Jantungku berdebar saat memandangnya. Jarak diantara aku dan dia sangat dekat. Senyumnya makin membuat perasaanku tidak karuan.
"Aku tanya, apa itu sangat cantik?" tanyanya lagi sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"I-ini ... ya ... cantik. Ini sangat cantik." Aku merasa gugup saat Raden Arya Manunggal semakin dekat.
Tatapan matanya yang tertuju padaku membuat suasana di ruangan ini menjadi canggung, bahkan beberapa kali aku menelan ludah sendiri karena terlalu canggung.
"Tapi ... bagiku benda ini tidak lebih cantik darimu," ucapnya seraya tersenyum.
Jantungku makin berdebar dengan kencang. Jika suasana ini terus terjadi, aku bisa pingsan di sini. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan Raden Arya Manunggal yang tadi duduk di sampingku. Belum sempat membuka pintu kamar, aku tidak sengaja jatuh dan akhirnya kotak tusuk konde yang sedari tadi kupegang juga terlempar.
Lihat, betapa sialnya aku karena laki-laki itu.
"Kemana dia? Di-dia kemana?" Aku berdiri dan mencoba mencari Raden Arya Manunggal yang sudah tidak terlihat batang hidungnya.
Kemana kiranya laki-laki itu? Aku mengalihkan padangan darinya hanya beberapa detik saja, tetapi secepat itulah Raden Arya Manunggal pergi. Atau ... ini semua hanya khayalanku saja?
Mungkinkah kejadian tadi hanya imajinasi saja? Aku bisa gila jika terus seperti ini.
"Raden Ayu! Raden Ayu, apa yang terjadi? Kami dengar seuatu jatuh tadi?" Suara Widuri terdengat jelas. Aku harus bersikap biasa saja jika tidak ingin kedua pelayanku merasa aneh padaku.
Baiklah, Sekar, tunggu ... aku harus membiasakan diri sebagai Dwika Arum. Diriku di sini bukanlah Sekar Arum melainkan Dwika Arum.
Baik Dwika, relaks. Kau tidak boleh terlihat gugup. Laki-laki tadi hanya bayangan dalam imajinasimu. Jadi, kau lupakan saja.
"Tidak ada apa-apa, Widuri," ucapku seraya membuka pintu kamar agar Widuri dan Laksmi bisa masuk.
Saat keduanya masuk, mereka sama sekali tidak bertanya keadaanku lagi. Keduanya malah memeriksa kamarku seolah ada yang mereka cari.
"Widuri, kau menemukan benda yang jatuh?" tanya Laksmi seraya memeriksa lebih detail lagi.
"Tidak ada."
Kalian tidak akan menemukan benda yang jatuh tadi. Sudah kusimpan baik-baik benda itu. Lagi pula, aku tidak akan membiarkan benda secantik itu tergeletak lama di lantai.
"Sebenarnya apa yang kalian cari? Jika tidak menemukan apapun, pergilah, aku ingin istirahat. Besok adalah hari pernikahanku. Jadi, aku harus banyak istirahat, bukan?"
Setelah ucapanku selesai, Laksmi dan Widuri keluar dari kamar sesuai perintah. Kepergian keduanya membuat kamarku sepi. Kududuk lagi di atas ranjang. Teringat lagi kejadian tadi, rasanya kejadian itu benar-benar nyata, tetapi ternyata hanya khayalanku.
"Mati aku, pertama bertemu saja sudah membuatku seperti ini. Bagaimana jika aku menikah nanti? Bisa-bisa aku sering pingsan." Kulihat tusuk konde pemberian Raden Arya Manunggal.
Benda ini akan kusimpan baik-baik sebagai tanda laki-laki itu telah menjadi milikku walau belum sepenuhnya.
***
Udara dingin seakan menusuk kulit. Malam ini adalah malam terakhirku sebagai gadis karena esok aku akan jadi wanita yang memiliki suami.
Kutatap langit dari jendela samping kamar. Gelap, tetapi ada beberapa binta yang terlihat berkerlap-kerlip.
Tiba-tiba aku merasa rindu pada Ayah dan Ibu. Besok aku akan menikah, tetapi Ayah dan Ibu tidak ada di sampingku untuk menemani. Walau ada Ayah dan Ibu Dwika Arum di sini, aku tetap merasa hampa tanpa orang tua kandungku.
"Raden Ayu, tidurlah. Hari sudah sangat malam. Raden Ayu besok menikah, jadi harus istirahat dengan baik hari ini," ucap Laksmi seraya duduk di hadapanku.
Belum sempat berkata-kata, aku dikagetkan dengan panggilan seseorang dari luar. Suaranya tidak asing, pastilah Ibu yang memanggil.
"Raden Ayu, biar saya saja yang buka pintunya," usul Laksmi.
"Tidak, aku ingin membuka pintunya sendiri." Kurapikan rambut yang sedikit berantakan seraya bergegas menuju pintu untuk membukakan pintu.
