"Tolong! Tolong aku!" Teriakan itu terdengar jelas di telinga. Namun, suasana sangat gelap. Aku tidak bisa melihat apapun. "Tolong! Siapapun tolong aku!" Suara siapa itu. Kenapa terus terdengar.
Hawa panas mulai terasa. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Gelap, sangat gelap hingga aku merasa sulit bernapas.
"Raden Ayu! Raden Ayu! Sadarlah." Panggilan itu membuatku membuka mata. Seketika rasa sesak dalam dada karena suasana gelap hilang.
Aku melihat Widuri dan Laksmi duduk di sampingku sambil menangis. Aku tidak tahu kenapa mereka menangis. Namun, sakit hati ini saat melihat keduanya menangis seperti itu.
"Hei, kenapa kalian menangis?" tanyaku seraya tersenyum pada Laksmi dan Widuri.
"Kami melihat Raden Ayu mengigau. Air mata Raden Ayu bahkan keluar. Kami takut terjadi sesuatu dengan Raden Ayu," jelas Laksmi seraya mencium tanganku menunjukan betapa perhatiannya dia padaku.
"Aku tidak apa-apa. Jangan cemas, aku hanya mimpi buruk."
"Baiklah, Raden Ayu. Karena Raden Ayu baik-baik saja, mari bersiap. Hari ini Raden Ayu akan bertemu dengan Raden Arya Manunggal." Widuri melangkah pergi keluar dari kamar disusul Laksmi di belakangnya.
Aku kembali mengingat mimpi yang kualami. Siapa kiranya yang meminta tolong? Apa itu hanya mimpi biasa? Mungkin itu memang mimpi biasa. Namun, setiap teriakan minta tolong itu terdengar ada rasa sakit yang kualami. Terasa nyeri dalam dada.
Sekar, mungkin mimpi itu hanya mimpi biasa. Kau tidak boleh terpengaruh atau terus memikirkannya. Fokus saja dengan hari ini.
Widuri dan Laksmi membantuku bersiap. Setelah kembali dari luar, keduanya langsung mengambil semua yang diperlukan untuk berhias. Mereka menyisir rambutku dengan pelan. Namun, kali ini tidak seperti biasanya. Laksmi dan Widuri terlihat sedih kali ini, tampat sekali di pantulan cermin.
"Kalian kenapa? Kelihatannya sedih, ada apa? Apa kalian tidak senang dengan pernikahanku" Pertanyaanku membuat keduanya yang sedang merapikan rambutku berhenti.
Laksmi dan Widuri saling tatap. Mereka masih terlihat sedih. Ini kali pertama aku melihat keduanya sedih tanpa air mata. Apa ada hal yang sudah kubuat hingga mereka sedih?
"Hei, jawab aku." Aku berdiri dari kursi dan menatap keduanya yang sekarang menunduk di depanku.
"Ka-kami ... senang dengan pernikahan Raden Ayu, hanya saja setelah Raden Ayu menikah nanti, kami tidak bisa melayani Raden Ayu lagi. Raden Ayu akan punya pelayan baru di rumah Raden Arya Manunggal dan kami ... di sini akan melayani Raden Ayu Roro Ageng," jelas Widuri panjang.
Oh ... aku mengerti sekarang. Mereka sedih karena akan berpisah denganku.
Kali ini aku tidak bisa berucap apa-apa. Aku hanya bisa memeluk mereka, setidaknya pelukan ini mungkin bisa mengurangi rasa sedih kedua pelayan setiaku ini.
"Dwika!" panggil seseorang dari luar. Suara terdengar seperti suara Mbakyu Roro Ageng.
Laksmi dan Widuri melepas pelukan mereka dariku dan bergegas membukakan pintu untuk orang yang memanggilku tadi.
"Mbakyu, ada apa?" tanyaku saat melihat Mbakyu Roro Ageng masuk ke kamarku.
"Bersiaplah, calon suamimu sudah datang. Kali ini kau harus berdandan yang cantik dan juga pakai perhiasan yang kubawa ini agar kau semakin cantik." Mbakyu Roro Ageng memberikan sebuah kotak kayu kecil dan setelahnya wanita itu pergi dengan terburu-buru.
Saat melihat isi kotak yang Mbakyu bawa, aku merasa sedikit risih. Perhiasannya terlalu besar untuk dikenakan. Aku tidak mau terlihat aneh jadi kuletakan benda itu di atas meja rias.
