dan Laksmi mau menceritakan yang aku minta.
"Kalian mau bercerita ... atau kalian ingin kuikat dengan kain jarit ini dan setelahnya aku akan menutup mulut kalian dengan kain jarit yang lain. Kalian mau yang mana?" bisikku pada dua pelayan setiaku.
Setelah bisikanku selesai, Laksmi dan Widuri saling tatap dan menggelangkan kepala seolah menolak pilihan yang kuberikan.
"Baik, Raden Ayu," jawab keduanya bersamaan.
Inginku tertawa melihay reaksi mereka karena ancamanku. Namun, aku berusaha untuk menahannya dan berjalan kembali ke tempat duduk semula dengan anggun.
"Kenapa kalian diam lagi? Siapa yang mau bercerita?" Aku sedikit menekan mereka karena tidak kunjung membyka mulut dan bercerita soal Raden Arya Manunggal.
"Baik, Raden Ayu." Widuri memulai cerita. Aku merasa antusias walau oelayanku itu belum berkata apapun.
"Raden Ayu, Raden Arya Manunggal itu terkenal dengan ketampanannya. Laki-laki gagah dengam senyum menawan. Sikapnya yang ramah pada rakyat juga sangat dipuji-puji. Banyak wanita yang ingin dipersunting olehnya, bahkan para wanita yang bekerja di istana juga tidak luput dari pesonanya."
Mendengar cerita Widuri, aku jadi semakin penasaran. Segagah dan setampan apa Raden Arya Manunggal ini hingga mendapat banyak pujian dari wanita.
"Apa dia setampan Lee Min Ho? Atau Song Joong Ki? Atau ... Brigth Vachiravit? Atau mungkin dia setampan Dew Jirawat?"
"Li-li apa, Raden Ayu?" Pertanyaan Laksmi membuatku menyadari hal bodoh yang kutakan. Refleks, kututup mulut yang suka keceplosan ini.
"I-itu ... bukan apa-apa. Aku hanya bicara asal saja. Ka-kalian boleh pergi sekarang. Is-istirahatlah, aku juga akan istirahat. Sudah malam, kan?" Aku meringis di depan Laksmi dan Widuri sambil mendorong keduanta untuk segera keluar dari kamar.
***
Hari ini akhirnya datang, aku akan melihat setampan apa Raden Arya Manunggal itu. Inginku bergegas lari keluar dari kamar. Namun, Laksmi dan Widuri melarangku pergi keluar dengan alasan tidak boleh bertemu dengan Raden Arya Manunggal hari ini.
"Memang kenapa tidak boleh bertemu hari ini? Dia kan calon suamiku. Memangnya salah jika ingin melihat calon suami sendiri?" Aku berusaha tetap keluar dari kamar. Namun, Widuri dan Laksmi terus menghalangi.
"Raden Ayu, ini perintah Guru Hanggarenu. Jika Raden Ayu memaksa keluar, kami yang akan mendapat hukuman. Tolong kami, Raden Ayu." Widuri dan Laksmi bersamaan memohon. Mereka tampak takut dengan hukuman.
Baiklah, mungkin memang aku tidak bisa melihatnya hari ini. Lebih baik aku diam saja agar Laksmi dan Widuri tidak mendapat masalah karena aku.
Saat berjalan kembali ke arah tempat tidur, tiba-tiba pikiran nakal muncul dalam otakku. Aku melihat ada celah-celah dari jendela yang ditutup. Jika aku melihat melalui celah itu pasti terlihat bagaimana sosok calon suamiku karena tempat menjamu tamu dekat dengan kamarku.
"Kau luar biasa, Sekar," ucapku pada diri sendiri.
"Sekar? Maksud Raden Ayu apa? Siapa Sekar?" Lagi-lagi aku keceplosan mengatakan hal yang harusnya menjadi rahasia hingga Laksmi mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Siapa Sekar? Aku tidak bicara apapun. Kalian pasti salah dengar." Aku harus bersikap biasa saja agar Laksmi atau Widuri tidak curiga atau menanyakan soal Sekar lagi padaku.
"Baiklah, Raden Ayu lebih baik duduk. Kami akan menyisir rambut Raden Ayu dan mengoleskan lulur lagi pada tubuh Raden Ayu," kata Widuri sambil menuntunku duduk di depan meja rias.
"Tidak perlu pakai lulur. Semalam kan sudah, sekarang aku ingin mengintip Raden Arya Manunggal dari celah-celah jendela."
"Tidak boleh Raden Ayu. Jangan tergesa-gesa melihat calon suami. Raden Ayu harus bersiap dengan pernikahan yang akan segera digelar."
"Eh, kalian tidak bisa melarangku kali ini. Lagi pula kalian tidak menyebutkan tidak boleh mengintip, kan? Jadi ... jangan ikut campur."
Kuintip dari celah-celah jendela, berharap menemukan sosok laki-laki tampan yang akan segera menjadi suamiku. Aku hanya penasaran dengan sosoknya. Jika sudah tidak penasaran, aku juga tidak akan melakukan ini lagi.
Pandanganku masih belum jelas, tetapi percakapan orang-orang itu terdengar jelas. Aku mendengar Ayah memuji Raden Arya Manunggal dan sesekali membandingkan dengan Raden Banyu yang sering datang.
Kufokuskan lagi pandangan dan berharap kali ini bisa menangkap ketampanan dari Raden Arya Manunggal.
Belum terlalu jelas, tetapi aku melihat seorang pria tersenyum seraya meminum minuman yang dihidangkan.
Saat berhasil melihat wajah Raden Arya Manunggal, waktu terasa berhenti berjalan. Sama
Persis saat diriku akan mengakhiri hidup.
Entah takdir apa ini, tetapi aku tidak menyangka akan melihat wajahnya di sini dan yang lebih membuatku terkejut adalah karena dia calon suamiku.
Dia ... laki-laki yang mencoba untuk menghentikan langkah bunuh diriku. Bagaimana bisa dia di sini? Apa rencana takdir untukku?
"Raden Ayu? Apa Raden Arya Manunggal tidak tampan? Kenapa Raden Ayu duduk dan terlihat lemas setelah melihat sosok calon suami Raden Ayu? Widuri terus bertanya. Namun, aku tetap tidak percaya dengan apa yang kulihat karena itulah aku terus diam walau Laksmi dan Widuri menyanyakan keadaanku
Apa artinya semua ini? Kenapa aku bertemu dia di sini? Takdir macam apa ini?