Benar tebakanku, Ibu yang memanggil. Semerbak wangi bunga melati tercium saat membuka pintu untuk wanita yang ada di depanku sekarang.
Pantas saja wangi melati tercium kuat, rupanya Ibu datang dengan membawa bunga melati yang ditaruh di wadah kecil berwarna emas.
"Ibu ingin bicara denganmu, Dwika," kata ibu singkat.
Aku mempersilakan Ibu masuk. Wadah kecil yang sedari tadi dibawa, Ibu letakan di atas tempat tidurku.
"Kemari, Nak," pinta Ibu seraya tersenyum padaku.
Kuturuti perintah Ibu dengan duduk di sampingnya. Wanita yang duduk di sampingku saat ini memandang dengan tatapan yang terasa hangat. Sorot matanya persis sekali dengan sorot mata Ibu. Apa semua ini karena aku sangat merindukan Ibu kandungku?
Wajar, kan? Rindu mendalam kurasakan. Ibuku telah lama pergi meninggalkanku dan Ayah. Hanya doa yang bisa kupanjatkan agar wanita yang kusayangi itu tenang di sana.
"Dwika, Ibu datang membawakan melati-melati ini untuk membuat lulur. Biarkan Laksmi dan Widuri yang membuatnya. Kau hanya perlu istirahat agar terlihat segar besok." Ibu mengelus pipiku dengan lembut.
Terasa sekali kasih sayangnya dari sentuhan lembut di pipiku. Bibir Ibu sedikit bergetar seolah menahan sesuatu yang ingin keluar. Matanya berkaca-kaca. Namun, Ibu seolah tidak ingin menangis di depanku.
"Bu, apa yang ingin Ibu katakan? Aku tahu, pasti ada yang ingin Ibu sampaikan padaku." Kuraih tangan wanita lembut ini. Kuusap dengan pelan sebagai balasan kelembutannya padaku.
"Saat ... saat Ibu mendengar kematianmu, rasanya hidup berhenti saat itu juga. Ibu menangis sepanjang perjalanan pulang. Namun, saat sampai dan melihatmu hidup kembali, rasanya hidup ibu juga kembali." Ibu mulai meneteskan air mata yang sedari tadi ditahan.
"Bu, jangan menangis. Aku di sini, di depan Ibu. Jangan memikirkan hal-hal yang sedih. Aku janji, aku janji pada Ibu untuk tidak meninggalkan Ibu lagi."
"Tidak, Nak. Kau tidak boleh berjanji seperti itu. Kau akan jadi istri Arya Manunggal dan itu artinya kau akan meninggalkan rumah ini. Cukup menjadi istri yang baik untuk suamimu nanti."
Aku terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi. Rasanya remuk hatiku saat melihat deraian air mata wanita yang sangat mirip dengan ibu kandungku itu.
Kuusap air mata Ibu dan memeluknya erat. Aku janji pada diriku sendiri untuk tidak membuat Ibu menangis lagi. Wanita baik dan penyayang seperti Ibu tidak pantas untuk bersedih.
"Laksmi, Widuri, siapkan lulurnya. Setelah siap kalian bisa simpan dan balurkan besok pagi," perintah Ibu seraya melepas pelukanku.
"Baik, Nyai," jawab keduanya bersamaan.
Ibu mengusap pipinya yang basah seraya beranjak berdiri. Rambutku yang sebenarnya rapih dirapikan lagi oleh Ibu.
"Dwika, Ibu punya pesan untukmu, Nak." Kembali Ibu tersenyum padaku. "Nanti, saat kau sudah menjadi istri Arya Manunggal, kau harus menjunjung tinggi martabat suamimu, apa lagi dia adalah orang yang penting bagi Raden Wijaya dan Sri Maharaja Kertanegara," lanjut Ibu.
"Baik, Bu. Aku akan ingat pesan Ibu. Aku janji."
Aku memeluk Ibu lagi sekaligus untuk mengurangi rasa rindu pada Ibu kandungku. Rasanya tenang setiap kali dipeluk oleh Ibu.
***
Tanganku gemetar setelah upacara pernikahan dengan Raden Arya Manunggal selesai. Hari ini aku telah resmi menjadi istri laki-laki yang dikagumi banyak wanita di Singasari.
Dari semua rangkaian upacara pernikahan, aku melihat Raden Arya Manunggal tidak terlihat tertekan. Sepertinya, laki-laki itu benar-benar menikah denganku karena cinta, bukan karena perjodohan.
"Cium keningnya, Arya Manunggal," perintah Guru Wayujeno--orang yang telah menikahkan aku dan Raden Arya Manunggal.
Mendengar perintah Guru Wayujeno, jantung berdegup kencang. Rasanya ada bom dalam dada yang hampir meledak, hanya tinggal menunggu detik perdetik.
Apa yang terjadi denganku sekarang? Kenapa rasanya hawa ruangan ini jadi panas?