"Raden Ayu, kenapa tidak dipakai. Mari kami bantu pakaikan." Laksmi mendekatiku sambil tersenyum. Namun kutahan agar dia tidak memaksaku memakai perhiasan-perhiasan itu.
Aku lebih nyaman tidak memakai perhiasan. Apalagi kalung yang diberikan Mbakyu Roro Ageng bisa membuatku sakit leher karena besar dan terlihat berat.
"Raden Ayu, Raden Ayu harus pakai. Tidak baik tampil sederhana di depan calon suami. Lagi pula perhiasan itu menadakan status juga. Jadi, Raden Ayu harus pakai." Widuri membujukku kali ini.
Sebenarnya aku tidak mau, tetapi jika ini sudah menyangkut budaya dan adat, maka aku tidak bisa menolak.
"Baiklah, pakaikan."
***
Aku merasa gugup sekarang, setiap langkah menuju ruang pertemuan terasa berat. Rasa cemas sekaligus penasaran jadi satu. Aku akan bertemu dengan Raden Arya Manunggal yang wajahnya sangat mirip dengan laki-laki yang berusaha menolongku saat akan bunuh diri dan rasanya seperti mimpi, tetapi kenyataanya memang seperti ini.
"Kemari, Nak," ajak Ayah saat aku sampai di ruang pertemuan.
Kulihat beberapa laki-laki yang tidak kukenal menatapku dengan senyum juga. Aku duduk di samping Ayah dan berhadapan langsung dengan Raden Arya Manunggal.
Sesekali kupandang wajah calon suamiku itu dan aku yakin wajahnya benar-benar mirip dengan laki-laki itu. Laki-laki yang berusaha mencegahku bunuh diri.
"Raden Arya Manunggal, ini putriku, Dwika Arum. Harusnya kau dan dia sudah bertemu, tetapi kemalangan terjadi pada Dwika. Namun, Sang Hyang Widhi memberikan keajaiban untuknya. Dia hidup kembali dan sekarang berada tepat di depanmu," ucap Ayah mengenalkanku.
Wajah Raden Arya Manunggal yang tampan semakin berkarisma saat tersenyum. Ia tersenyum padaku, senyumnya manis semanis permen ditambah lagi aura wibawa yang terpancar membuatnya semakin terlihat luar biasa. Pantas saja banyak wanita yang memuji dan mengagumi sosoknya.
"Raden Ayu Dwika Arum, aku adalah Raden Wijaya, menantu Sri Maharaja Kertanegara, kedatanganku adalah mengantarkan temanku ini untuk bertemu calon istrinya" ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan Raden Manunggal.
Raden Wijaya? Aku tidak menyangka bisa bertemu sosoknya. Dialah sosok yang aku tahu sebagai menantu Sri Maharaja Kertanegara. Dia lebih gagah dari yang kukira. Wajahnya tampan dengan kumis tipis yang melengkapi ketampanannya.
Raden Wijaya adalah orang penting dalam kerajaan, tetapi ia tampak ramah dan membaur dengan yang lain seolah tidak ada batasan. Mungkin karena ini adalah acara penting bagi salah satu panglima perangnya.
Di posisinya yang penting, harusnya Raden Wijaya tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Raden Ayu'. Namun, ia tetap memanggilku dengan sebutan itu, hal itu membuktikan kalau beliau adalah orang yang menghargai orang lain tanpa melihat statusnya.
"Maukah Raden Ayu Dwika Arum menerima pinangan dari temanku ini?" tanya Raden Wijaya seraya tersenyum pada Raden Arya Manunggal.
Aku harus jawab apa sekarang? Terima atau tolak? Tetapi jika menolak maka pasti akan membuat Ayah dan seluruh keluarga malu. Terlebih lagi perjodohan ini juga sudah diatur oleh Guru Wayujeno.
"Aku ...." Kutatap wajah Raden Arya Manunggal selagi meyakini ucapan yang akan segera kulontarkan sebagai keputusan terbaik. "Aku terima, tapi ada syarat yang harus diterima oleh Raden Arya Manunggal," lanjutku.
"Apa itu?" tanya Raden Wijaya lagi.
"Setelah menikah ... aku ingin tetap membawa dua pelayan setiaku. Aku tidak ingin berpisah demgan mereka." Ucapanki disambut dengan tatapan orang-orang yang tidak ramah.
Raden Arya Manunggal dan Raden Wijaya diam seribu bahasa, bahkan Ayah menatapku dengan tatapan tidak suka.
Aku tahu permintaanku sulit dipenuhi. Namun, aku tetap berharap calon suamiku itu mau menerima syaratku dan pernikahan tetap terjadi. Namun, aku tidak perlu meninggalkan Laksmi dan Widuri yang selama ini selalu bersamaku.
"Dwika! Apa yang kau katakan? Kau tidak boleh mengajukan syarat seperti itu. Saat menikah nanti kau akan dapat pelayan baru yang disiapkan Raden Arya Manunggal." Kata-kata yang keluar dari mulut Ayah menandakan amarah. Namun, aku tetap pada pendirian.
"Itu semua terserah pada Raden Arya Manunggal. Jika menerima maka pernikahan bisa dilanjutkan, tetapi ... jika menolak maka tidak perlu ada pernikahan." Aku tegas dengan ucapanku.
Raden Arya Manunggal menatapku intens. Jarak kami tidak terlalu dekat. Namun, tatapannya membuatku gugup. Selain karena tatapan laki-laki itu, aku juga merasa gugup menunggu jawaban darinya. Iya atau tidak, semudah itu mengucapkannya. Namun, ia terus diam seolah ada perang dalam dirinya dan memaksanya untuk terus diam.
"Baiklah ... aku menerima syaratmu." Jawaban Raden Manunggal membuatku lega. Singkat tetapi tetap tegas dan aku suka itu. Pernikahan tetap bisa dilanjutkan tanpa aku harus meninggalkan Laksmi dan Widuri.
Awalnya kukira Raden Arya Manunggal akan menolak syaratku dan pergi tanpa mekikirkanku dan tentunya keluargaku juga. Namun, pikiran buruk itu sama sekali tidak terjadi.
Setelah acara perkenalan selesai, Raden Wijaya dan Raden Manunggal berpamitan pergi dengan alasan pekerjaan yang sedang mereka kerjakan harus selesai malam ini juga.
Aku dan Ayah mengantar keduanya dan rombongan yang ikut bersama mereka hingga depan rumah. Saat Raden Arya Manunggal akan pergi, ia tiba-tiba tersenyum padaku. Sangat manis dan terlihat romantis. Rasanya seperti terbang melayang karena senyumannya itu. Jantungku juga berdegup kencang. Apa ini artinya aku mulai menyukai laki-laki tampan itu?
"Nak, pergilah istirahat. Kau pasti lelah," perintah Ayah setelah para tamu pergi.
Kuturuti perintah Ayah, lagi pula aku ingin segera menceritakan semua ini pada Laksmi dan Widuri. Mereka pasti senang karena tidak harus berpisah denganku setelah pernikahan nanti.
Saat aku masuk ke rumah, samar-samar terdengar tangisan. Kucoba cari dari mana asal tangisan itu.
Betapa terkejutnya aku saat melihat dua pelayan sedang menyabet kaki Laksmi dan Widuri dengan rotan kecil yang panjang.
"Hentikan! Apa yang kalian lakukan." Kupeluk Laksmi dan Widuri yang masih menangis. "Kalian tidak apa-apa? Apa sangat sakit," lanjutku bertanya pada keduanya.
Laksmi dan Widuri menggelengkan kepala mereka. Namun, aku tahu apa yang mereka rasakan pasti sangat sangat sakit.
Teriris hati ini melihat dua orang yang selalu bersamaku itu menderita seperti ini. Luka bekas sabetan rotan terlihat jelas dan itu membuatku semakin sakit.
"Dwika! Biarkan para pelayan itu melakukan tugasnya," ucap Mbakyu Roro Ageng dengan keras.
"Apa maksud Mbakyu? Siapa yang mengijinkan kalian menyakiti para pelayanku ini. Apa salah mereka?"
"Dwika, kau harus dengar Mbakyu. Mereka ini adalah sumber masalah di hidupmu, apa kau mengerti?"
"Sumber? Sumber masalah? Orang yang Mbakyu maksud sebagai sumber masalah adalah orang-orang yang berharga dalam hidupku!"
Mbakyu Roro Ageng diam seribu bahasa. Ia menatapku tetapi tangan kanannya mengepal seolah menahan emosi.
Ini kali pertama aku melihat Mbakyu Roro Ageng seperti itu. Ia yang kukenal sebagai wanita baik hati berubah menjadi wanita yang tidak punya perasaan. Apa yang sebenarnya terjadi hingga Mbakyu Roro Ageng menjadi seperti itu?